Bahasa Jawa tak akan Pernah Senja

Bahasa Jawa tak akan Pernah Senja

KALA masih sekolah, saya pernah mendengar dan menyaksikan seorang pembaca cerita menggunakan bahasa daerah di RRI dan TVRI. Kini, untuk menikmati dialek berita berbahasa lokal jarang bahkan sulit ditemukan. Saya tidak tahu, apakah berita maupun acara lain berbahasa Jawa kurang peminat atau sengaja dipinggirkan digantikan tayangan lain yang cukup tangguh menangguk rating penonton maupun keuntungan finansial.

Yang menarik, program studi Pendidikan Bahasa Jawa maupun Sastra Jawa pun hingga kini bertambah usia tetap saja ada mahasiswa peminatnya, meski juga nggak banyak-banyak amat. Siswa zaman sekarang pun merasa sulit kala diberikan PR pelajaran bahasa Jawa; apalagi saat diminta menuliskan dengan huruf Jawa. Kemurungan ini ditambah dengan keadaan guru maupun dosen, yang cukup kencang menyuruh murid atau mahasiswanya memopulerkan bahasa Jawa ke tengah zaman revolusi industri 4.0.

Mungkin, hari gini dianggap anti mainstream, karena hampir setiap pertunjukan ataupun lomba berbasis bahasa Jawa, lagi-lagi sepi peserta. Begitu juga dunia bisnis yang mendayagunakan bahasa Jawa, seperti profesi pranatacara acara mantu, syukuran, tunangan, dll, pun tak seramai dulu order jobnya. Demikian juga, ludruk, pakeliran wayang, kethoprak bahkan sudah beralih bahasa ke pertunjukan berbahasa Indonesia. Hal ini mengisyaratkan betapa penghargaan atau penghormatan terhadap bahasa harian, bahasa Jawa mulai menipis bahkan cenderung berasa emang gue pikirin (EGP).

Memang, pada beberapa aras lainnya, kita masih sedikit berbangga dengan tetap tampilnya host radio atau televisi lewat berita maupun gelaran acara dengan menyorongkan bahasa Jawa. Kita bisa nikmati itu di Radio Retjo Buntung, Jogja TV, maupun majalah Panjebar Semangat, dll. Beberapa komunitas yang care dengan bahasa Jawa pun seringkali menggelar lomba geguritan dan atau penulisan cerkak. Itu semua tentu saja dalam kerangka besar merawat jalur budaya lewat agenda seni budaya berbahasa Jawa.

Beberapa film pun turut menyokong upaya pelestarian dan pemopuleran bahasa Jawa di tengah booming sinetron ikatan cinta di salah satu televisi partikelir di negeri ini. Sebut saja ada film Ziarah, Siti, Prenjak dan Turah yang berbahasa Jawa dan menyabet penghargaan di jalur internasional. Film lain berbahasa Jawa ada Film Tilik, Yo Wis Ben, Bocah Ngapak, Nilep, dan Anak Lanang, dll. Memasuki dunia hiburan yang menjajakan album berbahasa Jawa ada sederet artis atau seniman yang layak berpredikat duta bahasa (Jawa) yang punya potensi, kompetensi dan daya jual yang tak kecil, seperti Via Valen, Nela Kharisma, Cak Dikin maupun Didi Kempot sebagai pejuang bahasa Jawa yang telah mendahului kita. Kempoter pun punya peran penting dalam mengenalkan bahasa daerah ke seluruh dunia.

Di jagat media sosial pun tak sedikit akun-akun anak muda yang getol meriuhkan bahasa Jawa agar tak ditinggalkan, begitu pula industri kreatif, misalnya produksi T-shirt gaul berbahasa Jawa berseliweran di mal, pasar, toko maupun kaki lima. Itu bagian semangat dan optimisme kita menghidupi dan dihidupi atas dan oleh bahasa Jawa. Sekurangnya beroleh rezeki dari ngulir budi dari bahasa Jawa. Bahkan beberapa penerbit buku juga konsisten menerbitkan naskah-nakah berbahasa Jawa, seperi Garudhawaca dan penerbit buku pelajaran mulok bahasa Jawa.

