Kiat Bertahan Hidup pada Masa Pendemi Covid-19

Kiat Bertahan Hidup pada Masa Pendemi Covid-19

BAHWA hidup manusia penuh penderitaan dan perjuangan adalah fakta yang tak terbantahkan. Kedua fakta itu semakin terasa pada masa pandemi ini. Serangan Covid-19 belum berakhir, meskipun ratusan ribu nyawa sudah melayang dan jutaan orang terinfeksi. Tak ada yang bisa meramalkan kapan berakhirnya krisis ini. Padahal, menghadapi sesuatu yang tak pasti merupakan pengalaman yang sangat menyiksa. Orang pun nekat untuk kembali bekerja di luar rumah. Para siswa berkumpul lagi di sekolah. Masyarakat jenuh mengurung diri di rumah. Bekerja dan belajar online ternyata bukan solusi terbaik. Orang terkepung oleh perasaan takut dan putus asa. Kedua perasaan negatif ini mudah memicu kemarahan dan tindakan destruktif. Bagaimana kita dapat bertahan hidup pada masa sulit ini?

Kesejahteraan

Jenis pekerjaan apa pun yang dilakukan manusia, entah itu belajar, bekerja, bepergian, menari atau bahkan berdoa, semuanya dilakukan untuk mencapai satu tujuan, yakni: kesejahteraan hidup. Meski tingkat kesejahteraan berbeda-beda, tetapi ciri orang sejahtera itu bisa diamati. Sederhananya, ukuran orang sejahtara itu, ketika kebutuhan sandang, pangan dan papan terpenuhi.  Minimal, orang sejahtera itu tak lagi bergantung  kepada orang lain.

Namun dalam upaya meraih kesejahteraan itu, terkadang ada hambatan atau musibah yang tiba-tiba menghadang. Upaya kita terganggu dan langkah terhenti, bahkan ada yang pingsan dan mengalami mati suri. Rundungan musibah itu sangat terasa saat ini. Kredit macet, lapak-lapak penjualan tutup, penerbangan sepi, hotel-hotel masih menyerupai rumah hantu, supir taksi mengeluh, dan tempat-tempat rekreasi belum sepenuhnya pulih.  

Protokol kesehatan untuk mencegah penularan virus mematikan ini,  bagaimana pun telah membatasi kebebasan  kita.  Kemana pun pergi, kita harus mengenakan masker. Keinginan teman lama untuk spontan berjabat tangan, berpelukan, atau cipika-cipiki terpaksa ditampik. Bepergian tak senyaman dulu.

Setiap kali hendak memasuki pasar swalayan, gedung kantor, rumah sakit, bahkan tempat rekreasi, kita wajib mencuci tangan dengan air dan sabun, atau dengan hand sanitizer dan suhu tubuh pun diukur.  Tujuan penerapan protokol kesehatan  untuk mencegah penularan virus covid-19, justru membuat hidup terasa tak nyaman.

Seminggu lalu ponakan penulis, Desmon, 33, meninggal dunia di sebuah Rumah Sakit di Surabaya. Selama sakitnya, almarhum diisolasi, karena diduga terkena Covid-19. Hasil swab tak kunjung datang. Keinginannya untuk dimakamkan di kota kelahirannya terpenuhi, namun hasratnya untuk bertemu sang ibu, setelah tiga setengah tahun berpisah, terpaksa dipendam hingga ajal menjemputnya.  ‘Aku kesakitan, Bu. Apakah ibu tak lagi mencintaiku? Koq ibu tidak menengok aku. Aku lelah sekali, aku istirahat dulu ya.’ Itulah kata-kata terakhir dalam video call  terakhir bersama sang bunda.

Pandemi Covid-19 telah menyisakan rentetan kisah tragis akibat persoalan keuangan, kehilangan pekerjaan, putus sekolah, darurat kesehatan, perselisihan dalam rumah tangga, perceraian, hingga kematian orang-orang terdekat.  Antrian pasien psikolog dan psikiater mengular. Orang mulai bertanya-tanya, adakah ilmu atau keterampilan yang dapat membantu kita bertahan di tengah kehidupan yang sesulit sekarang?

Ilmu psikologi mengindentifikasi tiga kemampuan dasar yang dimiliki manusia untuk menjalani hidupnya, yakni: Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quotient (EQ) dan EI (Emotional Intelligence). Kecerdasan intelektual (IQ) menjelaskan seberapa cerdas seseorang menyangkut kemampuan bernalar, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami gagasan, daya serap, dan kemampuan belajar.

Kecerdasan emosional (EQ) menjelaskan kemampuan orang untuk mengidentifikasi, mengukur, dan mengendalikan perasaan sendiri,orang lain atau kelompok. Kemampuan itu mewujud dalam kesadaran diri, pengendalian diri, kemampuan sosial, empati dan motivasi. Sedangkan kecerdasan spiritual (SQ) adalah sebuah konsep yang berkaitan dengan kemampuan seseorang memaknai kehidupannya, rasa kemanusiaan, spontanitas, dan membaca tanda zaman. Kecerdasan spiritual, tidak ada kaitannya dengan ajaran agama-agama tradisional yang kita kenal selama ini.

