Bisnis Properti Tak Surut di Masa Pandemi

Bisnis Properti Tak Surut di Masa Pandemi

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Pandemi Covid-19 rupanya tidak begitu mempengaruhi aktivitas bisnis properti. Tatkala bisnis yang lain terpaksa gulung tikar, justru bisnis properti tetap eksis. Memang, terjadi pasang-surut namun itu hal biasa.

“Bisnis properti akan selalu hidup, dibutuhkan dan relatif kecil mengalami disrubsi atau peralihan seketika berubah bentuk dan wajah. Ada, tetapi relatif sangat kecil,” ungkap Ilham Muhammad Nur, Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) DIY, Senin (18/1/2021).

Melalui musyawarah daerah (musda) yang berlangsung Sabtu (16/1/2021), Ilham baru saja terpilih sebagai Ketua DPD REI DIY periode 2021-2024.

Sebagai ketua baru yang diamanati memajukan organisasi tersebut, Ilham optimistis mengingat properti merupakan kebutuhan dasar manusia setelah pangan dan sandang. Apalagi jumlah manusia setiap hari bertambah sementara jumlah lahan semakin berkurang.

“Kebutuhan papan itu sepanjang zaman. Prediksi saya, papan akan selalu mengikuti perkembangan modernitas kehidupan manusia bahkan sampai selesainya alam ini,” ungkapnya.

Merujuk data BPS (Badan Pusat Statistik), Ilham menjelaskan pada masa pandemi bisnis properti relatif tidak mengalami konstraktif. “Bisnis properti masih ada pertumbuhan. Sempat minus bahkan sempat plus dua persen saat bisnis yang lain hampir rontok semua,” ucapnya.

Apalagi bisnis ini relatif mudah dijalankan, termasuk di dalamnya ada jual-beli tanah dan bangunan, pergudangan, toko, perniagaan maupun kawasan  industri.

Selain menjanjikan, bisnis properti juga menyerap angkatan kerja relatif tinggi. Sebagai perbandingan, Ilham menyebut hampir 70 persen dari total jumlah penduduk DIY saat ini merupakan angkatan kerja produktif. “Pasti mereka butuh rumah,” ujarnya.

Dia menegaskan, bisnis properti yang dijalankan REI basiknya adalah legal. Itu sebabnya untuk membedakan anggota REI atau bukan cukup mudah, yaitu SHGB (Sertifikat Hak Guna Bangunan).

“Legalitas atau persyaratan ini memang diatur oleh Kementerian ATR/BPN. Inilah uniknya bisnis properti di bawah bendera REI, antara kepemilikan dan perizinan melekat jadi satu,” kata dia.

Berdasarkan aturan dari kementerian, kata dia, yang bisa memiliki hak milik (SHM) adalah pribadi. PT atau badan hukum tidak bisa. Maka diputuskan di dalam undang-undang menjadi SHGB. Jika properti itu dibeli konsumen, barulah sertifikat menjadi hak milik atau SHM.

Lebih jauh mengenai kebutuhan rumah di DIY, Ilham mengakui masih terjadi backlog cukup besar. Sebagai gambaran, dari total 3 juta penduduk DIY masih ada ratusan ribu keluarga belum bisa membeli rumah alias masih nunut orang tua bahkan ada yang benar-benar tidak bisa memiliki rumah.

“Katakan (penduduk DIY) yang sudah berkeluarga rata-rata mungkin 50-60 persen. Artinya ada lebih kurang 1,5 juta keluarga, tetapi yang belum punya rumah 250 ribu. Itu luar biasa,” kata dia.

Ditanya seperti apa solusinya ke depan, dia menyatakan UU Cipta Kerja salah satunya mengatur mengenai bank tanah. Nantinya tidak hanya pemerintah pusat, daerah juga diharapkan bisa mewujudkan bank tanah dalam rangka memberi hunian layak kepada masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Pada bagian lain terkait regulasi, Ilham mengakui yang satu ini memang sangat sensitif bagi anggota REI. Di satu sisi anggotanya harus siap dengan bisnis legal di sisi lain terbentur aturan yang sangat rigid serta berulang-ulang.

“Bayangkan, mau maju izin prinsip kita harus presentasi dokumen proyek. Di situ ada OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terkait. Kemudian, (presentasi) izin berikutnya. Ada izin lokasi. OPD-nya sama. Ada izin lingkungan. OPD juga sama. Pengurusan siteplan. OPD sama,” kata dia.

Bagi REI DIY, inilah pekerjaan rumah yang mestinya bisa diselesaikan. “Kenapa perizinan tidak itu disatukan dan dikerucutkan pada satu waktu,” tandasnya. (*)