Babak Baru Sertifikat Tanah Digital

Babak Baru Sertifikat Tanah Digital

SERTIFIKAT tanah yang kita pegang menjadi bukti sah secara hukum, bahwa tanah yang dimiliki merupakan hak milik kita. Kepemilikan sertifikat tanah bukan saja bermanfaat bagi pemiliknya secara pribadi, tetapi juga secara sosial mampu menekan terjadinya konflik-konflik pertanahan yang masih kerap terjadi.

Meski kemudian yang belum bersertifikat juga masih banyak, tetapi kita yakin, melalui akselerasi rekan-rekan BPN dan pihak terkait lainnya, maka target pemerintah untuk menberikan sertifikat tanah rakyat bisa tercapai.

Pemerintah tentu akan terus mendukung program sertifikat hak tanah untuk rakyat. Upaya-upaya mempersuasi masyarakat yang bidang tanahnya belum bersertifikat, agar mau disertifikatkan perlu terus digiatkan. Begitu pula edukasi mengenai pentingnya sertifikat perlu terus diberikan kepada masyarakat.

Banyak manfaat yang didapatkan dari kepemilikan sertifikat. Sertifikat juga bisa untuk mendukung kemajuan sektor ekonomi. Ini yang selalu disampaikan oleh Presiden, bahwa sertifikat bisa diagunkan untuk  modal usaha. Dengan demikian, mereka yang belum punya usaha, lalu bisa memulai usaha.

Dan yang sudah punya usaha bisa mengembangkan usahanya agar makin besar. Artinya, sertifikat bisa mendorong pengembangan dan daya saing usaha ekonomi produktif masyarakat. Nah, ketika usaha masyarakat berdaya, maka akan mampu mengurangi kemiskinan.

Selanjutnya, yang tidak kalah penting pula bahwa dari sertifikat itu juga dapat makin memudahkan intervensi bantuan pemerintah kepada kelompok masyarakat miskin. Ketika kita mau memberikan bantuan, seperti untuk perbaikan RTLH, maka kita sudah punya data siapa saja mereka yang tanahnya sudah bersertifikat. Ini perlu kita tekankan, karena kadang program perbaikan RTLH tidak bisa dilaksanakan disebabkan terbentur status tanah masyarakat yang belum bersertifikat.

Jadi, seperti itulah pola-pola keroyokan yang harus terus kita kembangkan dalam menghadapi persoalan kemiskinan. Database dikuatkan dan program pembangunan diarahkan serta fokus pada yang miskin.

Kita optimis, kesengkuyungan antara pusat dengan daerah, antarlintas sektor maupun dengan unsur masyarakat lainnya, seperti akademisi, perbankan, pengusaha akan mampu mengatasi PR kemiskinan yang masih kita hadapi hari ini.  

Belakangan, di media ramai pemberitaan soal sertifikat elektronik yang mulai berlaku tahun ini. Sampai sekarang kita layak mengapresiasi Kantor ATR/BPN yang tidak jadi menarik sertifikat analog dari masyarakat. Karena sebelumnya sempat beredar isu ramai, sertifikat analog (fisik) ditarik diganti dengan sertifikat elektronik. Meski regulasi Permen ATR.BPN 1/2021 tentang sertifikat elektronik mengamanatkan perubahan dimaksud.

Kementerian ATR/BPN memastikan tidak ada paksaan ke masyarakat dalam penarikan buku tanah dan sertifikat analog, untuk diubah menjadi sertifikat elektronik. Penggantian mode sertifikat untuk tanah yang sudah terdaftar, dilakukan jika masyarakat secara sukarela datang ke kantor pertanahan atau melakukan jual-beli (mediaindonesia.com, 3/2/2021).

Pada Pasal 16 Ayat 3, kepala kantor menarik sertifikat untuk disatukan dengan buku tanah dan disimpan menjadi warkah pada Kantor Pertanahan. Namun, dalam Pasal 14 Ayat 2 menyebutkan, penarikan itu dilakukan oleh kepala kantor apabila pemegang hak mengajukan permohonan. Dalam hal ini, terkait penggantian sertifikat analog menjadi sertifikat elektronik. 

Jika Kantor ATR/BPN sementara ini mengklaim munculnya sertifikat elektronik mampu menekan atau mengurangi sengketa tanah, pertanyaan menariknya adalah, seberapa besar jaminan kepada masyarakat atas nihilnya sengketa tanah, ketika semua sudah berubah dalam format digital. Kita tahu, selama ini sengketa tanah yang beredar di masyarakat cukup masif, entah itu warga dengan warga, warga dengan pemerintah, yayasan maupun lembaga lainnya.

Namun demikian, kita menyambut baik atas inovasi sertifikat elektronik ini, sekurangnya akan memback-up data atas sertifikat analog yang sudah ada. Memang, acap tak terhindar kala bencana menghantam, bisa saja banjir, longsor, kebakaran, erupsi, dll, maka selembar sertifikat analog ini bisa saja terbakar, hanyut, rusak, dicuri atau lenyap entah ke mana, tak ada yang bisa menerka kapan tiba.

”Jimat” - el

Lantas, adakah biaya yang harus dikeluarkan pemilik sertifikat tanah untuk menukarnya ke versi digital? Staf Khusus Menteri ATR/BPN Bidang Kelembagaan, Teuku Taufiqulhadi, menjamin masyarakat tak perlu mengeluarkan uang pengurusan untuk mendapatkan sertifikat elektronik tanah.

Kendati demikian, proses penukaran tersebut memerlukan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebagai biaya normal untuk balik nama atau permohonan sertifikat baru. "Pasti tidak ada biaya. Yang ada PNBP, itu hal yang biasa saja. Di luar itu tidak ada,” tukasnya (liputan6.com, 4/2/2021).

Mungkin program sertifikasi elektronik yang sedang dikampanyekan saat ini lebih menarik bagi kalangan milenial yang familiar dengan gegap teknologi. Namun, barangkali belum sepenuhnya menarik bagi kalangan masyarakat pedesaan apalagi notabene miskin.

Bisa dibayangkan, ketika setiap hendak membuka barcode sertifikat elektronik untuk keperluan transaksi jual beli saja, sudah harus berbayar. Hal ini sesuai keterangan Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian ATR.BPN, Suyus Windayana pada bbc.com (4/2/2021).

Padahal, bagi kaum miskin dengan tanah sepetak yang sudah disertifikat manual itu saja, harus mengeluarkan biaya yang tak sedikit bagi ukuran mereka. Jika kemudian ada program prona maupun proda yang gratis pun, rupanya belum sepenuhnya cuma-cuma untuk urusan segalanya hingga sertifikat di tangan, seperti bea patok, bea meterai, dll.

Harapannya, program sertifikat digital berjalan baik dan diterima masyarakat. Kalau kemudian muncul keraguan, itu lebih pada kurangnya sosialisasi kepada publik. Patut menjadi pelajaran bersama atas kasus Bupati terpilih di NTT yang warga negara Amerika tapi dia punya KTP-el Indonesia. Kemudian belum lama juga berlalu, adanya kebijakan relaksasi perbankan di musim Covid-19 yang digencarkan pemerintah ternyata di lapangan belum seluruh lembaga perbankan dan keuangan menindaklanjutinya dengan baik.

Catatan kita hari ini, meski sertifikat elektronik ini masih sebatas pilihan, namun ke depannya agar lembaga perbankan dan atau keuangan segera merealisasi pemberlakuan jaminan sertifikat elektronik atas pinjaman dana kita, tanpa mensyaratkan lagi ”jimat,” sertifikat analog. Wait and see. **

Marjono

Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng