Estafet

Estafet

PERTENGAHAN bulan Kemerdekaan ini menjadi saat-saat penting. Bukan saja karena bangsa besar ini memperingati 74 tahun Proklamasi Kemerdekaan, tetapi juga menjadi titik estafet pergantian masa bakti para legislator daerah. Periode kerja DPRD tahun 2014-2019 segera berakhir, seiring dilantiknya keanggotaan DPRD baru periode 2019-2024. Sebagian politisi harus meninggalkan panggung karena tidak terpilih lagi atau berpindah panggung dari DPRD Kabupaten ke DPRD Provinsi atau sebaliknya, atau juga ke DPR-RI. Sebagian legislator adalah politisi baru yang mampu menembus perolehan suara guna mendapatkan kursi.

Sudah barang tentu, pesta syukuran akan digelar di banyak tempat. Bersyukur atas hasil kerja keras yang membuahkan hasil kursi Dewan. Seiring itu pula, banyak politisi masih harus menyelesaikan tanggung jawab serta menata ulang kehidupan mereka setelah gagal mempertahankan kursi atau merebut kursi. Mereka yang terlalu percaya diri atau yang ambisius, biasanya menghabiskan banyak dana untuk mengikuti kontestasi. Dalam konteks itu, cukup sering terdengar harta aset terjual sementara ada hutang yang belum terbayar.

Dengan cara penghitungan perolehan kursi versi baru, yang dikenal dengan metoda sainte lague, partai besar sangat diuntungkan dan memperoleh tambahan kursi signifikan. Sebaliknya partai papan tengah dan bawah, harus banyak kehilangan kursi. Hadirnya dua pasang calon presiden/wakil presiden, di sisi lain memberikan efek “ekor jas” bagi partai tertentu dalam perolehan dukungan.

Di sisi lain, tampilnya dua pasang capres/cawapres melahirkan polarisasi di dalam masyarakat yang sangat tajam, ibarat kutub utara dengan kutub selatan yang sulit dicairkan. Sikap yang diambil Prabowo untuk menjalin komunikasi dengan Jokowi sang petahana, tidak serta merta mencairkan suasana batin para pendukung. Ada indikasi, sekalipun mungkin tidak terlalu kuat, polarisasi menuju ke titik kristal. Istilah kampret dan cebong sudah diminta untuk diakhiri, tetapi di media sosial dua istilah beda kutub itu agaknya tidak juga menghilang.

***

APAPUN kondisinya, perjalanan siklus lima tahunan pemerintahan, memang harus dijaga agar roda kehidupan bangsa Indonesia terus berjalan dan bergerak maju. Bahwa perjalanan lima tahun berjalan relatif jalan di tempat atau bahkan mengalami pelambatan dilihat dari pertumbuhan ekonomi, harapan tentu harus dicanangkan dan diperjuangkan. Kesalahan manajemen pemerintahan dan atau kebijakan, diharapkan tidak terulang lagi.

Ekspektasi masyarakat terhadap perbaikan kehidupan ekonomi mereka pastilah besar. Stimulasi anggaran pemerintah terhadap geliat ekonomi rakyat menjadi harapan yang ditunggu-tunggu. Dalam konteks itu, peran legislator menjadi salah satu variabel yang menentukan. Walaupun harus diakui, bahwa DPRD adalah bagian dari pemerintah daerah yang dipimpin oleh kepala daerah. Artinya, kekuatan yang dimiliki DPRD tidak sebesar DPR yang memang berada dalam lembaga sejajar dengan eksekutif atau Presiden. DPRD berposisi sebagai sub ordinat dari kepala daerah. Kewenangan dan pengambil keputusan tetap berada di tangan kepala daerah. Dengan komunikasi yang baik, sepanjang para legislator itu memang menyadari tugas pokok dan fungsinya, kepentingan rakyat pasti akan terjaga.

Ada pertanyaan besar yang agak mengganggu. Dalam alam demokrasi langsung yang diyakini berbiaya besar, apakah peristiwa anggota DPRD tertangkap tangan dalam operasi KPK akan terus berulang dan bertambah? Artinya, kasus-kasus korupsi atau penyalahgunaan jabatan untuk mendapatkan uang, yang ditengarai sebagai satu cara paling cepat untuk mengembalikan modal kontestasi bakal terus marak? Kondisi yang sama, sejatinya juga menghantui dalam persoalan pemilihan kepala daerah. Bila dua kepentingan itu bertemu, titik simpulnya pasti konspirasi. Dan ini bukan saja mencederai demokrasi, tetapi juga telah menyengsarakan rakyat yang apapun alasan yang menyertai, telah memberikan suara untuk mereka.

Memang, rakyat yang memilih karena alasan uang atau terlibat dalam “jual beli” suara, sejatinya juga turut bertanggung jawab terhadap terjadinya kemerosotan kehidupan rakyat secara keseluruhan.

Bagaimanapun, lingkaran tak berujung itu harus diputus. Membangun kesadaran kolektif untuk memutusnya tentu tidak mudah; tetapi itu harus mulai dilakukan. **

 

(Artikel ini juga dimuat di Koran Bernas versi cetak edisi 12 Agustus 2019)