Jika Sistemnya Sakit, Penegakan Hukum akan Runtuh ke Zona yang Memprihatinkan

Jika Sistemnya Sakit, Penegakan Hukum akan Runtuh ke Zona yang Memprihatinkan

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Berbagai kalangan memprihatinkan kondisi sistem hukum di Indonesia sekarang ini. Tak terkecuali, anggota MPR/DPD RI dari DIY, H Cholid Mahmud ST MT, maupun Pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Sudjito Atmoredjo SH MSi, ikut menyuarakan keprihatinannya.

“Jika sistem hukumnya sakit dan kesadaran hukum rendah, maka sudah dapat dipastikan budaya penegakan hukumnya akan runtuh ke zona yang sangat memprihatinkan,“ kata Cholid Mahmud, Selasa (20/9/2022), di Ruang Serbaguna Gedung DPD RI DIY Jalan Kusumanegara 133 Kota Yogyakarta.

Saat Sosialisasi MPR RI Pancasila, UUD Negara RI 1945, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI (Tata Kehidupan Berbangsa dan Bernegara) bertema Budaya Hukum dan Penegakan Nilai-nilai Pancasila, Cholid menyampaikan pada Pasal 1 ayat 3 UUD NRI Tahun 1945, para pendiri Negara kita telah menggariskan bahwa Negara Indonesia adalah “negara hukum”.

Sebagai ‘negara hukum’ maka segala aspek kehidupan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus didasarkan pada hukum dan segala produk perundang-undangan serta turunannya yang berlaku di wilayah NKRI.

Konsekuensi logisnya, lanjut dia, jika sistem hukum di Negara kita sehat, dan kesadaran hukum (rechtsbewustzijn) mampu memegang kendali kehidupan, maka budaya penegakan hukum akan bergerak ke arah zona yang membahagiakan.

Sosialisasi Tahap V Tahun Program 2022 Anggota MPR RI ini diikuti oleh perwakilan tokoh pemuda dan tokoh masyarakat Kota Yogyakarta.

Cholid Mahmud memprihatinkan kondisi terkini budaya penegakan hukum di Indonesia. “Sayangnya setelah 77 tahun kita merdeka, budaya penegakan hukum di negara kita saat ini, justru sangat memprihatinkan. Di tengah masyarakat kita, kini masih menjamur kebiasaan main hakim sendiri dan budaya amuk massa. Sementara mafia-mafia hukum di lingkungan aparat penegak hukum malah merajalela. Keterpurukan budaya penegakan hukum yang sangat memprihatinkan segenap elemen bangsa kita saat ini,” paparnya.

Cholid Mahmud menambahkan, dalam membangun budaya penegakan hukum di NKRI ini, setiap warga negara berhak dan berkewajiban memiliki andil yang sama.

“Oleh karena itu, setiap warga negara, apalagi aparat penegak hukumnya, harus memiliki kesadaran internal dalam dirinya untuk senantiasa mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam setiap tindakan dan semua aspek kehidupannya,” tegasnya.

Nilai-nilai Pancasila itulah fondasi dasar karakter nasional bangsa Indonesia. Oleh karena itu pula, proses pembangunan budaya penegakan hukum nasional perlu didahului dengan proses pembinaan karakter bangsa secara bertahab dan berkelanjutan.

“Inilah pekerjaan rumah kita semua. Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk dan bimbingan, serta kekuatan kepada hamba-hamba-Nya. Aamiiin....,” harapnya.

Sedangkan Prof Dr Sudjito Atmoredjo SH MSi justru mempertanyakan apakah ada sistem hukum. “Kita betul-betul galau. Benarkah kita benar-benar punya sistem hukum? Sistem hukum itu harus ada konsistensi. Sumbernya Pancasila dan UUD 1945, ke bawah. Itu  banyak yang tidak konsisten lho. Yang obrak-abrik siapa? Ini artinya di dalam sistem perundang-undangan maupun perilaku, saya belum melihat (sistem hukum),” ungkapnya.

Padahal benar, lanjut dia, sistem hukum itu sangat penting. “Kalau kita tidak ada konsistensi, kita itu sama saja tanpa aturan. Yang seperti itu kemudian kacau. Yang ada bukan sistem hukum tetapi siapa berkuasa. Akhirnya hukum jadi permainan,” ujarnya prihatin.

Di hadapan peserta sosialisasi Prof Sudjito menjelaskan mengenai budaya hukum sebagai proses rangkaian aktivitas pendayagunaan unsur rasa, karsa dan cipta dalam memahami dan mengolah realitas kehidupan agar dapat ditangkap maknanya.

Selain sebagai produk berupa nilai, sikap, pemikiran, perilaku hingga jasa material dan imaterial, budaya hukum juga senantiasa positif sejak dari niat, aktivitas hingga tujuan yang dicapai. “Budaya itu harus positif. Korupsi kok dikatakan berbudaya. Itu keliru kebangeten,” kata dia.

Prof Sudjito juga sepakat Pancasila sebagai pandangan hidup yang sudah ada sejak nenek moyang perlu terus dilestarikan. Nilai-nilai tersebut pernah disebut sebagai mutiara bangsa Indonesia, sehingga ditenggelamkan oleh penjajah.

Founding fathers kemudian menggali lagi nilai-nilai yang sudah berkembang dan mengakar itu kemudian dirumuskan ke dalam lima sila. “Kita hari ini penting untuk kembali ke Pancasila, bukan sekadar dihafal,” ujarnya. (*)