Ekspor Ikan DIY Pakai Label Nama Kota Lain

Ekspor Ikan DIY Pakai Label Nama Kota Lain

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Provinsi DIY merupakan basis lalu lintas produk ikan segar. Setiap hari ikan diekspor ke Malaysia, Singapura maupun negara-negara lain. Meski melewati DIY, ekspor ikan tidak memakai nama Yogyakarta melainkan label kota lain seperti Semarang, Surabaya dan Jakarta.

Problematika yang dirasa merugikan DIY tersebut dibahas cukup intens saat berlangsung Focus Group Discussion (FGD) Pelaksanaan UU No 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan UU No 45 Tahun 2009 tentang Perubahan UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Rabu (12/8/2020), di Aula Kantor DPD RI DIY.

“Sebagai contoh, udang vaname yang dihasilkan Kulonprogo diekspor menggunakan nama Jawa Timur, yang mendapatkan pendapatan asli daerah (PAD) Jawa Timur. Di sini belum ada unit pengolahan ikan jadi hanya dilewati saja,” ungkap Drs M Afnan Hadikusumo, anggota DPD RI asal DIY.

Selain Afnan, hadir pula pada diskusi kali ini Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan DIY Bayu Mukti Sasongko, Kepala Dinas Kelautan danPperikanan Gunungkidul, Krisna Berlian, Wakil Dekan Bidang Penelitian dan Pengabdian Masyarakat dan Kerja Sama Fakultas Peternakan UGM yang juga perwakilan HKTI DIY, Dr Bambang Soewignyo serta Sekjen Asosiasi BUMD se-Indonesia, Syauqi Soeratno.

Afnan mengatakan potensi hasil ikan DIY seperti di TPI Sadeng Gunungkidul cukup besar berupa tongkol, tuna dan cakalang. Persoalannya, karena belum memiliki pabrik pengolahan standar ekspor maka tidak diperbolehkan melakukan ekspor sendiri.

Sebaliknya, lanjut dia, unit pengolahan ikan di Semarang dan Surabaya berstandar ekÈ™por. “Karena pengolahan dari Semarang maka yang tercatat ekspor adalah Semarang,” kata dia.

Sebenarnya, apabila ikan dapat diolah di DIY pasti lebih segar karena mata rantai produksi lebih pendek dibanding dibawa ke kota lain terlebih dahulu. “Sadeng jika memiliki unit pengolahan sendiri maka bisa langsung ekspor ke Australia atau Singapura,” ungkap cucu pahlawan nasional Ki Bagus Hadikusumo itu.

Afnan juga mengungkap ironi lain seputar perikanan dan kelautan di DIY. Dia menyebutkan kebutuhan ikan konsumsi masyarakat DIY terbilang sangat tinggi. Ratusan ribu ton setiap tahun. Sedangkan daya produksi dari budidaya perikanan masyarakat hanya cukup memenuhi 60 persen. Alhasil Yogyakarta harus mengandalkan pasokan ikan dari luar daerah.

Persoalan berikutnya, kata dia, sampai sekarang para nelayan kesulitan mengajukan kredit ke bank. Maka jangan disalahkan jika mereka jatuh ke tangan tengkulak yang siap dengan permodalan dan kapal beserta perlengkapannya.

“Nelayan pinggir pantai di wilayah DIY masih kesulitan kapal karena untuk membuat kapal butuh modal sangat besar,” kata Afnan seraya menambahkan kebanyakan nelayan di DIY merupakan nelayan pantai bukan samudera.

Menurut dia, ini terkait dengan tradisi nenek moyang masyarakat DIY yang agraris bukan nelayan. Pengetahuan masyarakat Yogyakarta seputar kelautan sangat terbatas dibanding masyarakat lain yang memang back ground nenek moyangnya pelaut.

Peserta mengikuti jalannya diskusi. (istimewa)

Potensi perikanan tangkap

Bayu Mukti Sasongka menambahkan potensi perikanan tangkap DIY sangat besar yaitu 929.330 ton per tahun. Namun demikian produksi penangkapan sangat rendah hanya 6.276 ton per tahun atau 0,675 persen dari potensi DIY.

Untuk itu, Pemerintah DIY akan terus menggalakkan program peningkatan produksi penangkapan melalui pelatihan, penyediaan sarana dan prasarana penangkapan ikan.

Menyangkut keberlangsungan pembangunan Pelabuhan Perikanan Tanjung Adikarto, Bayu menyatakan, perlu dukungan dari pemerintah pusat. Begitu pula pengembangan produksi garam, peningkatan produk dan efisiensi produk.

Terbatasnya fasilitas dan prasarana itu, sambung Krisna Berlian, tidak lepas dari terbatasnya kewenangan pemerintah kabupaten. Merujuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, kabupaten hanya mefasilitasi kebutuhan nelayan sehingga tidak dapat mengalokasi dana secara maksimal bagi penyediaan fasilitas nelayan.

Bambang Soewignyo sepakat, pemerintah perlu mengembangkan hasil tangkapan ikan untuk memproduksi nutrisi. Dia mengusulkan perlu ada kerja sama pemerintah daerah dengan perguruan tinggi untuk melakukan penelitian dan pengembangan pembuatan nutrisi pakan ikan.

“Produk-pokok pengolahan ikan bisa dikembangkan menjadi produk lain seperti produk tepung ikan dan produk pakan ternak,” ungkapnya.

Diakui, para petani budidaya ikan belum bisa terlepas dari ketergantung produk industri atau pabrikan. Sudah saatnya DIY mengembangkan produk pakan ikan mandiri yang dikelola masyarakat.

Supaya sektor perikanan dan keluatan tergarap lebih fokus, Syauqi Soeratno menyatakan perlu dibentuk BUMD di masing-masing daerah. Dengan cara seperti itu nelayan daerah mampu bersaing dengan pengusaha domestik maupun asing.

“Dengan adanya BUMD yang bergerak dalam industri hasil laut maka berbagai keperluan nelayan tradisional dan peralatan nelayan dapat ditingkatkan sehingga dapat menjelajah lebih jauh dan lebih lama,” kata dia.

Diharapkan hasil tangkapan lebih banyak dan kesejahteraan nelayan meningkat. Selain itu, keberadaan BUMD juga menjadi solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapi nelayan selama ini, mulai dari masalah pelabuhan, kebutuhan kapal lebih dari 30 GT, pengolahan maupun pemasaran. (sol)