Jumlah Keluarga Bermasalah di DIY Cukup Tinggi

Jumlah Keluarga Bermasalah di DIY Cukup Tinggi

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA –  Kasus hukum maupun aksi kekerasan jalanan atau klithih bersumber dari masalah keluarga. Ini sekaligus menunjukkan jumlah keluarga yang bermasalah di Provinsi DIY cukup tinggi.

“Banyak muncul kasus keluarga. Kami ingin menekan tetapi kesulitan,” ungkap Arida Oetami, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY, Senin (27/1/2020), di kantornya Jalan Tentara Rakyat Mataram Yogyakarta saat menerima kunjungan kerja Komisi D DPRD DIY.

Kunjungan kali ini dipimpin langsung Ketua Komisi D DPRD DIY, Koeswanto didampingi wakil dan sekretarisnya, Umaruddin Masdar serta Sofan Setyo Darmawan.

Turut serta menyertai anggota Komisi D DPRD DIY Imam Priyono D Putranto, Joko B Purnomo, Rita Nurmastuti, Imam Taufik, Ahmad Baihaqy Rais, Ika Damayanti Fatma Negara, Syukron Arif Muttaqin, Rany Widayati dan Muhammad Yazid.

Menurut Arida, terkait ketahanan keluarga dan perlindungan anak pihaknya sudah matur Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Jawabannya? “Pak Gubernur mengatakan tolong nek ana bocah ra pener jangan disalahkan anaknya dulu tapi orang tuanya,” kata Arida.

Sebenarnya, Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga, Dinas Kesehatan maupun Dinas Sosial juga sudah berbuat banyak menekan angka keluarga bermasalah secara bersama-sama. “Yang perlu diselesaikan bukan masalah anak saja tetapi juga keluarga,” kata dia.

Sekretaris DP3AP2  DIY Carolina Radiastuty menambahkan pihaknya saat ini mengembangkan layanan TeSAGa DIY (Telepon Sahabat Anak dan Keluarga).

“Yang perlu konsultasi tidak hanya anak tetapi juga keluarga. Jam ngobrol TeSAGa pukul 08:00 sampai 17:00,” kata dia. Salah satu misi TeSAGa DIY adalah membentuk keluarga yang tangguh dan utuh.

Anggota Komisi D DPRD DIY Ahmad Baihaqy Rais mendengarkan paparan jajaran DP3AP2 DIY. (sholihul hadi/koranbernas.id)

Menanggapi hal itu, Koeswanto menjelaskan Komisi D DPRD DIY ingin mendalami usulan maupun program dinas tersebut apa saja kendalanya  mengingat masih tingginya angka perkawinan usia dini maupun aksi klithih. Dia sepakat orang tua harus ikut tanggung jawab. “Aksi klithih itu orang tua yang salah, bukan hanya anaknya,” ujarnya.

Muhammad Yazid menambahkan komisi yang membidangi kesejahteraan masyarakat ini berkomitmen mem-back up program pemberdayaan perempuan dan anak.

Dilihat kulitnya, lanjut dia, pemberdayaan perempuan mungkin tidak ada apa-apanya tetapi begitu mengetahui manfaatnya, pemberdayaan keluarga dinilai sangat penting. Bahkan DP3AP2 punya peran strategis apalagi saat krisis klithih muncul lagi.

“Krisis klithih awalnya dari keluarga. Sangat pas untuk memahamkan masyarakat mengenai ketahanan keluarga. Saat reses, kita cek dana desa anggarannya sangat besar tetapi hampir semua desa rata-rata berlomba-lomba membangun fisik karena pragmatis dan SPJ-nya gampang. Nuwun sewu kencenderungannya ke sana. Dana desa hampir semua untuk program fisik tetapi pemberdayaan perempuan kurang,” ungkapnya.

Imam Priyono sepakat, pemberdayaan keluarga manfaatnya luar biasa. “Saya ingin bagaimana dinas betul-betul memberdayakan perempuan di berbagai bidang, untuk ketahanan keluarga. Anak yang melakukan klithih berarti tidak ada perlindungan keluarga. Pemberdayaan perempuan juga bagian dari mengikat suami agar tidak melakukan hal-hal buruk seperti pulang mabuk. Sakaguru kehidupan sebenarnya ada pada perempuan,” tegasnya.

Kunjungan Komisi D DPRD DIY ke DP3AP2, Senin (27/1/2020). (sholihul hadi/koranbernas.id)

Rita Nurmastuti bahkan merasa geregetan dengan adanya aksi klithih di DIY yang sangat memprihatinkan. “Kita sebenarnya tidak ingin menghukum anak, tindakan preventif sangat penting. Perlu ada koordinasi antar-sekolah. Klithih itu kan iseng. Kalau hanya dikumpulkan dikandhani lali meneh. Udah nggak kena lagi,” tambahnya.

Ika Damayanti Fatma Negara mengatakan sebenarnya Pemda DIY dan DPRD DIY sudah sangat serius membuat mekanisme dan teknis untuk menyadarkan pentingnya ketahanan keluarga.

Namun fakta yang terjadi di tingkat bawah ketahanan keluarga dengungnya tidak ada. Kalaupun ada terkesan sekadar formalitas.

Dia mencontohkan di Kulonprogo ada 120 kekerasan perempuan. Banyak keluarga punya masalah tetapi tabu untuk menceritakan. “Masih banyak yang tidak tercatat. Ironis, kita membuat regulasi tetapi di bawah tidak berdengung. Mohon sosialisasi ditingkatkan,” kata dia.

Sependapat, Ahmad Baihaqy Rais menyatakan pentingnya fungsi pengawasan berjalan secara maksimal, termasuk sosialisasi Perda Perlindungan Anak.

Terkait dengan pelaksanaan Perda Pembangunan Ketahanan Keluarga, Pemda DIY harus serius. Di dalam perda itu diamanatkan dua hal yaitu perencanaan dan pelaksanaan.

Pada aspek perencanaan terdapat beberapa hal yang menjadi tanggung jawab Pemda, salah satunya adalah pembuatan Indeks Ketahanan Keluarga. Pertanyaannya, kata dia, sudah sejauh apa pemda membuat Indeks Ketahanan Keluarga?

Pemda juga diamanatkan membuat grand design dalam pembangunan ketahanan keluarga, sudahkah itu dilakukan? Apalagi perda tersebut sudah dua tahun berjalan namun terkesan belum efektif. (sol)