Klaim China dalam Konflik Perebutan Wilayah Perairan Laut China Selatan

Klaim China dalam Konflik Perebutan Wilayah Perairan Laut China Selatan

PEREBUTAN kawasan wilayah Laut China selatan bukanlah isu yang awam lagi di telinga masyarakat. Berbagai media internasional sudah sering membahas isu yang satu ini. Perhatian media dalam isu ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, Laut China Selatan atau yang biasa disebut LCS merupakan laut yang berada di tepi Samudra Pasifik. Luas Laut China Selatan adalah 3.500.000 km persegi yang membentang dari Selat Malaka dan Selat Karimata, sampai dengan selat Taiwan. Laut China Selatan menempati posisi yang strategis, karena laut ini menghubungkan kawasan Asia Timur dengan India, Eropa, Asia Barat, dan Afrika. Selain itu, Laut China Selatan juga merupakan jalur tercepat untuk berlayar dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia.

Melihat dari aspek ini, Laut China Selatan menjadi salah satu rute yang dipilih untuk jalur perdagangan ekonomi dunia. Melansir dari CRF Global Conflict Tracker, total nilai perdagangan yang melintasi kawasan Laut China Selatan pada 2016 mencapai US$3,37 triliun. Perdagangan gas alam cair global yang transit melalui LCS pada 2017 sebanyak 40 persen dari total konsumsi dunia.  Dengan potensi yang sangat berlimpah ini, tentunya kawasan negara yang berada dalam jangkauan Laut China Selatan akan berusaha untuk mempertahankan posisinya. Hal ini lah yang menyebabkan terjadi konflik di kawasan Laut China selatan.

Pada awalnya, konflik ini di mulai dari claim sepihak China atas kawasan Laut China Selatan. China mengklaim bahwa kawasan Laut China Selatan merupakan kawasan laut mereka. Klaim ini dilakukan China pada 1947 saat mereka membuat peta Laut China Selatan dengan 9 garis putus-putus dengan mengatakan, bahwa wilayah ini adalah wilayah China termasuk kepulauan Spartly dan Paracel sebagai wilayah teritorinya. Keputusan klaim sepihak yang dilakukan China ini tentunya memantik perselisihan dan ketegangan di antara negara yang berbatasan garis pantai dengan kawasan Laut China Selatan. Terdapat enam negara yang terlibat dalam perebutan wilayah Laut China Selatan, yaitu China, Filipina, Taiwan, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Vietnam. Keadaan memburuk karena masing-masing negara tersebut melakukan klaim sepihak juga atas kawasan ini. Seperti Vietnam yang mengklaim kepemilikan Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly yang pada dasarnya mencakup hampir seluruh wilayah Laut China selatan. Disusul dengan Filipina yang juga mengklaim Sebagian Wilayah Laut China Selatan. Filipina mengklaim bahwa Kepulauan Spratly yang mereka namakan sebagai Kepulauan Kalayan dan beberapa kepulauan di bagian barat Filipina sebagai kawasan teritorinya. Di lain sisi Malaysia dan Brunai mengklaim bagian selatan Laut China Selatan.

Dari berbagai negara yang juga ikut mngklaim kawasan Laut China selatan tersebut, nampaknya China yang paling agresif dalam konflik perebutan ini. Guna memperkuat klaim China atas kawasan Laut China Selatan, China telah membangun fasilitas militernya. China mendirikan kawasan militer di Kepulauan Spratly dan juga menempatkan kapal-kapal perangnya di wilayah perairan ini. Tidak cukup sampai di situ, China juga membuat tiga pulau reklamasi atau pulau buatan yang dilengkapi dengan persenjataan seperti rudal anti pesawat dan anti kapal perang, peralatan laser, dan alat jamming sampai dengan jet tempur. Komandan Armada Militer Amerika Serikat di kawasan Indo-pasifik, Laksamana John C Aquilino mengatakan, bahwa ketiga pulau yang diubah China sebagai markas militer mereka adalah Mischief Reef, Subi Reef, dan Fiery Cross. Upaya pembangunan markas militer oleh China di ketiga pulau tersebut sudah dalam tahap hampir selesai. Tindakan China yang seperti ini tentunya tidak dapat dibenarkan, karena pembangunan markas militer dapat dianggap sebagai ancaman keamanan bagi negara-negara terlibat konflik maupun negara-negara sekitarnya. Negara yang tidak terlibat dalam konflik dapat merasa terancam dari pembangunan markas militer di dekat kawasan negara mereka.

