Jagat Korupsi: Tikus-tikus Berwajah Kucing?!

Jagat Korupsi: Tikus-tikus Berwajah Kucing?!

JAGAT korupsi di Indonesia semakin gelap. Dalam kegelapan, sulit dibedakan, mana koruptor, mana pemberantas korupsi. Ketika koruptor disimbolkan sebagai tikus, dan pemberantas korupsi disimbolkan dengan kucing, ternyata kini telah marak tikus-tikus berwajah kucing. Kucing-kucing menjadi kalang kabut, ditendang oleh tikus-tikus, agar keluar dari KPK dengan dalih tak lulus tes wawasan kebangsaan (TWK).

Simaklah baik-baik kasus berikut. Dewan Pengawas memecat penyidik KPK dari Polri, AKP Stepanus Robin Pattuju, karena terbukti melanggar kode etik, menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi, berhubungan langsung dengan tersangka. Perbuatan itu melanggar Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penindakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku.

Robin bersama Wali Kota Tanjungbalai M. Syahrial dan Maskur Husain selaku pengacara, ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap oleh penyelenggara negara terkait penanganan perkara Wali Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara Tahun 2020-2021. Robin bersama Maskur sepakat membuat komitmen dengan M. Syahrial, terkait penyelidikan dugaan korupsi di Pemkot Tanjungbalai, untuk tidak ditindaklanjuti oleh KPK, dengan menyiapkan uang Rp 1,5 miliar. Syahrial juga memberikan uang secara tunai kepada Robin, hingga total uang yang telah diterima Robin Rp 1, 3 miliar (Tempo.com, Senin, 31 Mei 2021).

Dewan Pengawas juga memeriksa Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Aziz Syamsuddin, terkait dugaan pelanggaran etik penyidik KPK, Robin. Azis diduga terlibat sebagai fasilitator pertemuan antara Robin dengan Walikota Tanjungbalai, M. Syahrial, di rumah dinasnya, Oktober 2020. Dalam pertemuan itu, Robin siap membantu penyelidikan kasus dugaan korupsi lelang jabatan di Pemerintah Kota Tanjungbalai yang menjerat Syahrial, tidak dinaikkan ke tahap penyidikan. Terkait kasus dugaan suap, KPK telah menggeledah rumah dan ruang kerja Azis di DPR. Ketika itu KPK mengamankan barang bukti berupa dokumen terkait kasus dugaan suap Syahrial. (CNN Indonesia, Senin, 17/05/2021).

Dari kasus itu, cetha wela-wela, korupsi dilakukan bersama-sama antara Walikota, Wakil Ketua DPR, penyidik KPK, dan pengacara. Bukankah mereka itu secara normatif sebagai pejabat publik, wakil rakyat, penegak hukum, dan pengawal proses peradilan?!. Mestinya, mereka berkomitmen ikut dalam pemberantasan korupsi. Lho…kok malah kong kalingkong?!.

Semakin memprihatinkan, ketika ada pernyataan Menko Polhukam, bahwa kini, pelaku korupsi berasal dari kalangan eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Korupsi sudah direncanakan sebelum APBN dan APBD ditetapkan, melalui nego-nego proyek. (Liputan6.com, 26/5 2021).

Lepas dari perdebatan, apakah KPK merupakan lembaga independen ataukah dependen, adalah suatu kenyataan, melalui TWK, sebanyak 75 orang dinyatakan tidak lulus. Beberapa di antaranya, penyidik terpilih, memiliki prestasi, dan kinerja unggul. Ketika orang-orang jujur dan pemberani disingkirkan, maka publik semakin pesimis tentang peran KPK. Ada indikasi, pemberantasan korupsi sekadar kepura-puraan saja. Koruptor kelas kakap, dari kalangan elit, sengaja dibiarkan, sehingga lolos dari jerat hukum. Amat dikhawatirkan, KPK menjelma menjadi “sahabat” koruptor, berisi “tikus-tikus berwajah kucing”.

Hukum alam (lex natura) memberi tahu kepada manusia, bahwa kucing itu predator bagi tikus. Kedua binatang itu dicipta-Nya, dan dihadapkan pada kehidupan manusia, sebagai sumber pembelajaran tentang korupsi, dan pemberantasannya.

Tikus itu binatang rakus. Segala perabot rumah tangga dan makanan manusia, dikerat, diserobot, dicuri, diganyang, demi kehidupannya. Manusia, sering kewalahan, terhadap ulahnya. Berbagai cara ditempuh untuk pemberantasannya, seperti: memasang racun, memasang jeratan, hingga penggropyokan.

