Ikuti di Mana Ada Keramaian di Situ Berjualan

Ikuti di Mana Ada Keramaian di Situ Berjualan

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Pedagang mesti jeli melihat peluang pasar agar dagangannya laris. Tempat tetap bukan menjadi kunci utama. Tetapi pasar yang lebih potensial harus dicari.

Inilah yang dilakukan Suratman dan istrinya, Sri Lestari. Suami istri penjual sate, gulai dan tongseng kambing itu selalu memantau di mana ada keramaian di situ dia jualan.

Penduduk Kalibulus Bimomartani Kecamatan Ngemplak  Sleman itu, Minggu (26/1/2020) malam, menggelar dagangan di Lapangan Sidokabul Kelurahan Sorosutan Kota Yogyakarta.

Di tempat itu ada pergelaran wayang kulit dengan dalang Ki Seno Nugroho. Sebelum pentas dimulai sudah hampir dua sampil (kaki kambing) ludes masuk perut para pembeli. Selain dimasak sate, juga ditongseng. Ada pula pembeli gulai yang tinggal ambil di panci besar.

Kepada koranbernas.id, Suratman menjelaskan, setiap hari dirinya berjualan di Pasar Jangkang Jalan Kaliurang.

Bagaimana dengan pelanggannya kalau sering ditinggal keliling? "Di pasar kami hanya jualan pagi hari. Dari jam 06:00 sampai 12:00. Pasar desa sudah sepi," kata Sri Lestari.

Berapa kali dalam seminggu dia jualan keliling di berbagai keramaian namun tidak pasti. Tergantung ada tidaknya event. Tidak hanya  wayangan, tetapi juga pentas jathilan atau keramaian lainnya. Biasanya saling berbagi informasi dengan komunitas penjual makanan nomaden lainnya.

"Seminggu lalu saya sudah tahu malam ini di sini ada wayang dalam rangka ulang tahun SD Muhammadiyah Pakel Program Plus;" kata Suratman. Komunikasi ini dipermudah dengan adanya WA.

Pasar potensial

Wayangan dilihat sebagai pasar potensial. Penonton rata-rata bawa uang banyak. Apalagi  sebelum pentas dimulai penonton sudah ramai. Banyak yang datang bukan untuk menonton tapi sekadar jajan dan menikmati suasana.

Lewat tengah malam kebanyakan sudah lapar lagi. "Biasanya habis Limbukan pembeli rame lagi," kata Sri Lestari yang bertugas menyiapkan minuman dan meladeni pembeli sekaligus mencuci gelas dan piring.

Pilih Seno

Suratman tidak memasang harga tinggi. Bahkan boleh dikata murah meriah. Satu porsi nasi sate atau tongseng daging campur hati plus teh ginasthel dengan gula batu hanya Rp 30.000. Rasanya enak sesuai taste Jawa. Manis asin. Irisan dagingnya relatif besar, setiap sunduk ada hatinya. Kadang dua iris.

Malam itu Suratman menyembelih kambing seharga Rp 850.000. Sedang malam sebelumnya  pada pentas wayangan di timur Pasar Colombo dalam rangka dies SD Kanisius, kambingnya lebih besar. Harganya Rp 1,4 juta dan habis.

Suratman mengaku tidak pilih-pilih dalang yang tampil. Tetapi kalau ada barengan dia cenderung mengikuti Seno Nugroho pentas di mana. "Soalnya kalau Seno pasti ramai penonton," kata Suratman.

Ketika di Prambanan ada pentas ulang tahun obyek wisata tersebut, menurut Sri Lestari, bisa habis dua ekor kambing. Tapi ya paginya dia merasa sangat capek.

Cari sendiri

Untuk bisa memilih kambing yang sehat, muda sehingga empuk dagingnya Suratman mencari sendiri. Kalau tidak ke pasar hewan Prambanan, juga di pasar hewan Jangkang. Pemilihan kambing itu penting untuk menjaga kualitas rasa. Jika disetori bakul, harganya lebih mahal.

Pasangan suami istri ini jualan keliling tak hanya di wilayah sekitar tempat tinggalnya tapi juga sampai Bantul, Sleman bahkan Gunungkidul. Kalau sampai Gunungkidul, menurut Sri Lestari, dia patungan transpor dengan pedagang lainnya.

Kalau dekat seperti  ke Sidokabul, dia cukup diantar adiknya dengan kendaraan roda empat dan dinihari dijemput pulang.

Karena seringnya jualan di arena wayangan, sambil memasak Suratman bisa menirukan dalang suluk atau melantunkan tembang-tembang tertentu. Demikian juga istrinya, agak hafal jalan cerita sesuai lakonnya.

Tapi ini bukan pekerjaan ringan. Semalam suntuk tidak tidur. Harus bertahan dari dinginnya angin malam. Tetapi karena sudah terbiasa, mereka sehat-sehat saja. Keduanya bersemangat mencari rezeki halal untuk menghidupi keluarga. (sol)