Kekuatan Yogyakarta Saat Melawan Belanda Menjadi Inspirasi Dunia

Kekuatan Yogyakarta Saat Melawan Belanda Menjadi Inspirasi Dunia

KORANBERNAS.ID,YOGYAKARTA -- Peristiwa Serangan Umum (SU) 1 Maret memiliki makna penting bagi penegakkan dan pengakuan kedaulatan negara, baik dari dalam maupun dari luar. Peristiwa ini merupakaian rangkaian panjang dari peristiwa-peristiwa sejarah yang mendahului dan mengikutinya, sejak Proklamasi Kemerdekaan hingga pengakuan kedaulatan negara oleh Belanda.

Pasca Proklamasi Kemerdekaan telah dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Sukarno dan Muhammad Hatta di Jakarta, berlanjut dengan pengangkatan dan penetapan Sukarno dan Muhammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden, serta pengesahan Undang Dasar 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Tak berselang lama, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII menyatakan sikap, bahwa Kasultanan Ngayogyakarta dan Kadipaten Pakualaman menjadi bagian dari Indonesia melalui Amanat 5 September 1945. Pada 29 September 1945, pasukan Sekutu dan Belanda mendarat di Indonesia untuk melucuti tentara Jepang dan mengendalikan keadaan. Saat itulah, Belanda dengan panji Sekutu-nya justru berupaya memanfaatkan situasi, menggunakan kesempatan untuk kembali mengambil alih Hindia Belanda.

Gerakan ofensif-agresif Belanda inilah yang menyebabkan Ibukota negara Republik Indonesia akhirnya dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta, pada hari Jumat Legi tanggal 4 Januari 1946. Perpindahan ini adalah langkah antisipasi, akibat ulah Sekutu yang mulai melakukan aksi teror dan percobaan pembunuhan terhadap para pejabat negara. Jakarta jelas tak lagi kondusif. Soekarno pun segera menerima tawaran Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk memindahkan ibukota negara ke Yogyakarta.

Di ranah internasional, Dewan Keamanan PBB mulai membahas situasi Indonesia yang bergejolak pada tanggal 7 Februari 1946. Selang beberapa lama, pada tanggal 15 November 1946 Indonesia dan Belanda menandatangani perjanjian Linggarjati. Hasilnya, kedua pihak menyetujui gencatan senjata, dengan Belanda mengakui wilayah kekuasaan Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura.

Sayangnya, pengingkaran lagi-lagi terjadi. Alih-alih berdamai, Belanda malah melancarkan Agresi Militer I, hingga pada tanggal 17 Januari 1948 diadakan perjanjian Renville untuk mengakhiri agresi Belanda. Perjanjian ini-pun berbuah pahit, karena Belanda justru menguasai lebih banyak wilayah di Jawa dan Sumatera setelah Agresi Militer I.

Pada tanggal 19 Desember 1948, satu kompi pasukan baret merah Belanda terjun di Lapangan Terbang Maguwo Yogyakarta, dan dalam waktu singkat berhasil merebut Maguwo. Saat itulah, Belanda memulai Agresi Militer II atas ibu kota Republik Indonesia di Yogyakarta. Berikutnya, giliran pesawat Dakota mendarat, membawa satu batalion pasukan baret hijau Belanda.

Dua satuan komando Belanda itu langsung masuk kota Yogyakarta dan menghancurkan pasukan TNI yang berusaha menghadangnya. Jelas sudah, Belanda telah melanggar isi perjanjian Renville. Presiden, Wakil presiden, dan beberapa menteri ditangkap dan diasingkan. Sejak itulah Belanda mulai menyebarkan propaganda internasional, bahwa Indonesia sudah tidak ada.

Menyikapi situasi, Panglima Besar Jenderal Sudirman memutuskan keluar dari ibu kota dan berjuang melalui perang gerilya. Sepanjang Desember 1948 hingga Februari 1949, terjadi serangan terus-menerus terhadap pos-pos Belanda oleh gerilyawan TNI.

Adanya perlawanan sporadis, pada akhirnya melahirkan gagasan untuk melakukan serangan umum yang lebih besar dari segala penjuru. Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengirim surat kepada Panglima Sudirman dan menganjurkan agar mengadakan serangan guna merebut kembali Yogyakarta dari tangan Belanda. Panglima Sudirman menyetujui saran Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan meminta Sri Sultan untuk berkoordinasi dengan Letnan Kolonel Soeharto sebagai komandan Brigade 10/Wehrkreise III.

Tak lama, Sri Sultan dan Letkol Soeharto melakukan pertemuan dan keduanya sepakat untuk melakukan Serangan Umum 1 Maret 1949pada pukul 06.00 pagi. Dan memang benar terjadi, Sesaat setelah sirine tanda selesainya jam malam meraung-raung di seantero Yogyakarta, suara tembakan serentak terdengar di mana-mana. Untuk pertama kalinya sejak Kota Yogya jatuh ke tangan Belanda, pasukan TNI berhasil memasuki wilayah kota.

Didukung sekitar 2.000 personel, TNI menyerbu dan masuk Kota Yogyakarta. Dalam waktu singkat, TNI yang bergerak dari Selatan bisa menerobos hingga Alun-alun Utara dan Kantor Pos Besar. Dari sisi timur, Pasukan TNI bisa mencapai Jalan Malioboro di pusat kota. Sementara dari barat, pasukan TNI berhasil menduduki pabrik Besi Watson, yang menjadi tempat penyimpanan amunisi pasukan Belanda.

Di utara, pasukan TNI berhasil mencegah bala bantuan Belanda dari Maguwo mencapai Kota Yogyakarta. Tembak-menembak terus berjalan sengit. Pasukan Belanda sama sekali tidak menduga pasukan republik berani masuk kota pada siang hari. Mereka seakan tidak percaya organisasi TNI masih rapi dan bisa melakukan satu serangan yang terkoordinasi dengan baik. Melalui serangan ini pasukan Indonesia berhasil menduduki Yogyakarta selama 6 jam. Berita perebutan kembali ibukota Yogyakarta disiarkan ke seluruh dunia melalui siaran radio.

Keberhasilan Merebut Yogyakarta

Keberhasilan TNI merebut kembali kota Yogyakarta ini memberikan pengaruh besar. Negara-negara bentukan Belanda di Indonesia segera mengetahui eksistensi Republik yang sebenarnya, dan mereka berbalik memihak Republik Indonesia. Para pendukung sistem federal yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Federal mulai sadar, dan membuka kembali jalan untuk bersatu dengan pihak Republik.

"Serangan Umum 1 Maret menjadi prekursor bagi republik dan Majelis Permusyawaratan Federal untuk melaksanakan Konferensi Inter-Indonesia, yang bertujuan menyatukan pikiran antara kedua belah pihak untuk menghadapi Belanda di Konferensi Meja Bundar," papar Gubernur DIY, Sri Sultan HB dalam Seminar Nasional Pengusulan SU 1 Maret jadi Hari Besar Nasional, Selasa (16/11/2021).

Di ranah internasional, Dewan Keamanan PBB menggunakan berita ini untuk mendesak Belanda kembali berunding dengan Indonesia. Amerika Serikat bahkan mengancam memberikan sanksi ekonomi kepada Belanda akibat memburuknya situasi. Belanda setuju untuk kembali berunding. Mereka menyepakati persetujuan Roem-Royen pada 7 Mei 1949, dan menyetujui gencatan senjata, mengembalikan pemimpin republik ke Yogyakarta, dan menyelenggarakan Konferensi Meja bundar.

Belanda, Republik Indonesia, dan negara-negara bentukan Belanda di Indonesia bertemu pada Konferensi Meja Bundar antara 23 Agustus hingga 2 November 1949 dan menghasilkan pengakuan kedaulatan Indonesia. Belanda dan Indonesia melaksanakan upacara pengakuan ini pada 27 Desember 1949.

Atas dasar rentetan peristiwa itulah, pada akhirnya Pemda DIY mengusulkan peristiwa Serangan Umum 1 Maret sebagai hari besar nasional dengan tujuan utama untuk menghargai jasa para pahlawan, meneguhkan kembali semangat nasionalisme dan kebangsaan. Selain itu mengingatkan pentingnya urgensi kembali kepada cita-cita awal revolusi kemerdekaan Indonesia yang merdeka dan berdaulat, menciptakan masyarakat yang adil dan makmur berdasar Pancasila dan UUD 1945.

Usulan Hari Penegakan Kedaulatan Negara (HPKN) dirumuskan tanpa adanya upaya pengukultusan terhadap individu dan figur tertentu yang dianggap memainkan peran sentral. Pengusulan ini murni lahir dari jernih pikir, bahwa upaya menegakkan kedaulatan negara bukanlah upaya individual.

"Tetapi sebuah upaya yang dilaksanakan secara kolektif seluruh komponen bangsa," ujarnya.

Diperlukan permakluman yang mendalam berdasarkan landasan historis yang kuat, bahwa aspirasi- aspirasi yang di berada luar kesepakatan nasional tidak bisa diterima. Karenanya Sultan berharap, bahwa tata nilai yang terkandung dalam instrument-instrumen kesepakatan nasional yang meliputi Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, Merah Putih dan NKRI mampu menjadi referensi pokok dari pola pikir kebangsaan yang menginspirasi perilaku berbangsa dan bernegara.

"Besar harapan, bahwa tanggal 1 Maret 1949 segera dapat ditetapkan sebagai Hari Besar Nasional dengan nama Hari Penegakan Kedaulatan Negara, hingga pada akhirnya dapat menjadi pemantik semangat persatuan, mendukung penguatan wawasan kebangsaan, dan menjadi modal sosial pembangunan bagi Daerah Istimewa Yogyakarta pada khususnya, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia pada umumnya," paparnya.

Sementara Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kemendagri, Bahtiar mengungkapkan Kemendagri tengah melakukan percepatan izin prakarsa penetapan tanggal 1 Maret sebagai hari besar nasional. Hal iniberdasarkan penyusunan naskah akademik dan kajian yang tersedia, usulan nama untuk hari nasional dimaksud adalah ‘Hari Penegakkan Kedaulatan Negara’.

Hari itu untuk mengenang kembali ‘Hari Serangan Umum di Jogja’ yang terjadi pada 1 Maret 1949 yang merupakan langkah strategis Indonesia untuk mematahkan argumentasi internasional kala itu. Tujuannya untuk membuktikan kepada dunia bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih ada dan cukup kuat, dengan harapan dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB.

Pada prinsipnya Kemendagri mendukung upaya percepatan proses penyusunan Keputusan Presiden (Keppres) tentang penetapan 1 Maret sebagai hari besar nasional. Apalagi upaya ini benar sudah dilakukan sejak akhir tahun 2018.

"Tahapan ini memang agak relatif berhenti karena pandemi. Upaya ini dilanjutkan kembali pada tahun 2020, kami bersurat kepada Pemda DIY untuk melanjutkan upaya penyusunan hari Serangan 1 Maret menjadi hari besar nasional," imbuhnya.(adv)