Disain Pemilu Serentak

Disain Pemilu Serentak

DEWAN Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah, saat ini tengah membahas Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum Serentak untuk tahun 2024 mendatang. Semenjak tahun 2014 lalu, pemerintah telah merencanakan penyelenggaraan Pemilu Serentak Nasional, baik di tingkat pusat maupun daerah. Setidaknya, pilihan kebijakan ini dasarkan pada realitas anggaran pemilu yang cukup besar, baik sebagai logistik pemilu maupun gaji penyelenggara dan pengawas pemilu. Selain itu, pemilu tingkat pusat dan daerah, yang diselenggarakan setiap tahun, menguras banyak energi pemerintah, masyarakat, dan penyelenggara sendiri. Belum lagi potensi konflik yang cukup mengkhawatirkan, karena masih kuatnya politik identitas dalam bentuk primordialitas dan konservativisme setiap kali penyelenggaraan pemilu.

Tentu ada cukup banyak isu substantif yang patut diperdebatkan, karena memang pemilu Indonesia tengah dalam perjalanan menemukan jati dirinya yang melindungi demokrasi sekaligus mengakomodir nilai-nilai keindonesiaan. Misalnya perdebatan klasik dan panjang mengenai presidensial threshold, atau parlementer threshold dalam konteks penyederhanaan partai politik, calon perseorangan baik presiden maupun kepala daerah, calon tunggal presiden dan kepala daerah. Di samping itu, hal substantif lain yang cukup krusial adalah bagaimana desain Pemilu Serentak Nasional yang akan dipilih? Topik ini tidak saja penting, namun teramat krusial karena menentukan keberhasilan Pemilu Serentak pada masa mendatang

Pilihan Model

Pertama, pilihan atas pemilu yang benar-benar serentak dalam artian bersamaan pada tingkat pusat dan daerah, baik eksekutif maupun legislatif yaitu: presiden, gubernur, bupati/walikota, DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, sekalipun jauh lebih menghemat dana dan mempersingkat waktu, namun justeru meninggalkan banyak masalah, dari aspek teknis dan substantif. Pada pemilu serentak 2019 lalu, yang hanya memilih DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan presiden, menyisakan persoalan, yang menurut data KPU, 894 petugas pemilu meninggal dunia. Dapat dibayangkan kondisi yang akan terjadi apabila ditambah pula dengan pemilihan gubernur, bupati, dan wakilota. Dari aspek substantif, kertas suara yang begitu banyak tidak saja membingungkan pemilih, namun juga merugikan calon yang bisa saja kehilangan suara, karena nama dan gambarnya tidak begitu tampak. Oleh karena itu, risiko yang dapat diperkirakan cukup mengkhawatirkan atas pilihan model ini.

Kedua, pilihan berikutnya adalah membagi pemilu menjadi dua yaitu pemilihan legislatif pada satu waktu dan pemilihan eksekutif pada waktu yang lain. DPR RI, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota akan dipilih pada satu waktu secara bersamaan. Kemudian pada tahun berikutnya akan memilih presiden, gubernur, bupati/walikota. Pilihan ini cukup rasional, bukan saja karena akan mengurangi risiko kesehatan yang selama ini dikhawatirkan, tapi juga diharapkan dapat meminimalisir kesejangan politik antara presiden dengan kepala daerah seperti yang selama ini terjadi. Presiden dan kepala daerah yang dipilih secara bersamaan memungkinkan konstituen untuk memilih dari partai yang sama. Pada sisi yang lain mengharuskan partai politik untuk mendelegasikan kader-kader terbaiknya baik pada level nasional maupun lokal.

Ketiga, pilihan ini adalah membagi pemilu menjadi dua atau tiga tingkatan, yaitu tingkat pusat dan tingkat daerah. Tingkat pusat adalah pemilihan presiden dan DPR RI serta DPD dalam waktu bersamaan. Kemudian pada tahun berikutnya pemilu tingkat daerah yaitu kepala daerah dan DPRD, yang dapat dilakukan bersamaan atau dipecah lagi menjadi dua klaster yakni pemilihan gubernur dan DPRD Provinsi lalu pemilihan bupati/walikota dan DPRD Kabupaten/Walikota. Membagi pemilu menjadi tingkat nasional dan lokal ini mungkin akan lebih baik dibandingkan dengan pilihan model yang lain. Dari aspek substantif, masyarakat juga benar-benar memiliki waktu untuk mencari dan menggali sejauh mana seorang calon meyakinkan untuk dipilih menjadi wakil di legislatif maupun eksekutif.

Sayangnya, RUU yang tengah hangat menjadi pembicaraan ini harus tertunda, karena fraksi di DPR berbeda pendapat. Sebagian ingin meneruskan pembahasan, namun sebagian yang lain memilih menunda agar pemerintah dapat fokus pada penanganan pandemi Covid-19. Argumentasi ini cukup rasional, namun rasanya agak berlebihan karena penyelenggaraan pemilu adalah masalah substansial yang juga harus dilindungi. Namun demikian, poin yang harus kita kawal bersama adalah, kran partisipasi masyarakat harus dibuka selebar-lebarnya. Jangan sampai suatu RUU muncul tiba-tiba dan langsung disahkan sebagaimana yang belakangan ini terjadi. Dari aspek moralitas dan filosofis, partisipasi rakyat adalah legitimasi keabsahan suatu undang-undang, sekalipun kita menganut demokrasi perwakilan. ***

Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH.

Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta