Akhlak, Budaya dan Kraton Yogyakarta

Akhlak, Budaya dan Kraton Yogyakarta

PAGI ini saya mendapatkan kiriman video tentang Beteng Baluwarti Kraton Yogyakarta. Tentu saja, saya mengucapkan terimakasih kepada pengirimnya. Kandungan video ini, amat menarik. Menambah pengetahuan dan meluaskan wawasan saya tentang Yogyakarta.

Dari video itu diketahui bahwa Beteng Baluwarti merupakan benteng pertahanan. Dibangun pada era pemerintahan XB I dan selesai pada era HB II. Keberadaannya menjadi satu kesatuan dengan benteng yang mengelilingi Kraton Yogyakarta, dan satu kesatuan pula dengan lima plengkung, sebagai pintu masuk ke dalam (jeron) benteng.

Salah satu Beteng Baluwarti, berada di sebelah utara timur laut Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat (kini dikenal dengan nama wilayah Gondomanan). Pada tahun 1812, Benteng ini hancur karena serbuan Inggris. Akibatnya, Beteng Baluwarti tinggal tiga, yakni benteng yang terletak di selatan bagian barat dan timur, serta di sebelah utara bagian barat.

Berselang waktu amat lama, Beteng Baluwarti yang hancur itu, tak segera dibangun kembali. Justru di lokasi itu, tumbuh berkembang sebagai hunian penduduk. Perhatian untuk membangun kembali baru muncul pada zaman pemerintahan HB X, sebagai bagian dari revitalisasi Kraton. Untuk keperluan itu, penduduk dipindahkan dengan ganti untung. Tembok-tembok pun dibangun kembali, disesuaikan dengan aslinya.

Jeron benteng meliputi kawasan tempat tinggal kerabat raja dan para abdi dalem. Sebelum pandemi covid-19, Beteng Baluwarti dijadikan sudut-sudut batas tradisi mubeng (keliling) benteng. Prosesi diselenggarakan pada malam hari, tanggal 1 Syura tahun Jawa, atau tanggal 1 Huharam tahun Hijriah. Dalam tradisi ini, diarak pusaka-pusaka Kraton. Semua peserta harus membisu. Keseluruhannya dimaknakan sebagai upaya menjaga ketenteraman dan keamanan seluruh wilayah kerajaan.

Dari perspektif moralitas-religius, Beteng Baluwarti, Plengkung, Kawasan Jeron benteng, tradisi mubeng beteng, seluruhnya merupakan produk budaya pada zamannya. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, sebagai kerajaan Islam, mengembangkan budaya-budaya itu, sebagai sikap bijak dalam bingkai sayidin panatagama, kalifatullah. Artinya, ajaran-ajaran agama Islam, disebar-luaskan dan dipahamkan kepada seluruh warganya melalui dakwah-dakwah tradisi-konstektual. Muaranya, ingin diwujudkan tata kehidupan yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur, yakni tata kehidupan yang sarat dengan kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya, sesuai dengan kehendak-Nya.

Dalam konteks kekinian, berbagai proses dan produk budaya itu seharusnya dijadikan sebagai sarana untuk memperbaiki akhlak, baik penguasa maupun rakyat. “Akhlak” (bahasa arab: “al-Khulk”) berarti tabiat, perangai, tingkah laku, kebiasaan, kelakuan. Akhlak merupakan sifat dan bagian jiwa seseorang. Daripadanya seseorang spontan berperilaku.

Plato dan al-Ghazali adalah tokoh dan filosof yang mengajarkan pentingnya akhlak karimah, yakni akhlak yang mendorong seseorang merasa terus-menerus diawasi, dan ingin dekat, serta taat menyembah Tuhannya, sebagaimana diajarkan rasul-rasul-Nya.

Dalam konteks Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, sekaligus keistimewaan DIY, mestinya seluruh pengemban praja (aparat pemerintah) maupun kawula warga (rakyat) memiliki akhlak karimah. Artinya, sikap dan perilakunya, senantiasa bertumpu pada ajaran agama (khusunya Islam), orientasi demi kemajuan, sekaligus keharmonisan kehidupan bersama, dalam wawasan dunia-akhirat.

Dalam ranah teoretis maupun praktis-empiris, betapa proses dan produk budaya amat relevan, strategis, dan mujarab, sebagai sarana perwujudan akhlak karimah. Melalui penghayatan atas eksistensi Beteng Baluwarti beserta keseluruhan esensinya, dapat diupayakan perlunya setiap orang membentengi diri dari akhlak mazmumah. Tercakup dalam lingkup akhlak mazmumah antara lain: egois, dusta, pemarah, perusak, iri, dengki, sombong, gemar mengadu domba, suka berolok-olok, dan berperilaku melampau batas. Akhlak mazmumah wajib diberantas, sejak akar-akarnya hingga dahan dan rantingnya.

