Baca Puisi Tidak Dilarang Hanya Tidak Boleh Berkumpul Lebih Lima Orang

Baca Puisi Tidak Dilarang Hanya Tidak Boleh Berkumpul Lebih Lima Orang

KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Di tengah pandemi virus Corona atau Covid-19 yang belum reda, Sastra Bulan Purnama edisi 104 kembali hadir.

Seri Poetry Reading from Home #2 kali ini diisi peluncuran antologi puisi Mata Air Hujan di Bulan Purnama karya 50 penyair di Indonesia. Peluncuran dilaksanakan live melalui youtube sastra bulan purnama, Jumat (8/3/2020) pukul 19:30.

“Jadwal pertemuan dan pembacaan puisi secara konvesional dibatalkan, karena kita tidak mungkin bertemu dan berkumpul sambil membaca puisi, seperti tiap bulan purnama,” ungkap Ons Untoro, Koordinator Sastra Bulan Purnama, Jumat (1/5/2020).

Dia menegaskan, membaca puisi tidak dilarang, tetapi tidak boleh berkumpul lebih dari lima orang atau bahkan puluhan.

“Demi kesehatan bersama, masing-masing harus saling menjaga jarak, kita perlu mematuhi kebijakan pemerintah untuk tidak berkumpul supaya bisa memutus mata rantai virus Corona,” kata dia.

Antologi Mata Air Hujan di Bulan Purnama sudah dikumpulkan sejak Mei 2019. Puisi-puisi ini setiap Jumat dipublikasikan di rubrik sastra setiap tahun diterbitkan dan diluncurkan setiap bulan Mei tahun berikutnya.

Jadi, lanjut dia, puisi yang sudah ditayang sejak Mei 2019 sampai April 2020 diterbitkan dalam satu buku. Buku yang mestinya terbit Mei 2020 ini merupakan edisi ketiga dari seri sastra tembi.net.

Seri pertama berjudul Kepada Hujan di Bulan Purnama (Mei 2018), seri kedua Membaca Hujan di Bulan Purnama (Mei 2019) dan seri ketiga Mata Air Hujan di Bulan Purnama (Mei 2020).

“Jadi, agenda Sastra Bulan Purnama, bulan Mei 2020 memang untuk peluncuran buku Mata Air Hujan di Bulan Purnama, meskipun penerbitannya ditunda dulu. Para penyair, untuk sementara mendapat versi pdf-nya.” kata Ons.

Melalui Poetry Reading From Home seri 2 ini, dari 50 penyair tidak semua tampil membacakan karyanya, kecuali yang sudah siap lebih dari 20 penyair.

Sebut saja Fitri Manalu dari Medan, Hafney Maulana (Riau), Susi Lestari (Palembang) Nok Ir, Rahem, Rofqil Junior, Ruhan Wahydi, Zen KR Hail (Madura), Kidung Purnama, Sahaja Santajana (Ciamis), Sulis Bambang, Yuliani Kumudaswari, Heru Mugiarso, Yanti S Sastro (Semarang), Sus S Hardjono (Sragen), Kurnia Effendi, Romy Sastra, Marlin Dinamikanto (Jakarta), Bagus Putu Parto (Blitar).

Kemudian, Indri Yuswandari, Kelana Siwi (Kendal), Adila Widya Kirana (Kebumen), Kurnia Wulansari (Temanggung) Suyitno Ethex (Sidoarjo), Wieranta (Solo), Harmono K (Surabaya), Aming Aminoedhin (Mojokerto), Chairul Anwar, Sutirman Eka Ardhana (Yogyakarta) dan beberapa penyair lainnya.

Karena bentuknya poetry reading from home, para penyair memilih tampil di tempat berbeda-beda misalnya di area rumahnya atau lokasi yang tidak jauh dari rumahnya, dengan latar belakang macam-macam. “Kita bisa melihat dekorasi dari pembacaan puisi ini tidak tunggal dan sifatnya alami,” kata Ons.

Dari 50 penyair yang puisinya masuk buku Mata Air Hujan di Bulan Purnama usia mereka berbeda-beda. Begitu pula pengalaman menulis puisi tidak sama. Ada yang sudah menulis puisi sejak tahun 1070-an dan sekarang usianya mendekati 70 tahun.

Tidak sedikit penyair muda yang usianya 20-an tahun rajin menulis puisi serta dikirimkan di media berbeda-beda, seperti Rahem, Rofqi, adilla dan beberapa penyair muda seangkatan.

“Karena dihadirkan secara live dan masing-masing bisa saling berinteraksi, seolah masing-masing bisa saling bertemu, laiknya di Sastra Bulan Purnama Tembi Rumah Budaya,” ujar Yuladi dari TI tembi.net.

Nuranto selaku Ketua Yayasan Rumah Budaya Tembi melihat para penyair masih terus mempunyai semangat menulis puisi dan membacakannya di depan publik. Ini yang membuat puisi tidak pernah mati bahkan puisi terus ditulis.

“Melalui Sastra Bulan Purnama dalam versi konvensional dan digital, kami sebenarnya hanya menyediakan ruang  agar karya sastra tidak hanya puisi,” ujarnya.

Selama pandemi Covid-19 belum selesai, Sastra Bulan Purnama masih terus hadir di ruang digital. Kelak setelah kondisi kembali pulih bisa merasa nyaman berkumpul dan berinteraksi. “Kita bisa bertemu lagi membacakan puisi sambil menikmati bakmi Jawa, wedang serai dan kopi di Tembi Rumah Budaya,” kata dia. (sol)