Dalang Muda Ini Tak Patah Semangat Bertahan di Tengah Pandemi

Dalang Muda Ini Tak Patah Semangat Bertahan di Tengah Pandemi

KORANBERNAS.ID, BANTUL -- Namanya Doni Syahputra. 22 tahun usianya. Akrab disapa Mas Dony, pemuda ini merupakan salah seorang dalang muda yang dimiliki Kabupaten Bantul. Tinggal di  Dusun Seropan III Kalurahan Muntuk Kapanewon Dlingo, Mas Dony dikenal sebagai dalang sejak remaja.

Ditemui tim KKN Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Rabu (1/9/2021), Dony mengaku mengenal dunia pewayangan sejak 2016 melalui sosial media. “Saya termotivasi melihat almarhum Ki Seno Nugroho bermain wayang,” katanya.

Sejak itu dia tekun berlatih tanpa kenal lelah. Dua tahun dia pernah mengenyam pendidikan seni wayang di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI), saat ini dikenal sebagai Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Kasihan Bantul. Kemudian, selama setahun menimba ilmu di Habirandha Keraton Yogyakarta.

Habirandha atau Hamurwani Biwara Rancangan merupakan sekolah pedalangan di Jalan Rotowijayan Nomor 1 Yogyakarta, awalnya bernama Pawiyatan Pedhalangan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, berdiri tahun 1925.

Selain itu, Dony beberapa kali nyantrik bersama dalang-dalang senior. Ketika pertama terjun di dunia perwayangan keluarga belum mendukung. Lama kelamaan setelah melihat keseriusan dan tekatnya, keluarga mengerti dan mendukung sepenuhnya.

“Di keluarga saya, hanya saya yang terjun ke pewayangan. Awalnya keluarga kurang mendukung, tetapi sekarang mereka mendukung yang saya tekuni ini,” katanya.

Bag dalang muda seperti dirinya pendidikan formal di sekolah  belum cukup karena hanya menampung 40 persen saja. Artinya pendidik di sekolah menerangkan dasar teorinya sedangkan praktik lebih banyak berbicara, termasuk pengalaman dan kulina.

Misalnya, ada bahasa-bahasa khusus pedalangan, tidak hanya Jawa halus tetapi juga bahasa Kawi dan Sansekerta. Dony mempelajari dua bahasa itu secara otodidak karena di pendidikan dalang tidak dipelajari. Selain Bahasa, adab pun perlu diperhatikan.

“Contoh, saat berbusana dalang kita harus menghormati pergelaran. Kita di dunia perwayangan itu harus memegang tata krama agar tidak pamali. Ora gur nyabetke wayang tapi kita harus mempunyai tata krama di atas panggung,” ucapnya.

Saat ini cukup banyak  remaja atau pemuda tertarik sekolah di jurusan perdalangan. Problemnya, mereka sering hanya nguri-uri bukan bermaksud ngurip-urip.

Problem utama pewayangan ada pada penanggap yakni masyarakat. “Kita sebagai dalang berharap masyarakat dan instansi-instansi terkait mendukung generasi muda yang menekuni budaya pedalangan,” kata dia.

Sony sudah melakukan pementasan bukan hanya skala lokal namun hingga luar negeri seperti  Sydney Australia. Pernah juga tur di Asia.

Rintangan berat

Selain tanggapan, kondisi pandemi saat ini menjadi rintangan yang berliku dan berat bagi pelaku seni termasuk seni pedalangan. Hal itu tidak mematahkan semangatnya tetap hidup dan bertahan.

“Sebelum pandemi itu euforia masyarakat masih besar-besarnya, tapi saat ini euforianya sangat jauh menurun. Pementasan wayang sebelum dan sesudah pandemi sangat jauh berbeda. Saat ini kita sering curi-curi waktu dan kesempatan agar dapat pentas dan itu diadakan online,” terang Donny.

Sebelum pandemi menjadi dalang sudah dirasa cukup untuk memenuhi kehidupan. Pandemi ibarat pukulan besar bagi pelaku seni, “Ya kalau dipersentase sebelum pandemi itu bisa sampai 80 persen. Saat pandemi seperti ini 10 persen saja sudah alhamdulilah,” katanya.

Selain permasalahan finansial, pelaku seni seperti Mas Dony juga menghadapi masalah perizinan. Sering terjadi pergelaran wayang dihadapkan sulitnya mengurus izin. Seandainya diizinkan pun ada pengurangan jumlah pemain.

“Dari biasanya 30 orang menjadi 15 atau 20, karena kita cari aman saja yang penting bisa mengadakan pentas. Hasilnya kita bagi dengan kru dan saudara-saudara,” ucapnya.

Dunia pedalangan sebenarnya sudah memiliki wadah yang menampung dalang dari kalangan generasi muda yaitu Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi). Peran organisasi tersebut selama masa pandemi sangat sentral.

“Pepadi selalu mengupayakan bagaimana kita bisa mengadakan pementasan wayang meskipun tempatnya di situ-situ saja. Wiyaga atau pemain dan dalang bergiliran tampil,” katanya.

Pepadi tetap mengupayakan pementasan meskipun di masa pandemi saat ini dengan pentas terbatas ataupun secara  virtual.

Anggota tim KKN UIN Sunan Kalijaga, Rozin Rabbani dari Jurusan Ilmu Hukum mengatakan KKN yang mereka lakukan di Seropan, salah satunya mengangkat  dalang muda agar bisa dikenal dan  mampu bertahan di tengah pandemi.

“Wayang adalah seni warisan leluhur yang harus kita lestarikan. Salah satu bentuk dukungan kita adalah ikut memperkenalkan Mas Dony ini melalui berbagai sosial media yang kita miliki dan podcast,” katanya.

Mahasiswa berharap dengan dipublikasikan akan semakin banyak yang mengenal dan nanggap  wayang. Tentu saja pementasan dilakukan terbatas dan bisa disiarkan secara virtual. (*)