Kasus Anthraks di Gunungkidul, Masyarakat Tidak Perlu Khawatir Berlebihan

Kasus Anthraks di Gunungkidul, Masyarakat Tidak Perlu Khawatir Berlebihan

KORANBERNAS.ID, JOGJA – Kasus anthraks kembali ditemukan di Gunungkidul. Satu oran bahkan dilaporkan meninggal dunia. Namun, Dekan Fakultas Peternakan UGM, Prof Ali Agus, menyatakan masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan.

“Jangan takut berlebihan, yang penting tetap siap siaga,” ucapnya kepada media, Sabtu (18/1/2020), di kampus setempat.

Anthraks sendiri merupakan penyakit yang bersumber binatang dan tidak menular dari manusia ke manusia. Penularannya biasanya terjadi karena adanya kontak langsung dengan hewan yang sakit atau mengonsumsi daging hewan yang terkontaminasi spora anthraks.

Pasca kejadian ini, Ali menyebutkan bahwa perlu dilakukan pembatasan mobilisasi orang dan ternak untuk mengurangi risiko penularan dan langkah-langkah strategis lainnya terkait biosecurity. “Yang paling sederhana, bagaimana orang yang keluar dan masuk kandang itu diberi disinfektan,” ucapnya.

Penularan penyakit anthraks terhadap manusia sendiri dapat termanifestasi dalam 3 macam, yaitu anthraks kulit akibat kontak langsung dengan binatang yang sakit atau mati, anthraks pencernaan jika mengonsumsi daging yang terkontaminasi anthraks, atau anthraks pernafasan melalui spora anthraks yang terhirup.

Dari ketiganya, yang paling sering terjadi adalah anthraks kulit yang memiliki gejala demam, bengkak, serta luka yang memunculkan kopeng menghitam tebal. “Antraks jenis ini relatif tidak fatal. Lebih berbahaya anthraks pernafasan dan pencernaan,” ungkap dr Riris Andono Ahmad, pengajar di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM.

Menurut Riris, masyarakat perlu memiliki kesadaran yang lebih besar tentang penyakit ini serta cara mengatasinya. Apabila seekor ternak telah menunjukkan gejala anthraks seperti demam tinggi, gelisah, tidak mau makan, mati dengan keluarnya darah hitam dari lubang tubuh atau mati secara mendadak, pemilik ternak perlu menghubungi Puskeswan atau petugas kesehatan hewan terdekat dan tidak justru menyembelih hewan tersebut untuk dijual atau dikonsumsi.

“Di DIY sendiri sebagian besar kasus terjadi karena ketika seekor ternak sakit atau mati, masyarakat merasa eman-eman, daripada mati sia-sia maka disembelih untuk dijual dengan harga murah atau diberikan kepada masyarakat sekitar,” kata Riris.

Tindakan ini, terangnya, justru akan meningkatkan risiko penyakit karena dengan menyembelih hewan, itu akan menyebarkan spora anthraks ke lingkungan.

Ia pun mengimbau tenaga kesehatan, terutama yang berada di layanan primer, untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap tanda dan gejala penyakit anthraks dan segera berkoordinasi dengan dinas kesehatan atau Puskesmas terkait apabila menemukan kecurigaan suspek kasus anthraks.

Jangan Disembelih

Sementara itu, Pakar mikrobiologi Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Prof Wahyuni, mengungkapkan bahwa penyakit anthraks disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis. Spora dari bakteri ini, jelasnya, bisa bertahan di tanah hingga puluhan tahun. Karena itu, ia menegaskan agar hewan yang diduga terjangkit penyakit ini tidak boleh disembelih atau dibuka.

“Kalau hewan disembelih darahnya akan keluar, dan di situ bakterinya juga akan keluar. Begitu berhubungan dengan udara, dia akan membentuk spora yang bisa bertahan di tanah hingga puluhan tahun,” terangnya.

Karakter bakteri tersebut, ujarnya, membuat pengendalian penyakit anthraks tidak mudah, karena sulit untuk mengetahui dimana letak spora bakteri yang keluar dari hewan. Untuk itu peternak perlu melakukan penanganan bangkai hewan secara tepat.

Ia menyampaikan bahwa di beberapa negara, penanganan bangkai hewan yang terjangkit penyakit dilakukan dengan incenerator untuk menghancurkan bangkai secara menyeluruh. Namun, alat tersebut belum bisa diterapkan untuk kasus penyakit ternak di Indonesia.

Alternatif yang dapat dilakukan adalah dengan mengubur bangkai pada lubang dengan kedalaman minimal 2 meter yang ditutup dengan tanah dan diberi disinfektan. Area tersebut juga sebaiknya diplester atau dilapisi dengan semen sebagai penanda bahwa di tempat tersebut pernah terjadi kasus anthraks. “Dan tempat itu tidak boleh dibangun ataupun digali,” ujarnya.

Sebagai pencegahan, khususnya di daerah di mana penyakit anthraks telah menjadi endemik, perlu dilakukan vaksinasi ternak serta pengawasan secara berkala terhadap hasil dari vaksinasi tersebut. Ia menyarankan agar vaksinasi dilakukan dua kali dalam setahun karena antibodi mulai menurun setelah 6 bulan. (eru)