Awas, Kebangkitan Ideologi Komunis

Awas, Kebangkitan Ideologi Komunis

IDEOLOGI komunis itu identik dengan Covid-19. Bahkan lebih ganas. Berpotensi mengancam dan mematikan keberlangsungan hidup setiap orang maupun negara. Oleh karenanya, kewaspadaan ataupun perang terhadap ideologi komunis mesti menjadi komitmen seluruh komponen bangsa.

Benar bahwa PKI telah dibubarkan. Sudah tidak ada. Resmi dinyatakan sebagai partai terlarang. Namun, ideologi komunis masih hidup. Bukan sekadar sebagai bahaya laten. Bukan hantu. Melainkan musuh yang manifes. Nyata adanya. Gerak-geriknya, dapat dilihat dengan mata kepala.

Ideologi komunis merasuk pada anak keturunan PKI. Merasuk pada banyak orang yang salah fondasi filosofinya dan kiblat ideologinya. Salah satu tandanya, mereka bangga mengenakan kaos bergambar palu-arit.

Kiranya perlu diingat bahwa asal-muasal dan inti ajaran komunis adalah pola pemikiran atheis, sekuler, dan materialistik. Kehidupan diyakini akan maju bila berkecukupan materi. Materi adalah segala-galanya.

Pemikiran tersebut kemudian berkembang secara dinamis dan kontekstual pada setiap pengikutnya. Pertama, Tuhan dianggap tidak ada. Agama dianggap candu masyarakat. Keduanya, dipandang mengganggu tercapainya kecukupan materi dan perwujudan keadilan sosial. Oleh karenanya keduanya disingkirkan.

Kedua, demi terujudnya keadilan sosial, dipandang perlu ada perombakan sistem pemilikan materi, sumberdaya alam, dan alat-alat produksi. Tidak boleh ditangan individu, melainkan harus ditangan negara. Perombakan mesti dilakukan secara revolusioner. Bila perlu dengan paksaan, otoriter, kediktatoran.

Ketiga, demi tercapainya cita-cita perjuangan, yakni masyarakat tanpa kelas, maka kesetaraan eksistensi dan posisi perlu dijamin. Dikembangkan slogan “sama rasa, sama rata”. Jika perbedaan kelas telah hilang, maka keadilan sosial diyakini terwujud dengan sendirinya.

Dalam konteks kenegaraan, ideologi komunis berawal dari pemikiran Karl Marx. Oleh Friederich Engels (1820-1895) pemikiran Karl Marx tersebut dibakukan dengan nama Marxisme. Lebih lanjut, Marxisme diaktualisasikan oleh Lenin dan Stalin, dipraktikkan di Rusia. Jadilah Komunisme, Marxisme, dan Leninisme sebagai ideologi negara. Ideologi ini diimplementasikan di dalam sistem politik, sosial, ekonomi, hukum, kebudayaan, dan seluruh aspek kehidupan lainnya.

Terdapat banyak bukti sejarah bahwa sikap dan perilaku pengikut faham Komunisme, Marxisme, Leninisme, cenderung otoriter, tirani, dan radikal. Hal ini bukan hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga terjadi di negera-negara lain. Misal, Kamboja, sebagaimana dijelaskan di bawah ini. Demi visi dan misi ideologinya, dihalalkan berbagai cara. Bila perlu melalui pemberontakan.

Dilaporkan oleh Kathryn E.Nelson (dalam People’s Republic of Campuchea, 1996), mengenai kebiadaban partai komunis pada era kekuasaan Khmer Merah. Tahun 1975, Khmer Merah mengambil alih kekuasaan melalui pemberontakan. Sejak saat itu, dihancurkanlah semua institusi-institusi lama, termasuk partai-partai yang dulunya telah mapan. Tindakan biadab dan revolusioner dilakukan demi terbangunnya suatu masyarakat baru, berideologi komunis, di Kamboja.

Tindakan sadis dilakukan terhadap warga berpendidikan, utamanya yang tinggal di wilayah perkotaan. Akademisi, politisi, dan siapapun dipandang berseberangan, dibabat habis. Tak kurang sadisnya, lembaga-lembaga kenegaraan, seperti: pengadilan, universitas, perpustakaan, masjid, gereja, wihara, kuil, dan perkantoran, dihancurkan. Person-person di dalamnya dibunuh. Dari 400 – 600 tenaga profesional, seperti: guru, hakim, jaksa, advokad, polisi, profesor, dan lain-lainnya, mati dibunuh atau melarikan diri ke luar negeri. Tahun 1979 hanya tinggal 6-12 orang saja. Ironis sekali (Rahardjo, 2006).

Kendati Partai Demokrat Kamboja atau Khmer Merah pada tahun 1976 telah berusaha mestabilkan situasi dengan mengumumkan konstitusi baru dan diikuti pembentukan Dewan Perwakilan Rakat, serta pengadilan, tetapi kehidupan bernegara tak kunjung hidup. Masih saja lesu, tak bergairah (mlempem). Mengapa? Karena para penyelenggara negara tidak mau bekerja sesuai dengan sistem kenegaraan baru. Akibatnya, Kamboja, merosot menjadi negara tanpa dasar filosofi dan tanpa ideologi ataupun kiblat kehidupan yang jelas. Sampai-sampai, pada waktu tentara Vietnam berhasil memasuki Kamboja tahun 1979 untuk menghentikan kekuasaan Khmer Merah, kebangkitan Kamboja mesti dimulai dari nol (Rahardjo, 2006).

Apa yang terjadi di Kamboja tersebut, sepatutnya direfleksikan untuk melihat kebiadaban PKI di tanah air. Pemberontakan PKI, 18 September 1948, di Madiun. Pemberontakan dipimpin oleh Muso. Dialah pimpinan PKI di awal 1920-an. Dia pernah tinggal di Moskow sejak tahun 1926. Kembali ke Indonesia pada 3 Agustus 1948. Dibawalah instruksi Moskow, yakni: pendirian PKI muda, sebagai sarana penyelarasan haluan komunis internasional. Demi visi dan misi ideologinya, langsung disusun doktrin kekuatan komunis, diberi nama "Jalan Baru untuk Indonesia".

Didukung Front Demokrasi Rakyat (terdiri dari: PKI, Partai Sosialis Indonesia, Partai Buruh Indonesia, Pemuda Rakyat, dan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia) dilakukanlah pemberontakan. Melalui pemberontakan tersebut ideologi Pancasila akan diganti dengan ideologi komunis, dan sekaligus didirikan Republik Soviet Indonesia.

Selama 13 hari, sejak tanggal 18-30 September 1948, terjadi pembantaian penduduk, utamanya para santri dan ulama, mencapai 1.920 orang. 17 orang di antaranya, tertulis dalam monumen di desa Kresek (Abdul Mun’im, 2014). Kebiadaban PKI itu, merupakan wujud konkrit ideologi komunis dalam bentuk perilaku.

Fakta lain, walaupun nyata-nyata PKI pernah menjadi partai pemberontak, tetapi saat itu tidak dibubarkan. Sikap lunak demikian, menjadikan PKI mampu mengkonsolidasikan diri untuk hidup dan berkembang lagi. Keberhasilannya terbukti, pada Pemilu 1955, PKI menjadi salah satu partai pesertanya. Kala itu, sistem kampanye terbuka dimanfaatkan maksimal untuk mempropagandakan ajaran dan program-programnya.

Kebangkitan PKI menjadi semakin nyata ketika Presiden Soekarno mengemukakan sikap konfrontatifnya terhadap Barat, sebagaimana terdokumentasikan dalam The New Emerging Forces. Sejak saat itu, mulai tampak ada pergeseran kedekatan Indonesia dengan Blok Timur (Soviet dan RRC). Sikap demikian, menjadi angin segar bagi kebangkitan PKI.

Angin segar semakin kencang, ketika dibentuk poros Jakarta, Hanoi, Peking, Pyong Yang. PKI semakin agresif melakukan gerakan revolusinya. Klimaksnya, PKI kembali memberontak pada tanggal 30 September 1965.

Betapapun banyak versi tentang pemberontakan PKI (disebut sebagai G30S/PKI), namun fakta tak terbantahkan bahwa pemberontakan ini bertujuan menggulingkan pemerintahan dan mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi komunis. Pemberontakan dipimpin oleh ketua PKI, DN Aidit.

Kebiadaban di Jakarta, para perwira tinggi TNI AD dijadikan sasaran. Tiga dari enam orang dijadikan target, langsung dibunuh di kediamannya. Tiga orang lainnya diculik dan dimasukkan ke sumur di Lubang Buaya. Panglima TNI Abdul Haris Nasution, walaupun termasuk menjadi target, namun berhasil meloloskan diri. Sungguh malang, puterinya (Ade Irma Suryani Nasution) dan ajudannya (Lettu Pierre Andreas Tendean) tewas tertembak. Di Yogyakarta, pembunuhan keji tehadap: Brigadir Polisi Ketua Karel Satsuit Tubun, Kolonel Katamso Darmokusumo dan Letnan Kolonel Sugiyono Mangunwiyoto.

Untuk menumpas pemberontakan G30S/PKI, tanggal 2 Oktober 1965, Jenderal Soeharto mengambil alih kepemimpinan TNI. Dinyatakan olehnya, Kudeta PKI gagal. Dikirimlah TNI AD untuk menyerbu dan merebut pangkalan udara Halim dari PKI.

Tanggal 22 November 1965, DN Aidit ditangkap dan diadili serta dihukum mati. Tanggal 11 Maret 1966, terbit Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden Soekarno. Berisi pemberian wewenang penuh kepada Jenderal Soeharto untuk mengambil langkah pengamanan Negara RI.

Tanggal 12 Maret 1966, Jenderal Soeharto secara resmi membubarkan PKI. Sikap tegas tersebut diperkuat oleh MPR, dengan diterbitkannya TAP MPRS No. XXV/1966 pada tanggal 5 Juli 1966 (ditanda-tangani Ketua MPRS RI Jenderal TNI AH Nasution). Tap MPRS tersebut mengatur tentang Pembubaran PKI dan Pelarangan penyebaran paham Komunisme, Marxisme, dan Leninisme.

Kebiadaban komunis di negara tetangga (Kamboja), pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 dan G30S/PKI tahun 1965 sebagaimana terurai di atas, kiranya perlu direfleksikan oleh segenap komponen bangsa, untuk dijadikan cermin dan peningkatan kewaspadaan terhadap kebangkitan PKI saat ini. Ideologi komunis tetap menjadi ancaman. Anak keturunan dan simpatisannya, ditengarai semakin meningkat jumlahnya. Fanatismenya pun semakin kuat. Kebersatuannya dengan partai-partai besar, serta keberadaannya di berbagai lembaga negara atau jabatan pemerintahan, perlu terus diwaspadai. Gerakan-gerakan masif dan sistematik yang menyelinap dalam berbagai aksi sosial, politik, atau keagamaan, wajib terus dikendalikan.

Kita tidak ingin kebiadaban PKI terulang lagi. Kita cegah, jangan sampai kehidupan bernegara harus mulai dari nol, sebagaimana Kamboja. Adalah kewajiban moral, mengingatkan saudara-sudara kita yang tersesat dan terpikat ideologi komunis karena propaganda-propaganda PKI gaya baru. Kembalilah ke ideologi Pancasila dengan jujur dan benar. Jangan sekali-kali melakukan politisasi terhadap Pancasila demi kebangkitan ideologi komunis. Rakyat, utamanya para ulama, akademisi, dan budayawan telah melihat berbagai bentuk kemunafikan selama era reformasi dan era pandemi Covid-19, sebagai bagian dari gerakan PKI gaya baru. Hentikan. Bila terus berlanjut, apa boleh buat, perang ideologi pun tak terhindarkan. Kita hadapi. Demi negeriku Indonesia, demi dasar falsafah negara Pancasila. Wallahu’alam. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru besar ilmu hukum UGM