Amandemen UUD 45 Perlu Jika Tak Sejiwa dengan Pancasila

Amandemen UUD 45 Perlu Jika Tak Sejiwa dengan Pancasila

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Ruang untuk perubahan atau amandemen UUD 45 sejatinya tidak boleh ditutup. Terlebih lagi, ketika batang tubuh Undang-Undang Dasar (UUD) tak sesuai lagi dengan kondisi zaman yang dijiwai nilai-nilai Pancasila secara utuh.

“Itulah sebenarnya ada klausul amandemen dalam konstitusi. Tujuannya seperti shock breaker, jadi bisa menyesuaikan (dengan kondisi zaman), karena kalau tidak nanti patah yang atas. Jadi, saya kira perlu,” ujar Sindung Tjahyadi, peneliti dan dosen Ilmu Filsafat Pancasila dalam dialog interaktif bertema Sudahkah Pancasila Menjiwai Batang Tubuh UUD 1945, Sabtu (27/8/2022), di Aula Kampus Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Sindung mengingatkan, amandemen dapat dilakukan apabila batang tubuh konstitusi sudah tak lagi dapat mengakomodasi kepentingan rakyat. Namun, ia mengingatkan amandemen harus dilakukan dengan hati-hati dan seksama karena membutuhkan waktu dan pemikiran yang matang.

“Saya kalau memang perlu diamandemen lama lagi, ya mangga. Tapi itu akan mengandalkan proses politik yang mahal dan lama, mungkin,” kata dia.

Sedangkan, Yoseph Umar Hadi, pendiri Institut Pancasila yang juga mantan wakil rakyat empat periode menyebutkan, saat ini ada dua arus utama yang dapat menggerus nilai-nilai Pancasila.

Yoseph menilai amandemen konstitusi dapat kembali dilakukan untuk menangkis pemikiran yang mengancam eksistensi Pancasila.

“Saya menilai ada dua arus besar yang harus cemati yaitu fundamentalisme agama dan neoliberalisme. Fundamentalisme agama yang muncul dalam ideologi-ideologi sempit, yang ini tidak sesuai dengan Pancasila sebagai falsafah hidup kita. Konstitusi sebagai aturan paling mendasar, harusnya bisa dirumuskan bagaimana bisa menangkal dari ancaman ideologi-ideologi sempit tadi,” ungkapnya.

Penulis buku Hakikat Manusia Pancasila dan Pancasila Dasar Filsafat Bangsa Indonesia tersebut menerangkan, amandemen akan sepenuhnya menjadi keputusan politik.

Yoseph menyebutkan, proses perubahan atau amandemen dimungkinkan terjadi apabila batang tubuh UUD tak lagi mampu beradaptasi dengan perubahan zaman yang cepat.

“UUD ini kan sebenarnya UU tahun 2003 (amandemen ke-4) tetapi namanya UUD RI 1945. Itu kan dibuat dalam konteks 20 tahun lalu, di mana perkembangan zaman, kehidupan manusia, terutama kehidupan politik, antarbangsa dan dinamika ekonomi sudah berubah. Artinya bahwa, kita perlu meminta bantuan dari ahli, ahli hukum, filsafat, sosiologi, dan sebagainya. Marilah kita masing-masing mencermati (perlu atau tidak amandemen),” tegasnya.

Diskusi yang digelar oleh Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI bekerja sama dengan UGM tersebut ditujukan dalam peringatan Hari Konstitusi dan mengundang sejumlah pakar serta mahasiswa untuk menggali nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. (*)