Berkat ATM, Kota Malang Berhasil Terapkan Ilmu dari Bantul

Berkat ATM, Kota Malang Berhasil Terapkan Ilmu dari Bantul

KORANBERNAS.ID – Kota Malang Jawa Timur berhasil menerapkan ilmu pengelolaan sampah hingga meraih sejumlah penghargaan.

Semua itu tidak lepas dari kisah inspiratif tokoh bernama Bambang Suwerda, pendiri Bank Sampah Gemah Ripah dari Dusun Badegan Kabupaten Bantul.

Hanya bedanya bank sampah di berbagai provinsi termasuk DIY saat ini rata-rata berkembang dalam skala kecil sedangkan di Malang langsung tumbuh besar dan tersentralisasi. Semua itu terwujud berkat metode ATM (Amati Tiru dan Modifikasi).

Inilah pengakuan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Malang, Suwasto. Pada awalnya, dia bersama stafnya belajar ke Bantul.

“Setelah itu kami melakukan survei ke lapak-lapak sampah,” ucapnya saat menerima kunjungan Studi Komparasi Forum Wartawan Unit DPRD DIY, Kamis (31/10/2019), di balaikota setempat.

Pada kunjungan yang berlangsung dua hari hingga Jumat (1/11/2019) kali ini, rombongan yang dipimpin Kepala Bagian Humas dan Protokol Sekretariat DPRD DIY, Budi Nugroho, diterima langsung Sekda Kota Malang, Suwasto.

Dia didampingi Direktur Bank Sampah Malang, Rachmat yang juga Kabid Bina Kemitraan Dinas Lingkungan Hidup serta Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan, Rinawati.

Suwasto, pria asli Gunungkidul yang dianggap fasih berbahasa Jawa krama inggil untuk ukuran kota setempat mengapresiasi daerahnya dipercaya sebagai tujuan studi banding.

Penerimaan kunjungan Forum Wartawan Unit DPRD DIY di Balaikota Malang. (sholihul hadi/koranbernas.id)

“Saya sebelum jadi Sekda adalah Kepala Bappeda dan pernah menjadi Kepala Kebersihan dan Pertamanan. Malang itu kecil dan sempit undha-undhi dengan Jogja. Luas Kota Malang 114 kilometer persegi terdiri 5 kecamatan dan 57 kelurahan. Jumlah penduduk 907 ribu jiwa ditambah mahasiswa 300 ribu. APBD Rp 2,3 triliun, artinya ketergantungan terhdap Dana Alokasi Umum (DAU) masih besar,” paparnya.

Berkat kesuksesan Bank Sampah Malang yang memiliki nasabah sejumlah 30 ribu dan omzet Rp 300 juta per bulan,  jajaran pemerintah itu sering diundang ke luar negeri seperti Singapura, Malaysia dan negara lainnya.

“Kesimpulan saya, bisnis sampah itu kaya. Ada yang umrah bolak balik. Istrinya lebih satu. Semua dinafkahinya dari sampah,” kelakarnya.

Suwasto menambahkan, pertama kali dirinya sempat bingung saat hendak membuat bank sampah dengan alur manajemen yang tersentralisasi, berskala besar dan menjadi satu induk. Keinginannya terbentur peraturan.

Satu-satunya cara adalah membentuk koperasi sebab apabila bank sampah berbentuk BUMD (Badan Usaha Milik Daerah) maka harus ada perdanya.

Pendirian Bank Sampah Malang dimulai Agustus 2011 berawal dari kegundahan dirinya ketika empat Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah tutup. “Belakang Balaikota Malang ini dulu juga TPA,” ujarnya.

Tidak ada cara lain mengatasi sampah kecuali harus mengubah perilaku masyarakat. Dia kemudian melakukan sosialisasi bank sampah, road show sampai RT dan RW. Selain itu, juga mencari koneksi.

Akhirnya diperoleh bantuan CSR dari PT PLN berupa truk dan mesin pencacah sampah. Dia juga berhasil membentuk kader lingkungan belasan ribu jumlahnya.

Potensi sampah di Kota Malang sama dengan DIY sekitar 500 sampai 600 ton per bulan. Sementara keberadaan bank sampah hanya mampu mengurangi sekitar 5 ton saja. Yang pasti omzet Bank Sampah Malang kini mencapai Rp 300 juta sebulan.

Layanan front office Bank Sampah Malang. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Pinjam uang

Lebih lanjut dia menjelaskan pengelolaan Bank Sampah Malang diawali dengan metode pinjam uang bayar sampah. Cara itu berkembang pesat bahkan belakangan ada masjid didirikan dari hasil pengelolaan sampah.

Ada pula tenaga medis, namanya Dokter Gamal, menerapkan semacam asuransi kesehatan dari sampah. Warga cukup setor sampah senilai Rp 5 ribu atau Rp 10 ribu. Inovasi dokter ini pun meraih penghargaan dari Pangeran Charles.

Cerita sukses pengelolaan sampah juga mengundang perhatian pemerintah pusat yang kemudian membantu dana Rp 200 miliar untuk menata TPA Sampah dengan sistem sanitary landfill.

“Sekarang dalam proses diperkirakan awal 2020 selesai. Wujudnya bantuan program dari Kementerian PU,” kata Wasto.

Bicara masalah samlah dan lingkungan, Suwasto mengaku dirinya memang sangat getol. Terdapat dua jenis layanan yang sulit mendapatkan izin. Pertama, izin perceraian. Kedua, izin menebang pohon. “Dua layanan ini paling sulit izinnya,” kata dia.

Kalangan kampus pun dilibatkan mengatasi problem sampah dan lingkungan. Para rektor memerintahkan mahasiswa baru menanam pohon karena satu pohon sama dengan satu pabrik oksigen.

Ditanya soal keberadaan Bank Sampah Malang apakah linear dengan kampus, Wasto mengakui ada banyak LSM lingkungan di kota ini. Bahkan Kader Lingkungan rata-rata berijazah sarjana S1.

Menjawab pertanyaan punisment bagi warganya yang buang sampah sembarangan, menurut dia, pendekatannya bukan sanksi tapi menggugah kesadaran.

Itu sebabnya penegakan perda jarang dilakukan. Sebagai gantinya dilaksanakan upaya penyadaran melalui pendekatan budaya. Misalnya melalui lomba Kampung Bersinar.

Dia mengakui sampah menjadi masalah di hampir semua daerah termasuk keberadaan TPA sampah selalu memunculkan konflik.

Hal serupa terjadi di Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan Bantul. “Persoalannya sama. Kami melakukan pendekatan secara budaya,” kata dia.

Proses pemilahan sampah di Bank Sampah Malang. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Sangat positif

Budi Nugroho mengatakan, hasil dari kunjungan di Malang Jawa Timur akan didiskusikan untuk dijadikan bahan masukan bagi Pemda DIY maupun DPRD DIY.

Kegiatan ini selain untuk kemitraan juga berdampak sangat positif. Apalagi DIY saat ini fokus pada pengelolaan sampah terutama di TPST Piyungan Bantul yang digunakan tidak hanya oleh Kota Yogyakarta, tetapi juga Kabupaten Sleman dan Bantul.

“Ada hasil yang bisa kita petik. Setelah kunjungan ke Malang, ditindaklanjuti dengan kegiatan Forum Diskusi Wartawan DPRD DIY. Sekretariat dewan akan mengundang komisi dan instansi yang terkait, hasil pembahasan dijadikan masukan ke Pemda DIY terkait dengan pengelolaan dan kebijakan penanganan sampah,” paparnya. (sol)