Betapapun, usaha-usaha itu tergolong rasional dan masif, namun keberhasilannya bersifat nisbi dan sementara. Kali lain, tikus muncul lagi. Seakan, mereka unjuk gigi, bahwa dirinya tak terkalahkan, tetap ada, dan mampu menjalankan naluri kebinatangannya, sebagai makhluk antagonis.

Pengalaman pribadi menunjukkan bahwa kenyamanan dan keamanan rumah dapat terjaga, ketika kucing menjalankan amanah penciptaan-Nya. Tikus, jangan coba-coba mengganggu. Pastilah akan diserang, ditangkap, dan dibinasakan. Jasa kucing, sungguh amat besar. Wajar, bila persahabatan manusia dengan kucing terus ditingkatkan.

Alkisah. Abuwaras santai menikmati senja hari, di beranda rumah. Kopi dan nyamikan, terhidang, melengkapi kebahagiaannya. Tiba-tiba, terdengar sesuatu barang terjatuh dalam kamar. Tak lama berselang, bau asap kebakaran muncul. Ditengoknya. Ternyata, ada pencuri. Secepat kilat dia melarikan diri, membawa barang-barang curian. Benar pula, ada berapa tikus, sedang menjarah barang-barang. Instalasi listrik pun dikeratnya. Akibatnya, korsleting. Terjadilah kebakaran. Dalam sekejap mata, amukan api telah melalap rumah dan isinya.

Dalam kegalauannya, Abuwaras bergumam: “Mengapakah, Satpam tertidur sehingga terjadi pencurian? Mengapakah, kucing tak mampu mendeteksi kedatangan dan kerakusan tikus, sehingga terjadi kebakaran? Apa yang terjadi pada mereka?”. Untuk mencari akar masalah dan solusinya, diadukanlah nasib sialnya ke Pak Lurah.

“Apakah benar kau tertidur, sehingga pencurian dan kebakaran rumah terjadi?. Tanya Pak Lurah. “Benar Pak”. Mengapa? “Begini Pak. Seseorang berpakaian dinas, minta izin, mau bertemu majikan. Saya tolak. Sesuai perintah, agar semua urusan kantor dibicarakan di kantor. Saya dibujuk, diberi uang, makanan, dan minuman. Saya (bersama kucing piaraan) melahapnya. Ternyata makanan dicampur obat tidur. Saya dan kucing pun tertidur nyenyak”, jawabnya. “Hemmm… Satpam. Kau gagah, tampak wibawa, ketika berbaju Satpam. Namun, nyatanya, kau mudah disuap. Kau manusia, tetapi perilakumu tak beda dengan tikus berwajah kucing”.

Satire di atas, layak diolah sebagai pembelajaran. Pertama, kakek-nenek moyang, founding fathers, agamawan, rohaniwan, spiritualis, pecinta alam, tiada henti-hentinya berwasiat agar tidak terkecoh dengan identitas dan simbol kekuasaan. Apa yang disebut kedustaan, kepura-puraan, munafik, hipokrit, kini semakin merajalela. Wasiat tersebut dapat direntang menjadi: “kini telah datang kembali era maraknya korupsi, kolusi, nepotisme di kalangan oknum-oknum oligarki, politisi, penegak hukum, pengacara, ilmuwan, agamawan, bahkan investor, dalam upaya menggapai kekuasaan, harta benda, dan popularitas. Kini banyak “tikus-tikus berwajah kucing”. Maka, kewaspadaan perlu ditingkatkan.

Kedua, realitas empiris menunjukkan, bahwa hukum positif dan kebijakan birokrasi, rentan diputar-balikkan untuk kepentingan politik, pelemahan KPK, termasuk pembebasan koruptor. Rekayasa jahat itu mencakup: revisi undang-undang KPK, kontroversi kepemimpinan KPK, perubahan status kepegawaian independen menjadi ASN, sehingga orang-orang pemberani dan jujur tersingkirkan.

Ketiga, pembahasan tentang jagat korupsi (termasuk TWK) tidaklah cukup mendasarkan hukum posistif saja, melainkan perlu diperluas dan dipertajam dengan hukum alam, dan hukum Tuhan. Waspadai, jangan sampai ada rekayasa lembaga dan UU KPK,  nir kejujuran. Karakter dan perilaku tikus, mesti dipahami, untuk pencermatan terhadap perilaku korup berkedok wawasan kebangsaan. “Kucing-kucing terbuang” mesti dirawat, karena fungsi dan amanahnya tidak tergantikan oleh “tikus berwajah kucing”. Wallahu’alam. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru besar Ilmu Hukum UGM