Komentar Negatif Sosmed Merusak Mental, Dahuni Foundation Luncurkan Gerakan Sosial

Komentar Negatif Sosmed Merusak Mental, Dahuni Foundation Luncurkan Gerakan Sosial

KORANBERNAS.ID, PURBALINGGA -- Dahuni Foundation (DF) beserta tim relawannya meluncurkan sebuah gerakan sosial bertajuk From Insult to Empathy and Empowerment atau From I to E.

Gerakan sosial ini merupakan wujud respons DF terhadap maraknya komentar negatif di sosial media (sosmed). Dampak buruk yang ditimbulkan dari komentar negatif adalah merusak kesehatan mental.

Founder and Director Dahuni Foundation, Riyani Indriyati,  dalam keterangan pers ke koranbernas.id, Minggu (2/8/2020) menerangan, ke depan melalui platform sosial media From I to E , DF akan menyajikan berbagai informasi berupa fakta dan data serta insights berupa pandangan maupun paparan kasus dari para ahli terkait fenomena komentar negatif di sosial media.

“Tidak hanya itu, From I to E juga akan menjadikan kanal sosmednya sebagai platform untuk berbagi atau sharing cerita atau pengalaman menerima komentar negatif saat menggunakan media sosial," ujarnya.

Tepat 15 Juli 2020, Dahuni Foundation menyebarluaskan survei mengenai dampak komentar negatif di sosial media ke berbagai elemen masyarakat di Indonesia. Pada hari penutupan berhasil terkumpul 1.307 respons.

Dahuni Foundation merupakan yayasan amal yang didirikan pada 2012 oleh pasangan suami istri, Riyani Indriyati asli Boyolali dengan Taco Franssen dari Belanda.

Yayasan yang kini berpusat di Houston Amerika Serikat ini  bergerak di bidang pendidikan berupa bantuan beasiswa dan layanan bimbingan. Dalam perkembangannya, Yayasan Dahuni ikut berpartisipasi membantu pendidikan di Thailand, Kamboja dan Indonesia.

Identitas tidak jelas

Menurut Riyani, komentar negatif di sosial media seringkali dijumpai dan dapat dialami pengguna kala berselancar di dunia maya. Dari survei From I to E terungkap, 673 responden atau sekitar 51,49 persen pernah menerima komentar negatif mengandung unsur hinaan, cemooh, kebencian dan perisakan (bullying) yang menimbulkan ketidaknyamanan.

Menariknya, lanjut dia, sebanyak 43,68 persen pemberi komentar negatif adalah orang tidak dikenal. Artinya mereka bukanlah teman dekat, anggota keluarga atau teman kerja, melainkan pengguna sosial media yang identitasnya tidak jelas, tidak terferivikasi bahkan palsu.

Kemudian, sebagian besar (57,06 persen) penerima komentar negatif cenderung memilih tidak merespons. Alasan yang disampaikan beragam, mulai dari malas membalas, menghindari konflik dan menghindari perdebatan.

Hal ini penting ditelaah lebih lanjut guna mengetahui dampak tidak merespons terhadap maraknya budaya berkomentar negatif di sosial media.

“Berangkat dari permasalahan tersebut dan kepedulian kami serta diperkuat dari data survei, kami menyimpulkan salah satu langkah nyata yang menanggulangi dampak komentar negatif di sosial media adalah menggalakkan gerakan sosial,” katanya.

Hal itu didukung 72,61 persen responder survei From I to E yang menyatakan setuju atas perlunya pembentukan gerakan sosial untuk mengedukasi dampak komentar negatif sosmed. (sol)