ARDY Nekat Melaporkan Sultan ke Komnas HAM, Ada Apa Gerangan?

ARDY Nekat Melaporkan Sultan ke Komnas HAM, Ada Apa Gerangan?

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA–Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY) melaporkan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Pasca somasi kepada Gubernur tak ditanggapi dan dilanjutkan dengan laporan dugaan mal administrasi ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan DIY pada 27 Januari silam, ARDY kemudian melaporkan dugaan pelanggaran HAM.

Laporan ke Komnas HAM lewat surat, Selasa (16/2/2021) siang, terkait terbitnya Pergub Nomor 1 Tahun 2021 tentang tentang Pelaksanaan Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka yang disahkan Gubernur Januari lalu.

Yogi Zul Fadli, Direktur LBH Yogyakarta, yang tergabung dalam Aliansi menyebutkan, setidaknya ada empat poin pelanggaran hak asasi yang dilaporkan ke Komnas HAM.

“Pertama, adalah soal pembatasan wilayah aksinya yang melarang beberapa lokasi sebagai kawasan aksi. Yang kedua, soal pembatasan waktu, yaitu mulai dari pukul 06:00 sampai 18:00 WIB saja. Ketiga adalah pembatasan terkait suara (kebisingan), di mana di Pergub hanya diperbolehkan batasan suara 60 desibel,” tuturnya.

Poin keempat, menurut Yogi, menjadi salah satu sorotan utama ARDY. Aliansi yang merupakan kumpulan aktivis pro demokrasi itu menentang keras pelibatan tentara alias TNI untuk pengamanan, bahkan pembubaran aksi unjuk rasa.

“Terakhir, materi muatan yang kami pandang bermasalah, adalah pelibatan tentara di ranah-ranah sipil. Pergub memberi kewenangan kepada TNI untuk mengurusi di tiga aspek. Yaitu aspek koordinasi, aspek pemantauan pelaksanaan dan aspek evaluasi,” ungkapnya.

Aktivis ARDY ketika ditemui awak media, saat hendak bersurat di Kantor Pos Besar Yogyakarta menyebutkan, langkah korespondensi dengan Komnas HAM tersebut ditempuh akibat pergub yang disahkan Gubernur Januari lalu, hingga kini belum juga dicabut.

Yogi menilai Gubernur telah melanggar kebebasan dan hak asasi warga untuk menyuarakan pendapatnya.

“Kami melihat Gubernur telah melanggar ketentuan yang diatur dalam beberapa UU. Misalnya UU Nomor 39 Tahun 1999 dan Indonesia juga telah meratifikasi kovenan hak-hak sipil politik yang seluruhnya memberikan jaminan kepada warga negara untuk menyatakan pendapat di muka umum,” jelasnya.

Hanya dalih

Tri Wahyu selaku Koordinator Indonesia Court Monitoring (ICM) Yogyakarta yang merupakan bagian aliansi menegaskan, dalih Sri Sultan berlindung dibalik Peraturan Menteri Pariwisata dianggap sebagai kedok semata.

“Pak Gubernur sempat ngendika bahwa “Saya ini serba salah”. Satu sisi ada kritik tapi di sisi lain saya kan (Gubernur) hanya melaksanakan keputusan Menteri Pariwisata tahun 2016. Tapi dari pandangan ARDY ini, pariwisata hanya sebagai bungkus. Karena apa? Di dalamnya itu menghidupkan militerisme, di UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, tidak ada sama sekali dari Gubernur untuk menghidupkan peran TNI,” paparnya.

Sinta Maharani, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) DIY menyatakan, hadirnya pergub kontroversial itu semakin memperburuk indeks persepsi demokrasi di Tanah Air yang saat ini semakin menurun. Terlebih lagi, saat ini kebebasan berpendapat, menurut Sinta, semakin ditekan.

“Jadi laporan The Economist Intelligence Unit itu menyebut, indeks demokrasi di Indonesia terendah dalam 14 tahun terakhir. Peringkatnya adalah ke-64. Ini artinya dengan adanya pergub ini menambah buruknya kebebasan berekspresi dan mengganggu demokrasi di Indonesia,” ungkapnya.

Pergub Nomor 1 yang diprotes sebagian masyarakat itu, beberapa poin di antaranya mengatur larangan berunjuk rasa di sejumlah tempat strategis seperti Kawasan Malioboro, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Istana Negara Gedung Agung dan Gedung DPRD DIY.

“Tuntutan kami, pergub ini harus segera dicabut apabila kita ingin punya negara, punya pemerintahan yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi,” tandas Sinta. (*)