Delegasi G20 Kunjungi FOI Yogyakarta, Belajar Praktik Bank Pangan

Delegasi G20 Kunjungi FOI Yogyakarta, Belajar Praktik Bank Pangan

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA--Foodbank of Indonesia (FOI) Yogyakarta menjadi salah satu tujuan field trip para peserta Regional Technical Workshop on Food Loss and Waste (FLW) G20 yang diadakan oleh Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian, bekerja sama dengan Thunen Institute sebagai organisator isu food loss dan food waste dalam presidensi G20.

Puluhan orang anggota delegasi G20, secara langsung mempelajari praktik pengelolaan potensi food waste yang telah dilakukan oleh Foodbank of Indonesia, sebagai bank pangan di Yogyakarta.

Dihadiri oleh peserta perwakilan dari 9 negara ASEAN, field trip dilakukan dengan kunjungan ke gudang penyimpanan dan pemilahan makanan dan kunjungan kepada mitra penerima manfaat FOI, yaitu TK Negeri 3 dan Posyandu Sunthi untuk menyaksikan distribusi makanan kepada balita, anak-anak, dan lansia.

Pengurangan food waste menjadi perhatian serius Indonesia dan negara-negara di dunia, sesuai komitmen dalam Sustainable Development Goals (SDGs) ke-12 poin ke-3. Negara-negara di dunia diharapkan dapat mengurangi 50% food waste per kapita di tingkat retail dan konsumen pada tahun 2030.

Upaya pengurangan food waste telah sejalan dengan arahan Presiden Joko Widodo, sebagai bentuk antisipasi menghadapi krisis pangan, krisis energi dan krisis keuangan yang melanda dunia internasional saat ini.

Pendiri FOI, Muhammad Hendro Utomo menjelaskan, kajian Bappenas, food loss and waste (FLW) di Indonesia pada tahun 2000-2019 berkisar 23-48 juta ton/tahun, setara dengan 115–184 kg/kapita/tahun. Hal tersebut berdampak pada kerugian ekonomi sebesar Rp 213-551 triliun per tahun. Potensi FLW tersebut dapat disalurkan untuk memberi makan 61-125 juta orang atau 29-47% populasi Indonesia.

“Kami terus menjembatani makanan berlebih yang berpotensi menjadi food waste untuk diberikan kepada masyarakat yang membutuhkan. Kami akan mengumpulkan, memilah, mengolah, dan mendistribusikan makanan berlebih kepada para penerima manfaat, sehingga dapat menekan kemubaziran pangan sekaligus mengatasi kerawanan pangan,” kata Hendro, di sela-sela menemani delegasi G20 dalam kunjungannya ke Sekretariat FOI Yogyakarta.

Foodbank of Indonesia (FOI) sebagai lembaga bank makanan bergerak di akar rumput, membantu lebih dari 40.422 anak-anak melalui 1.044 lembaga PAUD, SD, dan Posyandu. FOI juga bergerak menolong lansia, ibu hamil, ibu menyusui serta daerah yang tertimpa bencana. Pergerakan ini dilakukan secara kolaboratif di 43 kota/kabupaten bersama dengan berbagai pihak, seperti JNE Express, yang turut membantu menjangkau lebih banyak penerima manfaat.

“Bank pangan memiliki peran penting untuk mengatasi kerawanan pangan dan gizi. Kami mendorong terbentuknya jaringan bank pangan hingga tingkat kecamatan yang menyimpan pangan lebihan industri dan keluarga serta dari sumber-sumber sekitar komunitas masyarakat. Sampah makanan bernilai 330 triliun yang kita hasilkan selama ini, dapat digunakan untuk mengatasi kerawanan pangan dan gizi melalui bank pangan di seluruh pelosok negeri,” lanjutnya.

Head of Media Relations JNE Express, Kurnia Nugraha menambahkan, pihak swasta atau dunia bisnis juga berperan penting dalam upaya mengurangi kemubaziran pangan dan memerangi kelaparan. JNE bekerjasama dengan FOI mendistribusikan bantuan pangan ini kepada masyarakat yang membutuhkan.

“Ini merupakan bentuk komitmen kami untuk terus memberikan pelayanan yang baik untuk masyarakat. JNE akan selalu dapat menghantarkan kebahagiaan ke seluruh Indonesia, sesuai tagline “Connecting Happiness”. JNE telah membantu menyelamatkan dan mengantarkan makanan kepada orang-orang yang mengalami kelaparan.

“Sejak berkolaborasi dengan FOI selama 2018 hingga 2022, JNE telah berhasil menyelamatkan lebih dari 591 ton makanan berlebih di seluruh Indonesia. Sesuai tagline JNE Connecting Happiness, JNE berharap akan terus mengantarkan makanan berlebih dari retail untuk masyarakat yang membutuhkan, yaitu anak-anak dan lansia,” ujar Kurnia Nugraha.

Menurut Hendro, masyarakat yang mengalami keterbatasan sumber pangan cenderung mengalami peningkatan. Terutama di wilayah perkotaan, kemiskinannya memang absolut. Artinya, kalau masyarakat kota tidak memiliki uang dan pangan, bisa dipastikan mereka tidak akan bisa makan samasekali. Beda dengan masyarakat di pedesaan, yang asalkan mau bergerak masih bisa memenuhi kebutuhan pangan karena masih memiliki tanah yang cukup untuk ditanami tanaman pangan.

“Itulah mengapa program kami lebih banyak bergerak di perkotaan. Meskipun kami juga punya program di desa berupa mendorong sektor pertanian,” pungkasnya. (*)