Kejahatan Korporasi pada Kelangkaan Batu Bara dan Pemadaman Listrik

Kejahatan Korporasi pada Kelangkaan Batu Bara dan Pemadaman Listrik

LISTRIK, merupakan salah satu kebutuhan primer orang-perorang, rumah tangga, kantor, maupun perusahaan. Betapa kehidupan menjadi lumpuh ketika listrik padam. Ada pemadaman listrik karena perbaikan instalasi. Ini bisa dimengerti. Namun, ada pemadaman listrik karena penghematan oleh PLN agar kerugian bisa ditekan. Pada sebab terakhir itulah, terindikasi ada kejahatan korporasi. Pasokan batu bara - sebagai sumber energi pembangkit tenaga listrik – diganggu oleh perusahaan-perusahaan pertambangan. Ketercukupan pasokannya, jauh dari batas kewajaran maupun kenormalan. PLN tidak berdaya. PLN berkali-kali mengalami defisit batu bara. Untuk mengatasinya terpaksa impor batu bara dari Australia. Keuangan negara dirugikan. Konsumen listrik menjadi korban-korbannya.

Awal tahun 2022 diwarnai munculnya krisis energi di tingkat global. Diwartakan berbagai media, bahwa Tiongkok sudah beberapa kali melakukan pemadaman listrik di sejumlah provinsinya. Tindakan itu terpaksa dilakukan akibat kekurangan pasokan batu bara. Beberapa tahun pasca reformasi Indonesia, negara itu gemar impor batu bara dari Kalimantan. Harganya murah, karena jual-beli bisa dilakukan secara ilegal di tengah laut. Kualitasnya, jauh lebih baik dari batu bara Tiongkok. Orang-orang Kalimatan, geleng-geleng kepala, mlongo, tak berdaya melihat perampokan batu bara. Padahal ketika itu, pasokan listrik untuk Kalimantan masih minim. Satu pengalaman, sehari perkuliahan, listrik padam hingga 10 kali.

Serupa dengan itu, krisis energi juga terjadi di Eropa. Penyebabnya, karena peningkatan permintaan pasokan listrik di tengah musim dingin. Krisis demikian berlangsung sebagai rutinitas. Tak terlalu mengkhawatirkan. Akan tetapi, krisis energi (khususnya listrik) secara keseluruhan, terindikasikan meluas ke negara-negara lain, dan berdampak buruk pada kehidupan golongan menengah ke bawah.

Apapun penyebabnya, krisis energi telah melambungkan harga sumber-sumber daya energi yang dibutuhkan sebagai pembangkit tenaga listrik. Dalam bingkai hukum ekonomi, ketika permintaan meningkat, sementara pasokan (stok) terbatas, maka harga pasti membubung. Semakin tingginya harga, daya tarik untuk mengekspor sumber energi kian besar. Fenomena ekonomi ini terjadi dan berimbas pada ekspor batu bara Indonesia.

Pemerintah Indonesia mengambil langkah drastis. Melarang ekspor batu bara, mulai 1 Januari hingga 31 Januari 2022. Larangan tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 139.K/HK/03/MEM/B/2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri.
Dasar kebijakan ini, antara lain suatu kenyataan bahwa ketergantungan produksi tenaga listrik nasional pada batu bara, selama ini masih tinggi. PLN tengah (selalu) mengalami defisit batu bara. Dikhawatirkan defisit ini mengancam ketersediaan listrik bagi 10 juta pelanggan. Ditelusuri secara seksama, ternyata defisit ini terkait dengan sikap pengusaha batu bara yang tak mematuhi aturan kewajiban pemenuhan kebutuhan dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO).

Dijelaskan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM (Ridwan), bahwa kebutuhan batu bara dalam negeri yang seyogyanya diberikan ke PLN adalah 5,1 juta metrik ton.  Tetapi hingga saat ini baru terpenuhi 35 ribu metrik ton (kurang dari satu persennya). Oleh karenanya, demi stabilitas kelistrikan nasional, perusahaan yang boleh melakukan ekspor batu bara hanyalah perusahaan yang telah memenuhi harga patokan DMO untuk PLN sebanyak 76 - 100 persen.   

