Individualize Medicine Jadi Tren, Tapi Masih Minim Riset

Individualize Medicine Jadi Tren, Tapi Masih Minim Riset

KORANBERNAS.ID—Penelitian kedokteran laboratorium terus berkembang. Berdasarkan berbagai kajian, banyak penyakit baru yang ketika diteliti, ternyata bisa berhubungan dengan profil genetik ataupun profil metabolomik.

“Sudah begitu berkembang dan maju. Sayang, riset atau penelitian yang mengarah ke individualize medicine relatif masih jarang. Riset kedokteran yang berbasis laboratorium, kebanyakan masih di bidang ilmu kedokteran anak, ginekologi dan ilmu penyakit dalam,” kata Intan Mustufa selaku Research Support Manager Prodia Pusat Jakarta, disela-sela seminar bertajuk “Biomarker Scientific Research : How Do I Start?”, di Yogyakarta, Rabu (20/11/2019) petang.

Seminar diselenggarakan oleh Laboratorium Klinik Prodia Cabang Yogyakarta, dihadiri oleh 40 dokter peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis di UGM.

Intan mengatakan, individualize medicine merupakan bagian dari ilmi pengetahuan medis yang dikenal dengan istilah pressision medicine. Yakni tindakan yang mengedepankan bagaimana melakukan pemeriksaan, kemudian memberikan pada pasien secara tepat, dengan dosis yang tepat dan juga waktu yang tepat.

Ilmu ini dilatarbelakangi oleh teori bahwa setiap orang memiliki profil genetik yang berbeda, sehingga memerlukan penanganan yang juga berbeda.

 

Individualize medicine akan melihat setiap pasien atau orang dengan dengan profil genetik dari masing-masing individu. Hal ini, nantinya juga berefek ke pengobatan yang akan diberikan.

“Mengapa minim, kalau kami lihat salah satunya karena kendala dana yang mahal,” kata Intan.

Sebagai laboratorium klinik, Prodia kata Intan, serius untuk mendorong penelitian-penelitian ilmu kedokteran laboratorium sebagai bagian dari upaya bersama meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

Selain melalui berbagai seminar dan sharing ilmu dengan fakultas-fakultas kedokteran, upaya juga dilakukan dengan riset kolaboratif dengan calon-calon dokter spesialis.

SInergi ini sudah dilakukan sejak prodia berdiri. Namun kerjasama tersebut, baru mulai terdata secara baik sejak tahun 1991.

“Sejak tahun itu sampai sekarang, kami sudah melakukan penelitian atau riset kolaboratif sebanyak 3.700 an riset. Modelnya, kami memberikan fasilitas yang sangat terjangkau, untuk dimanfaatkan oleh kawan-kawan calon dokter spesialis dari berbagai macam bidang,” lanjut Intan.

Untuk mendukung kegiatan ini, Prodia grup membangun program PERI, yaitu Prodia Education & Research Institute. Kegiatan dari PERI, didanai dengan laba perusahaan yang setiap tahun disisihkan. Prodia juga membuka kompetisi untuk penelitian bidang kedokteran, dengan menyediakan dana khusus.

“Masih kita buka. Kita akan pilih dua proposal terbaik untuk mendapatkan dana penelitian masing-masing 100 juta rupiah,” imbuhnya.

Regional Marketing Manager Prodia Central Java, Beppy Hamuaty menjelaskan, seminar riset kesehatan ini digelar rutin setiap tahun. Untuk tahun ini, kegiatan dilakukan di tiga kota. Sebelum di Jogja, seminar yang sama digelar di Semarang dan Solo, bekerjasama dengan fakultas kedokteran dari kampus setempat.

Melalui seminar ini, pihaknya menyampaikan berbagai informasi mengenai layanan pemeriksaan yang bisa menjadi bahan riset untuk para calon dokter spesialis.

Juga disampaikan tentang tren riset di dunia kedokteran yang berhubungan dengan pemeriksaan laboratorium klinik.

“Ada 120 ribu lebih biomarker yang yang berpeluang untuk diperiksa, yang nantinya akan membantu diagnosis dari pasien saat ada sakit,” kata Beppy.

Melalui kegiatan seperti ini, diharapkan dokter peserta PPDS bisa mendapat informasi dan kemudian terbangun kesadaran serta pemahaman untuk melakukan riset dengan memanfaatkan layanan pemeriksaan lab.

“Kami sejauh ini sudah bekerjasama dengan 30 fakultas kedokteran di Indonesia dan 1 lembaga riset. Melalui kolaborasi ini, kami ingin bersama- sama meningkatkan trend kedokteran lab klinik terkait pendidikan dan penelitian,” tandas Beppy. (SM)