Itulah kemudian, bahasa daerah penting kita hidupkan, (Mawardi OS, 2003) karena sebagai lambang kebanggaan daerah, sebagai lambang identitas daerah, sebagai alat perhubungan di dalam keluarga, sebagai sarana pendukung budaya daerah dan bahasa Indonesia, sebagai pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia. Sedangkan fungsi bahasa daerah dalam hubungan dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, adalah: pendukung bahasa Indonesia, bahasa pengantar pada tingkat permulaan sekolah dasar di daerah tertentu untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan atau pelajaran lain. Sumber kebahasaan untuk memperkaya bahasa Indonesia.

Upaya mencegah kepunahan bahasa daerah, yaitu: menerbitkan bacaan atau majalah dengan bahasa daerah setempat, menggunakan bahasa daerah pada saat di rumah, menyelenggarakan acara-acara yang dapat melestarikan bahasa daerah, seperti karya tulis, drama, puisi, dan lainnya. Bahasa daerah menjadi bagian dari muatan lokal di sekolah. Orangtua mengajarkan bahasa daerah kepada anak-anaknya untuk berkomunikasi harian. Selain beberapa cara di atas, pemerintah juga mengeluarkan lima program utama perlindungan bahasa dan sastra, agar bahasa daerah tetap lestari, yaitu: pemetaan bahasa dan sastra, kajian vitalitas bahasa dan sastra, konservasi bahasa dan sastra, revitalisasi bahasa dan sastra, peta dan registrasi bahasa dan sastra daring.

Adiluhung

Beragam effort di atas menjadi bagian cara kita mencintai dan merasa memiliki Indonesia dengan keragaman bahasa daerahnya, termasuk bahasa Jawa. Sejak 1991, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah memetakan sebanyak 718 bahasa yang teridentifikasi. Sayangnya, sebelas di antara bahasa daerah tersebut telah punah atau tidak ada lagi penuturnya. Kelestarian bahasa, termasuk bahasa daerahnya akan memperkokoh mutu manusia itu sendiri.

Arief Rahman, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (Kompas, 23/2/2020) menekankan,  ada empat kekuatan bila anak dibiasakan untuk mengerti bahasa daerah sejak kecil, yakni menguatkan rasa kekeluargaan, menumbuhkan toleransi saling mengenalkan satu dengan yang lain, termasuk bahasa daerah ke generasi yunior atau kaum milenial dan menjaga perbedaan dalam berbahasa daerah dan mengaskan tak ada yang salah atas perbedaan itu. Tak kalah pentingnya, yakni mesti kita dorong dan gerakkan kembali melalui intervensi komisi penyiaran, agar lembaga siaran, seperti radio, TV lokal, TV nasional yang punya siaran lokal wajib memuat konten acara yang memakai bahasa daerah, bahasa Jawa misalnya.

Pemerintah daerah pun sudah memberi teladan atas upaya merawat bahasa Jawa dalam praktik kedinasan, seperti penerapan bahasa daerah dan baju adat pada hari tertentu. keseriusan Pemprov Jateng untuk melindungi, membina dan mengembangkan bahasa, sastra dan aksara Jawa agar semakin melekat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian masyarakat tidak kehilangan kepribadiannya, karena dalam bahasa Jawa, terdapat unsur pendidikan kepribadian. Relasi bahasa Jawa dan pandemi covid-19, rupanya bahasa satu ini cukup ampuh menanggulangi masifnya penyebaran penyakit tak kasat mata ini melalui kampanye, sosialisasi, stand up komedi, edukasi, pamflet, himbauan, vlog, video, tiktok, dll yang berkonten bahasa Jawa. Bahasa Jawa rasanya tak pernah senja apalagi purba.

Terakhir, semoga upaya-upaya sederhana di atas mampu menjadi penyulut semangat generasi muda untuk mendalami bahasa daerahnya, seperti tata bahasa (parama sastra) dan penerapannya yang harus empan papan atau unggah-ungguhnya. Inilah bagian upaya kita mencintai ibu kandung kita, yakni nguri-uri budaya Jawa yang adiluhung. *

Marjono

Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng