Anggota DPR RI Minta Revisi SKB Dua Menteri

Anggota DPR RI Minta Revisi SKB Dua Menteri

KORANBERNAS.ID -- Terbitnya produk hukum Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri (Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri) Nomor 8 dan 9 Tahun 2006, dinilai menimbulkan permasalahan intoleransi di masyarakat.
Menyikapi itu, anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan DPR RI daerah pemilihan DIY, MY Esti Wijayanti, meminta aturan tersebut direvisi.

“Banyak permasalahan intoleransi yang akarnya dari SKB 2 Menteri. Saya menilai  perlu ada revisi ,” ujarnya saat menjadi pembicara Sosialisasi Empat Pilar, Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika, di Joglo Cemara Sidoagung Godean, 29 November silam.

Melalui rilisnya ke koranbernas.id, Selasa (3/12/2019) sore, Rajut Sukasworo selaku media officer MY Esti Wijayanti mengatakan, di dalam SKB tersebut di antaranya disebutkan syarat mendirikan tempat ibadah adalah  daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) pengguna rumah ibadah paling sedikit 90 orang yang disahkan pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah.

Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang yang disahkan lurah atau kepala desa. Kemudian, rekomendasi tertulis Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota serta rekomendasi tertulis FKUB (Forum Komunikasi Umat Beragama) Kabupaten/Kota.

Di hadapan 150 peserta sosialisasi yang terdiri kaum perempuan dari berbagai unsur, Esti menyampaikan, selain intoleransi  juga perlu diwaspadai berkembangnya paham radikal yang tidak sesuai ajaran dan nilai-nilai Pancasila.

Menurut Esti, secara prinsip di dalam sila pertama Pancasila yakni Ketuhanan Yang Maha Esa ditegaskan bangsa Indonesia dan setiap warga negara harus mengakui  adanya Tuhan. Negara menjamin kebebasan beribadah sesuai keyakinannya.

“Namun demikian saat ini di masyarakat timbul banyak kasus intoleransi. Ada sebagian masyarakat memaknai ketuhanan menurut keyakinan mayoritas, sehingga banyak terjadi kasus intoleransi. Di DIY  terdapat lima kasus intoleransi yang akhir akhir ini viral di sosial media,” paparnya.

Pada sila ke-2 Kemanusiaan Yang adil dan Beradab ditegaskan Indonesia sebagai negara merdeka berada di dalam lingkungan Internasional. Sila ini menegaskan kebangsaan Indonesia merupakan bagian dari kemanusiaan universal, menjunjung tinggi HAM dan aktif membela dan menyuarakannya di tingkat international.

“Pemerintah aktif mendukung Muslim Rohignya di Myanmar dan kemerdekaan Palestina,” katanya.

Sedangkan sila ke-3 Persatuan Indonesia merupakan wujud dari kesatuan perbedaan suku, budaya, agama dan bahasa. Meski berbeda-beda tetapi menjadi satu kesatuan di bawah bingkai NKRI.

Artinya, kebebasan berekpresi mengutarakan pendapat dan berorganisasi tetap di dalam koridor keutuhan NKRI.
“Apabila ada ormas yang tidak sepaham dengan NKRI tidak boleh dibiarkan, harus dibubarkan. Begitu juga di dalam mengutarakan pendapat jika sudah menjurus perpecahan bangsa harus dibubarkan,” katanya.

Sila 4  Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan mengandung arti demokrasi yang berlandaskan musyawarah mufakat yang diwakili.

Adapun Sila 5  Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia merupakan keinginan negara memberikan rasa adil dari sisi hukum dan ekonomi serta menjunjung tinggi norma-norma HAM.

Dia sepakat hukum sebagai panglima. Hukum harus bisa adil. Para penegak hukum saat mengadili dan menerapkan pasal harus menggunakan hati.

Terkait keadilan di bidang ekonomi, pemerintah banyak memberikan subsidi untuk masyarakat yang kekurangan, tetapi kadang-kadang tidak tepat sasaran. Ini disebabkan sebagian masyarakat merasa tidak mampu padahal mampu.

“Contoh subsidi gas 3 kilogram  itu diperuntukan mereka yang tidak mampu tetapi kenyataannya banyak yang secara ekonomi mampu tetap membeli gas melon,”katanya.

Dalam kesempatan itu, narasumber lainnya, Subkhi Ridho, membawakan materi mengenai sosmed, perempuan dan Pancasila.

“Peran perempuan untuk ikut membangun bangsa ini masih sangat kurang walaupun ada peningkatan dari waktu ke waktu. Mereka kurang berani mengambil posisi leader,” katanya.

Selain itu, persamaan gender juga belum maksimal karena faktor pribadi perempuan Indonesia yang belum percaya diri maupun faktor adat budaya dan agama yang kadang-kadang masih membatasi peran perempuan ikut membangun bangsa ini. (sol)