Salah satu keistimewaan DIY adalah pada kebudayaan. Keistimewaan budaya itu mestinya melahirkan keistimewaan akhlak. Logika linier demikian, mestinya bersifat normatif dan apriori di hadapan semua penguasa maupun warga DIY. Tak terkecuali bagi para pendatang pun, wajib menyeleraskan dengan budaya DIY itu. Artinya, semua pihak wajib menjadikan budaya luhur sebagai tuntunan, dan akhlak karimah sebagai target.

Kiranya perlu direnungkan, dicamkan, dan diaktualisasikan, apa pesan-pesan moral HB X tentang kebudayaan. Dinyatakannya, kebudayaan adalah tentang peradaban, integritas, dan moralitas. Hal tersebut disampaikannya saat membuka rapat pleno bertema “Kebijakan Pemerintah Pusat dan Pemda Dalam Pengembangan Museum”, dalam rangkaian Pertemuan Nasional Museum (PNM), Rabu (17/5/2017).

Menurutnya, integritas menjadi sebuah prinsip dalam tatanan kebudayaan. “Proses pembangunan integritas dan moralitas bagi saya sangat penting. Bila bicara kebudayaan, berarti kita tidak hanya bicara seni dan tradisi, tetapi juga bicara tentang peradaban dan tentu, integritas dan moralitas,” katanya.

Saya tidak ingin, lanjutnya, Yogyakarta memiliki integritas rendah. “Kita bisa melihat, bagaimana kita bisa lebih menghargai orang kaya dari pada orang miskin yang berintegritas. Seharusnya bangsa ini melihat itu! Integritas tidak bisa ditawar, apalagi dibayar!” tegasnya.

Sulitnya mengajak generasi muda berkunjung ke museum menjadi salah satu contoh nyata kurangnya integritas anak muda terhadap kebudayaan. Banyak hal yang perlu diperbaiki, bukan hanya fisik bangunan museum, tetapi juga mindset museum yang menakutkan dan membosankan harus diubah.

“Pengalaman saya mengharuskan pelajar SD dan SMA masuk museum, susahnya bukan main. Padahal biaya masuknya tidak begitu mahal, bahkan ada yang digratiskan. Begitu berjalan, ternyata yang ‘rewel’ bukan hanya anak didiknya, tetapi ternyata para guru juga. Anak didik kita sebetulnya tidak masalah datang ke museum dan berdialog, tetapi sayangnya, museum bukan bagian dari proses pembelajaran mereka di sekolah. Selama ini, museum bukan menjadi tempat utama dalam kegiatan belajar mengajar. Itu harus diubah. Museum harus menjadi tempat dan pusat informasi dan pembelajaran,” ia menegaskan.

Melihat hal itu, Sri Sultan Hamengkubuwono X melakukan berbagai cara dalam rangka memajukan museum menjadi lebih bersahabat dengan publik. “Pandangan akan kondisi museum yang menakutkan dan membosankan harus diubah menjadi fun dan friendly. Karena itu, kita coba membuat pameran museum di mall. Kami juga sedang mengupayakan membuat cafe di museum, sehingga pengunjung datang, duduk-duduk, dan membangun suasana yang lebih baik,” paparnya.

Kendati demikian, ia menaruh banyak harapan terhadap museum-museum di daerah, khususnya Yogyakarta untuk terus melakukan pembenahan dan pengembangan, agar dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat. “Kami ingin masyarakat datang ke museum bukan karena terpaksa, tapi karena keinginan dari dirinya sendiri,” tukasnya.

Hemat saya, Beteng Baluwarti, dapat dimasukkan sebagai contoh konkrit dari sebuah museum. Museum (Latin "musea"; Yunani “mouseion” ), merupakan kuil yang dipersembahkan untuk Muses (9 dewi seni dalam mitologi Yunani), dan merupakan bangunan tempat pendidikan dan kesenian, khususnya institut untuk filosofi dan penelitian pada perpustakaan di Alexandria yang didirikan oleh Ptolomy I Soter 280 SM. Masyarakat perlu paham, mampu menghayati, dan kemudian menjabarkan makna benteng, berikut berbagai tantangan kehidupan pada zaman masing-masing.

Direfleksikan pada beberapa kasus korupsi dan kekerasan yang beberapa tahun terakhir merebak di wilayah DIY, sungguh kita sangat prihatin. Fenomena kelam itu merupakan bukti nyata sekaligus peringatan bahwa keistimewaan budaya maupun akhlak sebagian penguasa dan warga di DIY, masih jauh dari kategori karimah. Apalah artinya revitalisasi Kraton dan Beteng Baluwarti, bila akhlak penguasa, pemimpin, dan penduduk Yogyakarta jauh dari akhlak karimah?!

Revitalisasi Kraton, beserta revitalisasi Beteng Baluwarti, perlu dikawal, agar tidak ada korupsi barang sedikit pun. Lebih dari itu, perlu disinergikan dengan upaya-upaya lain, sebagai bukti adanya komitmen memperbaiki ahklak melalui budaya. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM