Hukum Sebagai Permainan dan Alat Penaklukan?

Hukum Sebagai Permainan dan Alat Penaklukan?

DALAM fitrahnya, manusia dicipta sebagai homo luden, yakni makhluk gemar bermain. Sudah tentu pemfitrahan demikian bukan tanpa sebab dan tanpa maksud tertentu. Dalam bingkai keimanan, apapun yang dikehendaki oleh Sang Pencipta, pastilah demi kebaikan makhluk-makhlukNya.

Sederhananya, bila dalam kehidupan ini tidak ada permainan, tanpa seyuman, tanpa gelak tawa, hampa candaan, atau tanpa gurauan, boleh jadi manusia banyak terjangkiti sakit jiwa. Mengapa? Karena syarafnya selalu tegang. Otak dipaksa berpikir serius terus. Unsur-unsur ragawi dipaksa mengikuti gejolak jiwa. Kelemahan raga bisa berakibat fatal bila tidak ada nutrisi penormalannya. Ujungnya, manusia bisa stress, stroke, invalid atau cacat jiwa dan raga. Kematian menjadi akhir dari penderitaan. Tiada lagi harapan husnul khatimah, melainkan suul khatimah. Naudzubillah.

Kehidupan akan lain warna dan coraknya, ketika sesekali diisi dengan permainan. Melalui dan dengan permainan, ketegangan syaraf dapat dikendorkan. Senyum dan tawa menjadi sisi keindahan. Ketika permainan mampu melahirkan kelucuan-kelucuan, maka suasana segar pun merekah. Wajah-wajah menjadi cerah, berseri-seri. Di saat itulah, jiwa tersiram air suci perwitasari. Saat itulah raga kembali dalam kebugaran. Lebih lanjut, bila permainan dilakukan dalam kebersamaan, maka masyarakat dan bangsa akan sehat wal afiat.

Satu hal perlu diingat bahwa tidak semua hal boleh dimain-mainkan. Dengan kata lain, setiap permainan ada batas dan rambu-rambunya. Permainan bersifat konstekstual. Hanya layak dilakukan pada hal tertentu, saat tertentu, di tempat tertentu, ketika berhadapan dengan pihak tertentu.

Untuk disadari pula, ada permainan yang dilarang. Contoh nyata adalah permainan hukum. Mengapa dilarang? Untuk menjawab pertanyaan ini, penjelasan akan diawali dengan deskripsi fenomena permainan bahasa (language game).

Kita sadar bahwa akhir-akhir ini marak apa yang disebut hoax (kabar bohong). Pada ranah etika, siapapun dilarang berbohong. Agama, sebagai institusi yang sarat ajaran akhlaq (termasuk di dalamnya etika), sangat tegas melarang perbuatan bohong. Tidak ada satu agama pun di Indonesia membenarkan kebohongan. Baik agama Islam, Budha, Hindhu, maupun Kristen, Kong Hucu. Semua agama dengan tegas melarang umatnya berbohong.

Di dalam agama Islam, difirmankan Allah swt: "Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Setiap orang dari mereka akan mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar pula" (QS.An-Nur ayat 11).

Dikutip dari Djalan Sihombing dalam artikelnya berjudul “Berbohong Dilarang Semua Agama dan Setiap Orang Tidak Suka Dibohongi (1/3/19), dinyatakan: Budha, dalam Dhammapada Kodha Vagga: XVII, 232, mengajarkan: “Vacá¿‘pakopaṁ rakkheyya vācāya saṁvuto siyā, vacá¿‘duccaritaṁ hitvā vācāya sucaritaṁ careti". Artinya: "Sebaiknya orang selalu menjaga ucapan, sebaiknya ia bisa mengendalikan ucapannya. Setelah meninggalkan perbuatan jahatnya melalui ucapan, sebaiknya ia selalu mengembangkan perbuatan baiknya melalui ucapan".

Dalam Samyutta Nikaya (2010: 287), Buddha mengajarkan bahwa: "… seseorang seharusnya hanya mengucapkan ucapan yang menyenangkan, ucapan yang disambut dengan gembira. Ketika diucapkan tidak membawa keburukan, apa yang diucapkan adalah menyenangkan bagi orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari hendaknya setiap orang hanya berbicara hal-hal dengan benar dan bermanfaat. Sehingga dapat membawa kebahagiaan bagi pendengarnya”.