Agresi militer yang dilakukan China di kawasan Laut China Selatan mempengaruh keamanan Indonesia juga. Pasalnya kawasan Laut China selatan juga berdekatan dengan Laut Natuna sebagai kawasan laut Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia mengajak lima negara ASEAN yang terlibat konflik untuk bersatu melawan agresi militer China di Kawasan Laut China Selatan. Indonesia mengambil langkah melalui Badan Keamanan Laut (Bakamla), dengan menyusun strategi melawan agresi ini dengan negara anggota ASEAN yang terlibat dalam konflik di kawasan Laut China Selatan.

Kepala Bakamla Laksamana Madya Aan Kurnia mengajak rekan-rekannya dari Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Filipina, dan Vietnam untuk melakukan pertemuan tatap muka pada Februari 2022. Pertemuan ini membahas solusi terkait negara yang terdampak oleh klaim sepihak China di Kawasan Laut China Selatan. Selain itu, pertemuan ini juga menjadi sebuah bentuk pendekatan dan solidaritas antar-negara-negara yang tergabung dalam ASEAN. Dengan dilakukannya pertemuan ini, diharapkan negara-negara ASEAN yang terdampak dapat mencapai kesepakatan dan juga menyadari bahwa kita memiliki musuh yang sama dalam konflik ini. Tentunya dengan tumpang tindihnya klaim antar-negara-negara ASEAN atas Laut China Selatan, menempatkan posisi mereka yang lemah di hadapan China. Satu-satunya solusi yang harus diambil dari negara-negara ASEAN yang terlibat dalam konflik ini adalah dengan melakukan koalisi militer.

Tak hanya soal kewilayahan dan keamanan, ternyata klaim sepihak dan agresi militer China memiliki dampak pada perekonomian juga. Seperti disebutkan di atas, kawasan Laut China selatan merupakan jalur perdagangan yang krusial di kawasan Asia. Ini menjadikan negara-negara yang tidak terlibat dalam konflik perebutan wilayah Laut China Selatan juga ikut terdampak. Laut China Selatan merupakan jalur perdagangan vital untuk negara Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara di kawasan barat pasifik. Route ini menghubungkan jalur perdangan ke pasar-pasar utama di Amerika dan Eropa. Nilai perdagangan yang melalui jalur ini tidak main-main, sekitar 5 triliun dollar Amerika Serikat melintas melewati kawasan Laut China Selatan. Dengan didirikannya pangkalan militer oleh China di kawasan ini, membuat kekawatiran terkait isu keamanan perdagangan. Negara-negera yang menggunakan jalur ini dalam route perdagangannya kawatir akan terjadinya intervensi China. Karena tidak dapat dipungkiri jika terdapat pangkalan militer yang menyimpan berbagai senjata dan peralatan perang, hal tidak terduga dapat terjadi. Dalam perihal ekonomi, agresi militer seperti ini dilihat sebagai hambatan dalam melakukan perdagangan. Kebanyakan pengusaha tentu tidak mau mengambil resiko terkait pengiriman produk mereka. Yang terjadi adalah penurunan jumlah aktivitas perdagangan internasional di kawasan ini atau bisa juga pengambilan jalur lain sebagai alternatif route perdagangan. Akan tetapi, hal tersebut akan berpengaruh kepada biaya pengiriman yang memberatkan para pengusaha karena akan semakin mahal.

