Daerah Perlu Perkuat Inovasi dan Pendampingan Program Pencegahan Stunting

Daerah Perlu Perkuat Inovasi dan Pendampingan Program Pencegahan Stunting

KORANBERNAS.ID, JAKARTA -- Strategi Nasional Pencegahan Stunting menargetkan penurunan angka prevalensi stunting menjadi 14 persen pada tahun 2024 (tahun 2021 pada angka 24,4 persen). Salah satu inovasi penting yang harus dilakukan pemerintah daerah adalah pada aspek inovasi program dan kapasitas pendampingan dalam mengedukasi keluarga stunting.

Plt Deputi Bidang Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas, Dr Subandi Sardjoko, menyampaikan saat ini masih ada kurang lebih 5,3 juta Balita stunting, di mana 69 persennya terjadi di 12 provinsi yang saat ini menjadi program prioritas nasional termasuk provinsi NTT dan Jawa Timur.

“Intervensi Spesifik dan Intervensi Sensitif Program Pencegahan Stunting perlu inovasi baru melalui keterlibatan para pihak termasuk organisasi nonpemerintah dalam melakukan capacity building, pemantauan dan evaluasi,” jelas Subandi Sardjoko dalam Coffee Morning Thank God It's Friday: Bersama Tanggulangi Stunting yang diadakan oleh LP3ES, Jumat (12/8/2022).

Tingginya angka prevalensi stunting di Nusa Tenggara Timur membuat khawatir aktivis sosial dan politik NTT, Aulora Agrava Modok.

Menurutnya, di NTT terdapat 15 kabupaten darurat stunting dengan angka prevalensi di atas 30 persen bahkan di kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) mencapai angka 48,3 persen,  tertinggi dari 246 kabupaten prioritas.

“Dengan kenaikan hanya 1,1 persen per tahun di mana tahun 2021 pada angka 20,9 persen dan tahun 2022 menjadi 22 persen peluang NTT untuk mencapai Generasi Emas Indonesia 2045 terancam tidak terwujud karena anak gagal tumbuh,” ujar anggota DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur periode 2014 - 2019 itu.

Aulora Agrava Modok menambahkan pendekatan administratif dalam rekrutmen pendamping di daerah berdampak pada tidak efektifnya implementasi program pencegahan stunting pada tingkat penerima manfaat program.

“Pada beberapa kesempatan bertemu dengan masyarakat, kami menemukan fakta lapangan di mana makanan tambahan yang diperuntukkan bagi anak stunting menjadi makanan bagi tamu yang berkunjung ke rumah. Ini salah satu contoh tidak efektifnya proses edukasi pada keluarga stunting,” terangnya.

Di Jawa Timur, implementasi program pencegahan stunting yang dilakukan oleh Fatayat Nahdlatul Ulama Wilayah Jawa Timur dengan menyasar kelompok pesantren menggunakan pendekatan budaya dan agama.

“Dengan karakteristik pesantren yang beragam, kami menggunakan pendekatan budaya dan agama melalui Gus dan Ning sebagai pintu masuk program stunting di Pesantren,” kata Dr Begum Fauziyah, Pengurus Pimpinan Wilayah bidang Kesehatan Fatayat Nahdlatul Ulama Jawa Timur.

Menanggapi dinamika yang tinggi dalam implementasi program stunting di dua daerah ini, Plt Direktur LP3ES, Erfan Maryono,  menyimpulkan target yang sudah direncanakan oleh pemerintah pusat belum berdampak signifikan di daerah.

“Problem pada implementasi tidak hanya pada tingkat kabupaten bahkan pada tingkat rumah tangga, sehingga kemampuan daerah untuk melakukan inovasi perlu diperkuat dalam menyelesaikan masalah strategis pada masing-masing daerah,” ungkap Erfan.

Dia menambahkan pentingnya keberadaan pendamping yang mampu menggerakkan kekuatan masyarakat termasuk volunterisme melalui digital platform diharapkan menumbuhkan kontribusi terhadap penurunan angka stunting. (*)