Generasi Z Ceruk Suara Pemilu 2024

Generasi Z Ceruk Suara Pemilu 2024

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Perkembangan dunia digital tak hanya berdampak positif. Tantangan tranformasi digital yang luar bisa cepat ada di depan mata, termasuk dalam masa Pemilu 2024.

"Wujud nyata demokrasi Pancasila dan dorongan transformasi digital masih memiliki banyak tantangan dan pekerjaan rumah," ujar Bambang Gunawan, Direktur Informasi dan Komunikasi Politik, Hukum dan Keamanan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kkominfo) RI, dalam Seminar Hybrid "Suara Muda dalam Demokrasi Digital" di gedung FTM UPN Veteran Yogyakarta, beberapa waktu lalu.

Menurut Bambang, tantangan itu tidak dapat digarap oleh pemerintah sendirian. Partisipasi banyak pihak, termasuk di dalamnya adalah sivitas akademi perguruan tinggi, dosen dan mahasiswa sangat dibutuhkan. "Generasi muda perlu berperan dalam transformasi (digital)," ujarnya.

Wakil Rektor III UPN Veteran Yogyakarta, Singgih Saptono, mengungkapkan pada era digital generasi Z akan bisa secara leluasa memperoleh informasi tentang pemilu. Namun aspek penting yang harus dipahami adalah, pemilu merupakan indikator suatu negara demokrasi.

"Partisipasi politik dalam pemilu tidak hanya terbatas pada saat menggunakan hak pilih, namun jauh lebih luas yaitu mengawal proses hasil pemilu," paparnya.

Singgih menyebutkan, Generasi Z bisa memantau para elite pemilu mendatang. Pengawasan tersebut sangat dibutuhkan agar mereka bisa bekerja sesuai tugas dan perannya.

"Generasi Z  bisa memantau mereka yang telah diberi amanah oleh rakyat telah menjalankan tanggung jawabnya dengan baik," tandasnya.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) DIY, Hamdan Kurniawan, menjelaskan pada Pemilu lalu, berdasarkan data sensus 2020, peran gen-z berada pada angka 27,94 persen dan milenial 25,87 persen.

Ceruk suara

Sedangkan saat pemilihan kepala daerah (Pilkada) DIY, berdasarkan data 2020 gen-z berada pada angka 14 persen dan milenial 28 persen.

“Secara data ini sangat besar, ketika digabungkan ini sudah lebih dari separuh pemilih di Indonesia. Kalau pemilih di Indonesia 192 juta, maka gen-z dan generasi milenial jumlahnya 100-an juta. Ini sebuah ceruk suara yang luar biasa, sebuah angka yang nanti bisa menentukan ke mana bangsa Indonesia ini,” jelasnya.

Dalam pelaksanaannya, pemilu menghadapi beberapa tantangan klasik yang kemungkinan besar dihadapi setiap tahunnya. Contoh, tingginya suara tidak sah pemilu 2019 sekira 17,5 juta, angka ini termasuk besar.

“17,5 juta ini bisa jadi, mungkin karena tidak tahu cara menyoblos, tapi gen-z tidak ya? Ada juga sebagai bentuk protes politik itu dengan memilih dengan cara yang tidak benar, di luar yang golput (golongan putih),” ungkapnya.

Dosen Ilmu Komunikasi Fisip UPN Yogyakarta, Susilastuti,  menambahkan Generasi Z tidak bisa dipisahkan dengan internet. Begitu pula dengan lingkungan yang juga ikut berkembang menuju era baru, yakni era digital, termasuk demokrasi.

“Seperti apa pun informasi politik kalau tidak pernah dicari tidak akan mengikuti kita. Saatnya inilah mari kita membuka informasi politik biar kita diikuti terus, sehingga kita semakin kaya (akan informasi),” ujarnya.

Pada era digital, masyarakat lebih mandiri dalam upayanya mencari informasi, sehingga akan melahirkan algoritmanya sendiri. Kendali atas informasi adalah pada individu, bukan pada orang tua atau negara. Adapun negara hanya menyiapkan perangkat.

“Tujuan pendidikan politik itu arahnya, salah satunya adalah mengisi bejana kemudian masuk ke afektif, kemudian mendorong keluar dalam bentuk partisipasi politik. Partisipasi poitik tidak berhenti pada satu titik saat pemilu, tetapi bagaimana kita sadar sebagai warga negara mengawalnya,” jelasnya. (*)