Amerika Serikat sebagi negara yang memiliki jumlah perdagangan cukup besar melintasi kawasan Laut China Selatan mau tidak mau ikut terlibat dalam konflik ini. Menurut laporan The Wall Street Journal, ekspor dan impor Amerika Serikat di kawasan itu saja mencapai 1,2 triliun dollar AS atau seperempat dari total perdagangan yang melintasi jalur ini. Amerika Serikat melakukan berbagai upaya untuk mengakhiri konflik baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung Amerika Serikat memihak Taiwan, dengan mengakui Taiwan sebagi negara yang berdaulat dan merdeka. Dengan begitu Amerika Serikat menentang kebjiakan One China Policy yang juga mengawali klaim China terhadap kawasan Laut China Selatan. Secara tidak langsung, Amerika Serikat juga mendekati negar-negara yang terdampak dari klaim China atas Laut China Selatan. Amerika Serikat mendekati Indonesia pada saat terjadi ketegangan antara Indonesia dan China. Pada waktu itu China meminta Indonesia untuk menghentikan pengeboran minyak di perairan Natuna yang diklaim China juga sebagai bagian dari Laut China Selatan. Namun tentunya Indonesia tidak menggubris. Dari situ China mulai mengirimkan kapal-kapal militer untuk berpatroli di kawasan dekat Natuna. Sebagai respon Indonesia juga mengerahkan personil militernya di daerah ini. Berbagai latihan kemiliteran juga dilakukan. Dari sini Amerika Serikat mendekati Indonesia dengan melakukan latihan militer bersama Indonesia.

Dapat dikatakan, klaim sepihak China merupakan tindakan yang egois. Karena, bukan China saja negara yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan. Klaim sepihak tentu menjadi pemicu konflik di kawasan Laut China Selatan. Apalagi pada kenyataanya pembagian kawasan laut sudah diatur dalam Konvensi Hukum Laut Internasional. Pembagiannya sudah jelas dibagi ke dalam tiga kriteria, yaitu berdasarkan laut territorial 12 mil laut diukur dari garis pangkal kepulauan. Selanjutnya Zona Ekonomi Eksklusif dengan batas 200 mil laut diukur dari garis pangkal laut. Terakir dilihat dari landasan kontinen yang diukur dari garis dasar ke arah laut dengan jarak 200 mil. Jadi sudah jelas China melangar peraturan internasional dengan melakukan klaim sepihak atas wilayah Laut China Selatan.

Terjadinya konflik di wilayah Laut China Selatan sekali lagi telah memecah dunia ke dalam dua pihak. Pihak dari blok timur yang terdiri dari China, Rusia, dan negara-negara sekutunya. Pihak dari blok barat yang terdiri dari Amerika dan Eropa. Adanya pembagian yang seperti ini memiliki potensi untuk terjadi konflik lebih lanjut. Agresi militer China juga sudah direspon oleh negara-negara terkait dengan juga mengirimkan armada militer mereka. Jika sudah berhadapan muka seperti itu, tinggi kemungkinan terjadinya kontak fisik antar pihak-pihak tersebut. Terlebih lagi Amerika juga mengatakan bahwa mereka akan menyatakan perang terhadap China, jika negara ini memutuskan untuk menyerang Taiwan yang juga terlibat dalam perebutan kawasan Laut China Selatan. Melihat panorama hubungan ini tentu menghawatirkan terjadinya perang antar berbagai pihak terkait.

Tentu, kita tidak menginginkan sampai terjadi perang akibat konflik perebutan wilayah ini. Namun negara-negara yang terlibat juga harus melakukan upaya untuk menyelesaikan konflik. Akan tetapi, upaya-upaya pendekatan non-militer harus yang diutamakan dalam menangapi masalah ini. Jangan sampai konflik yang berawal dari perebutan kawasan Laut China Selatan menjadi pemicu terjadinya perang dunia selanjutnya. Ini hanyalah skenario terburuk yang tidak seorang pun harapkan. Perdamain yang telah kita peroleh setelah sekian dekade haruslah tetap dipertahankan. *

Elva Diana

Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional Fisipol UMY.