Menurut kalkulasi para pakar energi, tidak kurang dari 61 persen pasokan energi listrik nasional selama ini bersumber dari batu bara. Kiranya, wajar dan rasional, untuk sementara waktu, ekspor batu bara dilarang. Seiring dengan itu, agar kebijakan dipatuhi seluruh perusahaan-perusahaan pertambangan, maka evaluasi terhadap kebijakan DMO terus dilakukan. Evaluasi bukan untuk penurunan ukurannya, melainkan peningkatan efektivitas pelaksanaannya.  Presiden telah menginstruksikan seluruh perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan batu bara - baik BUMN beserta seluruh anak usaha maupun swasta - untuk mengutamakan kepentingan dalam negeri. Ditegaskan, Pemerintah tak segan-segan akan mencabut izin usaha bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban dalam negerinya.

Pengamat Pertambangan dan Peneliti di Alpha Research Database (Ferdy Hasiman) berpendapat, agar PLN tidak terus-menerus merugi, maka pemerintah harus tegas terhadap perusahaan pertambangan nakal. Dalam pengamatannya, kenakalan itu terutama ketika harga batu bara di tingkat global naik. Ditelisik mendalam, ternyata perusahaan-perusahaan nakal tersebut berafiliasi dengan elite politik nasional. Sebut saja Erick Thohir dan Boy Thohir dengan PT Adaro Energy Tbk, Aburizal Bakrie dengan PT Bumi Resources Tbk, hingga Luhut Binsar Panjaitan dengan PT Toba Bara Sejahtera Tbk, dan sebagainya. Mereka telah memiliki kontrak kerja dengan pembeli (buyer) di luar negeri, setidaknya untuk 5 hingga 10 tahun mendatang. (CNNIndonesia.com, 3/1/2022).

Pengamat Energi (Mamit Setiawan) melihat alasan di balik enggannya perusahaan batu bara memenuhi kewajibannya, lantaran harga jual batu bara untuk PLN jauh lebih murah dibandingkan harga yang dijual di pasar global. "Pastinya karena memang harga batu bara cukup tinggi dibandingkan DMO yang sudah ada yakni US$70 per metric ton, sementara di luar di atas US$150. Jadi ada selisih yang cukup signifikan antara harga DMO dengan di luar," katanya.

Suatu kenyataan menarik bahwa kebijakan larangan ekspor batu bara itu pada tataran riil, direspons secara rasional dan kontekstual. Ambil contoh. Di Provinsi Kalimantan Timur, sebanyak 25 perusahaan tambang masih diperbolehkan mengekspor batu bara pada awal Januari 2022. Dalihnya, karena perusahan tambang tersebut mampu menghasilkan DMO sebesar 76-100 persen. Dalam pada itu, terdapat 418 perusahaan yang sampai Oktober 2021, sama sekali belum menjalankan DMO untuk PLN. Hanya 30 perusahaan hingga Oktober 2021 yang telah menjalankan DMO sekitar 1-24 persen. 17 perusahaan sebesar DMO 25-49 persen. Sebanyak 25 perusahaan telah memenuhi DMO 50-75 persen. Selanjutnya, terdapat 29 perusahaan telah memenuhi DMO 76-100 persen. Sebanyak 93 perusahaan sudah 100 persen hingga Oktober 2021 (Bisnis.com 04 Januari 2022).

Sebagai negara hukum, kebijakan larangan ekspor batu bara perlu dianalisis dalam perspektif yuridis-konstitusional. Dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum Putusan No. 001-021-022/PUU-1/2003, bahwa listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak. Rakyat secara kolektif (bersatu sebagai bangsa), memiliki hak atas kelistrikan. Hak kepemilikan ini dilimpahkan penguasaannya kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Adapun isi hak menguasai Negara itu berupa wewenang-wewenang, yang mencakup: perumusan kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toesichthoudensdaad). Segala wewenang tersebut wajib dilakukan demi terwujudnya kemakmuran bagi sebesar-besarnya rakyat. Dalam pada itu, usaha di bidang ketenagalistrikan yang dilakukan secara kompetitif dengan memposisikan pelaku usaha secara sama (setara) dan oleh badan usaha yang terpisah (unbundeld) adalah bertentangan dengan UUD 1945.

Ditelisik seksama, nyatalah bahwa kebijakan larangan ekspor batu bara, telah sesuai dengan amanah konstitusi. Kebijakan berorientasi pada kebutuhan publik, tanpa menegasikan aspek ekonomi dan kepentingan pelaku usaha.

Kejahatan korporasi yang terindikasi dilakukan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) perlu ditindak tegas. Pernyataan APBI tentang keberatan dan permintaan kepada Menteri ESDM untuk segera mencabut kebijakan tersebut, mesti ditolak. Janganlah sekali-kali ada pembiaran (apalagi persekongkolan) terhadap kejahatan korporasi pertambangan batu bara. Wallahu’alam. ***

Prof. D. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru Besar Ilmu Hukum UGM