Dalam Kakacupama Sutta Majjhima Nikaya 21, Buddha mengatakan bahwa, ucapan benar dapat terjadi apabila terdapat lima syarat, yaitu: ucapan itu tepat pada waktunya, ucapan itu sesuai kebenaran, ucapan itu lembut, ucapan itu bermanfaat, dan ucapan itu penuh cinta kasih.

Dalam ajaran Hindu, Tri Pramana, jika anda tidak melihat dan merasakan, tidak mengetahui sebab musababnya dan tidak mendengar langsung dari orang yang berkompeten, jangan berani-berani ikut menyebarkan. Karena, lebih baik kita terlambat menyebarkan kebaikan daripada terburu-buru menyebarkan kebodohan.

Dalam ajaran Kristen, banyak tulisan dalam Alkitab tentang berbohong. Amsal 6: 16-17, disebutkan: Enam perkara ini yang dibenci Tuhan, bahkan, tujuh perkara yang menjadi kekejian bagi hatiNya, yakni: mata sombong, lidah dusta, tangan yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah. Dalam Mazmur 34:14 disebutkan: "Jagalah lidahmu terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan yang menipu".

Terindikasi dalam realita kehidupan di sekitar kita, kebohongan kian marak. Realita ini merupakan tanda-tanda bahwa ajaran etika telah dilanggar. Bahasa dijadikan alat permainan. Hukum dikonstruksikan sebagai language game (permainan bahasa). Publik – khususnya penolak RUU Omnibus Law – mempertanyakan ketulusan DPR dan Pemerintah dalam melindungi bangsa dan tanah airnya. Di balik Omnibus Law, diduga dan dipertanyakan, adanya niat lain, yakni menganakemaskan investor, dan serta-merta tega menyengsarakan rakyat (buruh petani, nalayan, dan sebagainya). Ada tanda-tanda permainan hukum, permainan politik, permainan kekuasaan, yang mudah ditangkap publik, antara lain: proses legislasi tertutup (tidak transparan), kurang/tidak partisipatif, terburu-buru (menjadikan pandemic covid-19 sebagai alasan mempercepat pembahasan), draf RUU yang terus-menerus berubah, dan sebagainya.

Ironis, pertanyaan dan kekhawatiran publik tersebut dihadapi dengan serangan balik. Pendemo dituduh tidak paham isi RUU Omnibus Law. Sekadar ikut-ikutan demo karena termakan hoax yang sengaja disebarkan pihak tertentu. Beberapa pejabat dengan lantang menuduh pihak-pihak tertentu sebagai dalang, penggerak demo, dan penebar hoax.

Dalam suasana konfrontatif, kemudian terjadi tindak kekerasan, berupa: pemukulan, penangkapan, penganiayaan terhadap para pendemo. Mereka dianggap melanggar hukum. Berbagai ketentuan perundang-undangan dijadikan dasar/dalil pembenar tindakan aparat penegak hukum. Dalam suasana karut-marut demikian, permainan bahasa telah berlanjut menjadi permainan hukum. Bahkan, telah terjadi permainan kekuasaan berupa tindakan hukum.

Dalam kerangka analisis yuridis-akademis, masalah permainan bahasa dan permainan hukum, perlu ditempatkan dalam bingkai kehidupan bernegara hukum Pancasila. Tidak bisa dipungkiri, sebagai sisa-sisa warisan penjajahan Belanda atas negeri ini, masih banyak perundang-undangan di Indonesia berwatak liberal-individual. Civil law system atau tradisi hukum Eropa Daratan, masih terasa dominan. Dipraktikkan dalam berbagai persoalan bangsa. Tradisi hukum ini senantiasa menempatkan para elit – politikus, pebisnis, oligar, polisi, militer, buzzer, influencer, dan sejawatnya – pada puncak kehidupan bernegara. Merekalah yang berkuasa. Merekalah yang membuat kebijakan, membuat hukum, melaksanakan dan sekaligus mengendalikan penegakan hukum. Tiadalah hukum dipandang sah kecuali hukum negara. Undang-undang adalah produk politik. Dengan kata lain, aktivitas-aktivitas apapun, hanya dipandang sah bila sudah dilegalkan oleh penguasa. Pelegalan itu dimulai dari atas, melalui enacted atau legislated law. Melalui metode top down dan represif. Maka hukum dengan cepat diberlakukan pada semua aspek kehidupan.