Adversity Quotient

Selain ketiga kecerdasan yang disebutkan di atas. Ada kemampuan psikologis lain yang dikenalkan oleh Paul Stoltz, yakni: Adversity Quotient. Informasi tentang jenis kemampuan psikologis ini ia tuangkan dalam bukunya, Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities (1997).

Inilah kecerdasan yang dimiliki seseorang saat menghadapi kesulitan hidup. Secara metaforik, Stoltz menggambarkan kemampuan tersebut dengan tiga tipe manusia  ketika menghadapi peluang yang sama untuk mendaki gunung. Ketiga tipe manusia itu masing-masing ia sebut: the quitter, the camper dan the climber.

The quitter adalah tipe orang yang langsung menyerah ketika berhadapan dengan tantangan. Belum apa-apa, ia sudah membayangkan berbagai kesulitan yang bakal menghadangnya, manakala ia misalnya, mengambil keputusan untuk mendaki gunung itu. Ia menyesali keputusannya. The quitter menyerah sebelum berjuang.

Sedangkan The camper adalah orang yang mencoba menerima tantangan. Tetapi setelah mengalami sendiri berbagai kesulitan akibat risiko yang diambilnya, ia pun menyerah. Ia memilih berhenti melangkah dan kembali meringkuk di zona nyaman. Inilah tipikil pribadi minimalis, yang sudah puas dengan capaiannya.

Akhirnya, The Climber adalah tipe manusia yang menyukai tantangan. Tujuan seorang pendaki gunung adalah mencapai puncak gunung. Apa pun hambatannya, sang pendaki tak akan berhenti, sebelum ia mencapai puncak gunung itu. Bahkan setelah berhasil mendaki  gunung yang satu, ia tertantang untuk menaklukkan gunung yang lain. Kepuasannya ia peroleh dalam perjuangannya.  

Pertanyaannya, pada kategori manakah pembaca budiman ingin mengelompokkan diri? Apakah ingin menjadi the quitter, yakni orang yang mudah menyerah, banyak mengeluh, dan takut menghadapi tantangan?  Atau menjadi the camper, orang  minimalis yang sedikit berjuang, namun lebih banyak pasrah kepada keadaan? Ataukah justru pembaca adalah the climber, orang yang dengan iklas menerima tantangan dan terus berjuang dengan optimis karena percaya, bahwa setiap badai pasti berlalu.

Kesimpulan

Kita masih hidup dalam situasi pandemi Covid-19. Sebagian orang mengatakan, ke depan, entah sampai kapan, kita masih ada dalam situasi vivere in periculoso, atau hidup sambil meniti marabahaya.

Agar selamat dari marabahaya ini, kita perlu mengembangkan AQ, yakni kemampuan atau ketahanan untuk menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan dan situasi penuh tantangan tanpa menjadi berantakan. Kemampuan atau ketahanan itu bisa diraih, apabila kita secara aktif atau pasif berusaha mengatasi setiap kesukaran. Menurut penulis, terdapat setidaknya ada 6 cara mengembangkan kemampuan dan ketahanan tersebut. Pertama, sesekali keluarlah dari zona nyaman (comfort zone). Sistem hormon stres kita dilatih untuk menimbulkan kekebalan. Sesungguhnya ketakutan itu selalu lebih berbahaya dari pada sumber ketakutan itu sendiri.

Kedua, kita perlu menyiapkan mental. Tak ada salahnya mengharapkan yang terbaik, tetapi jangan lupa bersiaplah untuk menerima yang terjelek. Kehidupan tak selamanya menyediakan jalan mulus yang bertabur kembang. Rencana-rencana kita tak selamanya berlangsung linier.  Selamanya kita harus selalu adaptif, siap menyesuaikan diri dengan perubahan yang terus berlangsung.

Ketiga, jangan menyalahkan diri sendiri pada saat menghadapi kesulitan. Karena  di tengah situasi negatif, kita bisa serba salah. Yang ada di luar diri kita mungkin tak seburuk reaksi kita terhadapnya. Karena itu, yang terpenting adalah menyadari diri sendiri, dan mengendalikan tanggapan kita terhadap berbagai kekuatan eksternal yang berada di luar kendali kita.

Keempat, menciptakan sistem pendukung.  Jangan pernah mengandalkan kemampuan sendiri, ketika sedang menghadapi kesulitan. Kita tercipta sebagai makhluk sosial, agar kita membangun solidaritas sebagai sistem pendukung. Ciptakan komitmen: hadir untuk saling membantu (being there for each other). Sistem pendukung itu dimulai dari keluarga, pertemanan, atau pasangan hidup.

Kelima, membingkai cerita. Begitu kita menjadi korban trauma, pengalaman buruk itu akan menetap dan menjadi bagian diri kita. Daripada membiarkan diri terpuruk, lebih baik mengambil jarak terhadap peristiwa itu, dengan menarasikannya dalam bentuk pesan lisan atau tulisan yang berguna sebagai pembelajaran.  Anything that doesn’t kill you strengthens you. Apa pun yang belum sampai membunuh Anda justru menguatkan. **

John de Santo

Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta; Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka.