Sumbu Filosofi Yogyakarta Menuju Warisan Dunia

 Sumbu Filosofi Yogyakarta Menuju Warisan Dunia

KORANBERNAS ID, YOGYAKARTA -- Bentang garis atau sumbu imajiner dari Laut Selatan, Panggung Krapyak, Keraton Yogyakarta, Malioboro, Tugu Yogyakarta hingga Gunung Merapi merupakan tata ruang Yogyakarta yang dirancang oleh pendiri Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I.

Sumbu imajiner atau sumbu filosofi ini melambangkan konsep Manunggaling Kawula Gusti yang memiliki filosofi keselarasan, keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan jagad seisinya. Sumbu imajiner Keraton Yogyakarta yang penuh filosofi ini kini menuju warisan budaya dunia. Usulan sudah dilakukan ke Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui UNESCO sejak 2019 lalu.

Prof. Dr. Neslihan DostoÄŸlu, Dekan Fakultas Arsitektur Istanbul Kultur Universitesi dan sekaligus Manajer dari UNESCO World Heritage Site di Bursa, Turki, mengatakan, Sebuah kota tidak dapat bercerita terkait sejarah yang dijalaninya, namun sejarah tersebut tertulis di setiap sisi kota seperti garis yang tertulis di tangan.

"Perumpamaan tersebut menggambarkan seberapa penting bagian-bagian kota dalam menjaga nilai-nilai sejarah dan budaya yang terkandung di dalamnya," paparnya saat Focus Group Discussion (FGD) “Situs Warisan Dunia UNESCO: Perspektif dari Bursa dan Yogyakarta” secara daring, Selasa (24/8/2021).

Kegiatan yang bertujuan untuk memberikan gambaran filosofi dan upaya yang dilakukan oleh kota Bursa untuk menjadi kota warisan dunia UNESCO pada 2014, serta bagaimana potensi Kota Yogyakarta dalam upayanya untuk mengajukan diri sebagai kota warisan dunia UNESCO selanjutnya.

DostoÄŸlu melanjutkan, bahwa menjaga identitas kota menjadi salah satu hal yang perlu dipertahankan. Upaya pengajuan sebagai situs warisan dunia UNESCO tidak dapat hanya dilakukan di awal mencapai titel tersebut, namun juga merupakan upaya berkelanjutan untuk memastikan bahwa identitas dan budaya kota tersebut tetap terjaga.

Yetti Martanti, S.Sos., M.M., Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta, menyampaikan bahwa sebagai bagian dari situs budaya, Kota Yogyakarta perlu melakukan persiapan untuk menjamin bahwa sumbu filosofi terjaga dan tetap memperhatikan kenyamanan dari pengunjung area situs budaya tersebut. Situs ini terutama pada area antara Tugu Jogja hingga Panggung Krapyak.

"Hal pertama yang dilakukan oleh Pemerintah Kota adalah mengembangkan pedestrian di pusat kota untuk menjamin kenyamanan wisatawan yang sedang melintas di area tersebut. Yang kedua adalah melakukan perencanaan transportasi yang terintegrasi untuk menjamin bahwa lalu lintas yang berjalan tidak merusak situs budaya yang ada di area tersebut," paparnya.

Yetty melanjutkan, hal ini ditunjukkan dengan beberapa hal, seperti adanya giratori yang dijalankan oleh Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta, hingga pengembangan area-area parkir yang memungkinkan wisatawan menjangkau pusat kota namun tetap memberikan kenyamanan bagi pengunjung.

Sementara Dian Lakshmi Pratiwi, Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta yang lebih jauh menjelaskan sumbu filosofi serta bagaimana dampaknya pada keistimewaan D.I. Yogyakarta secara keseluruhan.

"Filosofi ini merupakan satuan yang tidak terpisahkan dari sejarah lokal dan memiliki kontribusi nilai budaya masyarakat yang ada di D.I. Yogyakarta. Di sini, sumbu filosofi menjadi perwujudan nilai-nilai peradaban sebagai filosofi kehidupan universal, mulai dari bagaimana manusia berasal dan bagaimana manusia kembali, sebagai nilai fundamental pembangunan peradaban, baik hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, hingga manusia dengan alam," terangnya.

Dengan dasar ini, Dian melanjutkan, Kota Yogyakarta kemudian mengajukan situs sumbu filosofi yang terhubung dari Panggung Krapyak di selatan, kompleks Kraton di tengah, hingga Tugu di utara sebagai salah satu situs warisan budaya UNESCO.

"Upaya ini bukanlah semata-mata hanya untuk prestige, namun lebih sebagai upaya untuk melestarikan adab dan mensejahterakan manusia yang tinggal di kawasan Yogyakarta," tekannya.

Sementara Direktur Embun Kalimasada, Hadza Min Fadhli Robby, menitikberatkan pentingnya pengajuan status sebagai situs warisan dunia UNESCO. Hadza menjelaskan mulai dari sejarah awal munculnya status situs warisan dunia UNESCO dan bagaimana status tersebut mampu memberikan dukungan bagi negara tersebut untuk dapat mempertahankan bukti besarnya budaya yang telah berkembang di wilayah tersebut.

"Untuk dapat berhasil menggapai status sebagai situs warisan dunia UNESCO, paling tidak ada tiga faktor utama," ujarnya.

Pertama lanjut Hadza, perlu adanya sinergitas aktor, baik pemerintah, masyarakat sipil, serta aktor-aktor terkait. Kedua, perlunya mempersiapkan dokumen yang mendetail dan rasionalisasi sesuai syarat UNESCO, yaitu universal, memiliki signifikansi internasional, dan memiliki makna mendalam terhadap kemanusiaan. Dan yang terakhir adalah perencanaan yang seimbang, yaitu strategi yang mendorong kemajuan masyarakat sekitar dan memastikan perlindungan situs budaya di wilayah tersebut.

Hadza mengingatkan bahwa status tersebut tidaklah bertahan selamanya. UNESCO dapat mencabut status sebagai situs warisan dunia apabila pemerintah gagal untuk menjaga identitas dan budaya lokal.

"Karena itulah diperlukan kerja keras berkelanjutan dari berbagai pihak untuk mempertahankan budaya dan situs-situsnya," tandasnya.(adv)