Tradisi hukum ala kolonial/penjajah tersebut pada satu sisi efektif dan efisien bagi para elit. Namun demikian, pada sisi lainnya, yakni pada rakyat, dirasakan sebagai penaklukan. Hak-hak rakyat dirampas. Hak-hak dimaksud mencakup: hak berpendapat, hak berkumpul, hak atas upah buruh yang layak, hak atas sumber-sumber kehidupan (atas tanah, air, tambang, lingkungan dan sebagainya). Tradisi hukum ala kolonial menempatkan kedaulatan hukum pada penguasa. Bukan pada rakyat. Bahkan sampai pada pengkategorian, penguasa itu subjek hukum sementara rakyat itu objek hukum.

Untuk diingat bahwa tradisi hukum ala kolonial, bukanlah satu-satunya tradisi hukum di dunia ini. Bukan pula sebagai sebuah pilihan terbaik. Kajian yuridis-akademis menunjukkan bahwa masih ada tradisi hukum lain, yakni common law system. Bila diproyeksikan ke latar belakang filosofis, sosiologis, maupun oritentasi masa depan kehidupan bernegara yang diinginkannya, tradisi hukum ini amat berbeda dengan civil law system. Kadar perbedaannya, dapat dilukiskan sebagaimana barat dan timur, atau antara bumi dan langit.

Perbedaan itu, dapat dilihat sejak konsepsinya tentang asal-usul hukum. Hukum – dalam tradisi common law system – bukan dibuat dari atas (elit penguasa), kemudian diturunkan ke bawah (rakyat), melainkan ada, tumbuh, dan berkembang dari bawah (rakyat), kemudian diterima secara luas dalam cakupan kebangsaan yang hidup dalam suatu negara. Rakyat, dalam membuat hukum, senantiasa mendasarkan pada filosofi yang telah mengakar pada sistem nilai, kemudian dijadikannya sebagai way of life. Di situ, nilai-nilai agama, nilai budaya, adat-istiadat, digali dan dijadikan sumber pembentukan hukum maupun aktivitas hukum sehari-hari.

Serupa dengan tradisi common law system, di negeri ini ada tradisi hukum rakyat, hukum adat, hukum lokal, atau apapun nama lainnya. Tradisi hukum domestik ini tidak mengenal hukum yang enacted (sengaja dibuat untuk sebuah kepentingan), melainkan lahir secara alamiah (natural). Hukum berasal dari hidup dan kehidupan rakyat. Jenis hukum seperti ini, sering disebut sebagai living law. Brian Simpson (1986), sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo (2006), melukiskan tradisi hukum rakyat, sebagai : “… law continues to be conceived of as set of rules, but their status as law does not necessarily depend upon having been laid down”.

d’Anjou (1986:23) sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo (2006: 81), menyatakan bahwa: memang, tidak dapat dipungkiri, pembuatan undang-undang, pada hakikatnya merupakan “process van vormgeving van wensen” (proses memberi bentuk terhadap sejumlah keinginan). Pemberian bentuk dimaksud dapat terjadi dengan penggunaan sarana bahasa tulis.

Walau demikian, perlu disadari, bahwa bahasa tulis, mestinya digunakan pada tahap akhir dari seluruh proses pembuatan undang-undang. Proses panjang dalam pembuatan undang-undang yang bersifat mekanis-prosedural, wajib dilalui secara sistemik, konsisten, dan disiplin. Pada setiap tahap dari proses itu, mesti sudah ada  upaya pentrasformasian berbagai kepentingan ke dalam substansi undang-undang. Wujud konkritnya berupa rumusan pasal-pasal dan ayat-ayat. Perumusan dilakukan melalui penggunaan bahasa yang bernas, tegas, dan pasti. Demi kepastian hukum dan keadilan semua pihak, maka ditabukan penggunaan bahasa karet, bahasa lentur, multi tafsir.

Transformasi kepentingan dimaksud pertama-tama berupa penyamaan persepsi tentang kepentingan bangsa. Mungkin saja, pada awalnya, terdapat berbagai kepentingan individu, golongan, partai, kelompok, yang masih simpang-siur, tumpang-tindih, tercerai-berai. Melalui musyawarah dan mufakat, segalanya didialogkan, hingga dicapai kesepakatan. Kesepakatan itulah bentuk kepentingan bangsa.

