Cerita Anggota DPR RI di Warung Sate Klatak

Cerita Anggota DPR RI di Warung Sate Klatak

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Mendung tipis menyelimuti langit Kota Yogyakarta. Cuaca terasa gerah, Sabtu (23/1/2021) siang itu. Kipas angin di warung Sate Klatak Kang Ipan depan RSUD Wirosaban Yogyakarta berputar kencang, tetap saja udara terasa panas.

Namun hal itu tidak menyurutkan semangat Sukamta, anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bercerita panjang lebar mengenai apa yang sebenarnya terjadi di negara ini. Pada acara silaturahim sekaligus konferensi pers tersebut, politisi peraih gelar doktor dari Salford University Inggris itu mengungkap banyak hal, mulai dari pandemi, vaksinasi, APBN, bencana serta utang negara.

Satu yang membuat dia gelisah dan khawatir adalah keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024.

Secara pribadi maupun kelembagaan DPR RI, alumnus Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada (UGM) ini sangat setuju dengan perpres itu. Namun ada satu yang masih mengganjal. Sukamta kemudian mengungkap satu poin dari perpres yang ditetapkan 6 Januari 2021 tersebut yang kontradiktif bahkan bisa membahayakan, menjadikan bangsa ini terpecah belah.

“Program ini di-endorse oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Kita paham dan sangat mendukung semua program pemberantasan terorisme sampai ke akar-akarnya. Mestinya di negara RI ini tidak ada toleransi kegiatan terorisme,” tegasnya.

Dari sekitar 130-an rancangan rencana aksi, dirinya memberikan satu catatan yakni klausul yang mendorong masyarakat membuat laporan ke polisi apabila melihat adanya orang-orang yang dianggap ekstremis yang bisa menjurus ke terorisme. “Dari seluruh rancangan itu saya tidak akan soroti 100 persen, tetapi catatan yang terkait dengan ajakan masyarakat ini yang saya kira tidak tepat,” kata dia.

Kenapa tidak tepat? Politisi kelahiran Klaten Jawa Tengah ini melihat di dalam perpres itu tidak diperjelas apa sebenarnya ekstremisme berbasis kekerasan. Begitu pula pada lampiran kedua, tidak disertai parameter maupun ukuran-ukurannya.

Tidak hanya membuat masyarakat terbelah, menurut Sukamta, pepres itu jika ditarik pada level masyarakat paling bawah hampir pasti praktiknya akan sangat merepotkan banyak pihak.

“Di satu RT misalnya, kalau kita rapat RT pasti ada orang yang slow banget. Tapi ada juga yang ngeyel banget. Super ngeyel. Kalau Pak RT ngomong apa saja pasti dikritik. Nah, orang seperti ini apakah masuk ekstremis. Menjengkelkan memang iya tetapi apakah menjengkelkan itu kemudian dianggap ekstremis dan dilaporkan ke polisi. Apa parameter dan buktinya?” ujarnya bertanya-tanya.

Baginya, inilah pentingnya definisi secara jelas dan terperinci supaya masyarakat tidak terdorong saling berpecah belah. Dia khawatir, perpres itu di tangan masyarakat bisa dijadikan semacam senjata, dalam tanda kutip, untuk saling menjatuhkan sesama warga hanya gara-gara masalah sepele bahkan tidak ada kaitannya sama sekali dengan ekstremisme.

“Kenapa? Karena anjuran ini (berlaku) di seluruh Indonesia. Saya membayangkan misalnya nanti kalau masyarakat mengetahui tentang ini, ini kayak memberi ruang kepada masyarakat melaporkan ke polisi orang-orang yang membuat jengkel, mangkel dan wong sing sangat ngeyelan di kampung. Masyarakat nggak mau tahu parameternya apakah ekstremis atau tidak. Pokoke laporkan karena ada Perpres 7/2021, nanti ben disidik polisi,” kata Sukamta.

Berlarut-larut

Celakanya lagi, lanjut dia, di dalam peraturan itu ada ketentuan polisi begitu mendapat laporan punya kewajiban menyidik dan melakukan pemanggilan. Mungkin karena banyaknya warga yang dipanggil prosesnya bisa berlarut-larut. “Dipanggil jam 10.00 diperiksa jam 12 malam. Capek nggak. Nggak peduli ini ekstremis atau nggak disidik saja kan sudah ada laporan. Kalau ini berjalan di seluruh Indonesia saya membayangkan masyarakat kita punya potensi diadu domba dan terbelah,” ujarnya prihatin.

Mantan anggota DPRD DIY ini berharap pemerintah meninjau bab rancangan terkait dengan pelibatan masyarakat. Ini dimaksudkan agar jangan sampai aturan yang awalnya untuk pemberantasan teorisme berdasarkan undang-undang adalah wewenang dan tugas BNPT dan polisi Densus 88, kemudian melibatkan masyarakat.

“Ini kayak sosialisasi konflik ke akar rumput. Nah, kalau itu terjadi, dalam waktu setahun dua tahun masyarakat NKRI bisa terbelah menjadi dua atau banyak. Jadi, pakailah cara-cara yang konstruktif jangan negatif. Maka saya sangat mengkritisi rancangan aksi ini khususnya bab terkait pelibatan masyarakat untuk melaporkan. Untuk yang lain-lain mulai dari pemberdayaan masyarakat supaya ekonominya maju sehingga nggak gampang dibujuk teroris, itu sangat bagus,” tandasnya.

Menjawab pertanyaan soal intoleransi, didampingi anggota DPRD DIY Boedi Dewantoro, lebih jauh Sukamta menjelaskan intoleransi berbeda dengan ekstremisme mengingat ekstremisme bisa berbasis agama, nasionalisme serta apa saja. Misalnya, slogan “NKRI Harga Mati” itu sebenarnya dari sisi ilmu bahasa disebut sebagai kalimat yang ekstrem sebab kalimat yang moderat dan kompromis dengan maksud yang sama juga tersedia dan ada.

“Tetapi toh kita mengambil itu. Jadi, tidak semua ekstremisme itu harus dihilangkan tetapi yang harus dihilangkan adalah terorisme. Sudah ada undang-undangnya. Intoleransi itu makhluk lain lagi. Konservastisme lain lagi makhluknya,” ucap Sukamta tanpa sekali pun melepas maskernya saat berbicara hampir satu jam.

Biasanya, intoleransi muncul dari pemahaman agama yang tidak cukup komprehensif dan mendalam. Sukamta mencontohkan orang yang baru belajar agama dari satu buku biasanya akan cenderung kencang memahami dan menganggap orang lain salah. “Nanti kalau yang dibaca sudah 20 buku, dia sudah tahu itu (dianggap salah ternyata) benar juga,” ucapnya.

Menurut Sukamta, orang dengan tingkat pemahaman seperti itu harus dibina bukan dibinasakan karena mereka sedang berproses menuju kedewasaan beragama. “Lain kalau orang sudah punya kemauan jadi teroris. Ini makhluk yang berbeda dan cara menanganinya juga berbeda,” kata dia.

Sukamta berharap pemerintah lebih dewasa, jangan bersikap kekanak-kanakan melihat situasi keagamaan rakyatnya.

“Apa-apa sedikit dilaporkan. Ini babnya mungkin orang baru sadar beragama dan baru tahu ilmu sepuluh persen terus menganggap orang lain keliru, terus dianggap intoleransi. Ini perlu dibina supaya pengetahuan agamanya bertambah luas. Nanti kalau dilaporkan terus dipecat dari ASN maka tidak punya penghasilan dan jadi problem baru ekonomi. Mungkin dia mudah direkrut menjadi lebih radikal. Saya juga berharap pemerintah tidak menjadi ekstremis baru dalam menghadapi intoleransi,” tandasnya. (*)