Filosofi Lukisan Ridwan Kamil di Jogja National Museum dalam Politik Pilpres 2024

Filosofi Lukisan Ridwan Kamil di Jogja National Museum dalam Politik Pilpres 2024

KORANBERNAS ID, YOGYAKARTA--Gubernur Jawa Barat, Mochammad Ridwan Kamil, berkesempatan memamerkan karya lukisan pribadinya yang dibuat semasa Covid-19.

Kang Emil, membuat setidaknya 150 lukisan pada masa pandemi sejak 2020. Sebagian diboyong ke Jogja seiring kunjungannya ke Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (1/11/2021). Selain lukisan Ridwan Kamil, puluhan karya UMKM Jawa Barat ikut dihelat dalam pameran bertajuk “Jabar Motekar” di Jogja National Museum sejak 1-7 Desember 2021.

“Yang saya pamekan kebetulan lukisan pribadi, karena selama Covid-19 saya membuang stres dengan melukis. Tiba-tiba jadi lebih dari 150 lukisan,” paparnya kepada Wartawan, Rabu (1/12/2021) saat menghadiri jamuan makan malam Sri Sultan Hamengku Buwono X di Rama Shinta Garden Resto, Prambanan, Yogyakarta.

Emil membuka pameran tersebut dengan menguaskan cat akrilik warna-warni pada kanvas berukuran 100 x 100 cm. Guratan cat membentuk sebuah lukisan ekspresif ini pula, yang kemudian dijelaskan Emil sebagai perjalanan politiknya di Indonesia.

“Ini perjalanan 2024. Apakah merah, hijau, kuning atau biru hanya Allah yang menentukan. Jawabannya, setahun dari sekarang setiap pemimpin itu harus kerja fokus, kerja serius. Di dalam kerja itu ada elektoral.

“Saya meyakini warga akan menghargai kita karena kerjanya. Enggak usah banyak pencitraan. Dengan kerja sendiri seharusnya mendapat apresiasi dari warga. Ada pujian, ada pula komen dan ada elektoral. Jadi semangat,” lanjutnya.

“Memang sehari-hari hidup kita diwarnai oleh warna-warna politik seperti ini. Karena semua warna sudah diambil oleh partai politik. Kecuali warna pink. Dulu juga, saya menyakini di level nasional tidak mungkin independen. Saya akan istiqarah tahun depan akan masuk partai. Tapi saat ini belum menentukan pilihan. Sedang istiqarah mohon doanya. Sebagai orang yang kreatif, jadi apapun takdir Tuhan. Menciptakan karya akan tetap menyertai perjalanan hidup saya. Dari lukisan ini, bisa saja dominan hijau ke kuning, atau biru dan sedikit merah,” terang Emil sambil menunjuk-nunjuk lukisannya.

Dari dukungan-dukungan tersebut, tentu merupakan hasil dari akumulasi kerja. Untuk itu Emil pun fokus dalam bekerja. Karenanya beberapa waktu lalu Provinsi Jawa Barat terpilih oleh sebuah stasiun televisi swasta sebagai provinsi dengan penangganan Covid-19 terbaik. Barangkali dari situ jugalah poin-poin elektoral tersebut.

“Tapi, kalau saat ini ngomongin soal survey partai politik, Emil menganggap terlalu dini. Berdasarkan pengalaman menjadi kepala daerah, terlalu jauh kalau dimulai dari sekarang. Selain itu, survey sebaiknya dilakukan setelah berpasangan. Karena itu lebih realitis. Karena kita bukan kontes individu, tetapi kontes berpasangan. Tapi terimakasih untuk apresiasi yang baik. Kalau kurang baik, maka saya intropeksi, jangan-jangan sebagai pemimpin saya banyak dosa. Maka setiap hari hari harus memperbaiki diri, baik itu perbaikan kinerja maupun kepribadian,” imbuhnya.

Saat bertemu dengan Sri Sultan Hamengku Buwono X pun, Emil tidak membicarakan politik. Bersilaturahmi dengan orang nomor satu di DIY ini, Emil hanya ingin menghidupkan kembali budi pekerti bangsa yang kian hilang oleh kepentingan-kepentingan.

“Jogja dan Jawa Barat akan menjadi poros yang memperlihatkan keharmonisan. Artinya itu politik perdamaian, tidak melulu akan ke partai apa dan sebagainya. Itu namanya politik praktis. Karena yang fundamental itu adalah narasi perdamaian yang sebaiknya bisa dicontoh oleh daerah lain,” terang Emil.

Dihelatnya karya-karya Ridwan Kamil di Jogja National Museum tidak lepas dari tangan dingin Heri Pemad. Seniman yang terkenal bertangan dingin dalam penyelenggaraan festival seni di Yogyakarta.

“Suatu sore mendapat kabar, ya mendadak langsung kita set display. Kebetulan memang salah satu kurator ARTJOG, Agung Jenong Hujatnika dikenal Ridwan Kamil. Kan Jenong orang sana (Bandung-red),” kata Pemad usai mendampingi Ridwan Kamil di pameran Jabar Motekar.

“Jenong juga yang mengkurasi karya-karya ini sebelum dibawa ke Jogja,” tandas Direktur ARTJOG ini. (*)