Dalam konteks Indonesia, kesepakatan apapun, mesti dikembalikan kebenarannya pada sistem nilai (dasar falsafah) negara yakni Pancasila, serta dalam rangka pencapaian visi dan misi negara. Visi negara adalah: terwujudnya Negara Hukum Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Adapun misinya adalah terbentuknya pemerintahan yang mampu: melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

Penting disadari, bahwa kecukupan data, pemahaman dan penghayatan nilai-nilai Pancasila, wawasan kebangsaan, kecerdasan melihat realitas empiris mutakhir, diikuti konsultasi publik dan patisipasi publik, merupakan tahap-tahap dan aktivitas krusial. Di sinilah, persoalan akhlaq, integritas, moral, para pembuat undang-undang menjadi penting dikedepankan.

Agar denyut jantung rakyat dapat didengar, agar nafas rakyat dapat dihirup, agar suara hati rakyat terekam, maka kebiasaan merekayasa hal-hal yang krusial di atas, wajib ditabukan. Jangan ada kepura-puraan atau formalitas belaka dalam konsultasi publik. Jangan ada persetujuan atas suatu draf RUU, padahal belum pernah dibacanya, dan tidak pernah pula dibagi-bagikan. Jangan pula kepentingan bangsa direduksi menjadi kemenangan atau kekalahan pihak tertentu, karena kesimpulan diambil melalui voting.

Seluruh tahap dan aktivitas pembentukan perundang-undangan, mestinya berjalan alamiah, wajar, polos, disertai profesionalitas dan kejujuran. Pada aktivitas-aktivitas ini, sikap para elit (pemerintah maupun DPR) perlu betul-betul dapat dipercaya oleh rakyat. Bila kepentingan rakyat (bangsa) sebagai substansi undang-undang telah dapat disepakati bersama, maka proses atau pentahapan selanjutnya (proses administratif), menjadi mudah dilaksanakan dan legitimated.

Kepercayaan (trust) rakyat, merupakan bagian dari modal sosial-kebangsaan. Perputaran roda organisasi (dalam hal ini: Negara), hanya akan berjalan lancar, bila didukung adanya trust. Sebaliknya, bila negara tanpa trust, pasti akan mogok. Masalah besar akan segera hadir menyertainya.

Sejujurnya, perihal trust ini, kondisinya masih memprihatinkan. Lihatlah, beberapa undang-undang disahkan, walaupun rakyat memprotesnya. Misal: UU KPK, UU Minerba, dan (mungkin sebentar lagi diundangkan) Omnibus Law. Untuk disadari, bahwa suatu undang-undang senantiasa memerlukan legalitas dan juga legitimitas. Legalitas semata, tidaklah cukup. Bahkan bisa menjadi boomerang. Maka, trust, sebagai wujud penerimaan aspirasi rakyat, dan selanjutnya ditransformasikan ke dalam substansi perundang-undangan, menjadi amat penting diperhatikan. Jangan sekali-kali dilecehkan, diabaikan, atau ditiadakan. Dapat diyakini bahwa hati nurani rakyat masih cukup sehat. Akalnya pun masih cerdas. Dengan kata lain, janganlah ada kebijakan atau regulasi bersifat elitis, tetapi tidak populis.

Bila saja, kehidupan bernegara di negeri ini sepakat dibangun atas tradisi hukum rakyat, pastilah segera terasakan bahwa interaksi dan aspirasi antar-berbagai pihak terakomodasi dengan baik. Semua pihak merasa dihargai harkat dan martabatnya (diuwongke). Di situ, tidak ada diskriminasi antara etnis satu dengan etnis lain, antara investor dan rakyat, antara majikan dan buruh, antara borjuis dan proletar. Pun pula, tidak ada pemisahan antara hukum, agama, etika, politik, bisnis, ataupun kekuasaan. Semuanya, berada dalam kesatuan, keterpaduan, mengarah terwujudnya keharmonisan.

Dari analisis di atas, apa yang terjadi dengan RUU Omnibus Law, sekaligus dinamika dan tragedi penolakannya, kiranya tidak jauh dari potret permainan bahasa dan permainan hukum. Ada dugaan dan kekhawatiran, Omnibus Law akan dijadikan alat penaklukan terhadap siapapun yang dianggap mengganggu investor dan investasi. Bila analisis ini benar, maka amat diharapkan, sadarlah dan segeralah bergegas kembali ke kiblat yang benar, yakni pada Pancasila, visi dan misi bernegara, sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Walllahu’alam. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM