Konflik Sosial dan Kegelisahan Masyarakat pada Masa Pandemi

Konflik Sosial dan Kegelisahan Masyarakat pada Masa Pandemi

PANDEMI Covid-19 telah berdampak secara sistematik dan multidimensional terhadap seluruh aspek kehidupan. Secara ekonomi, pandemi Covid-19 memberikan dampak pada sektor ekonomi, seperti kolapsnya dunia usaha, kemiskinan, hingga kelaparan. Secara sosial, pandemi Covid-19 juga menimbulkan gejolak konflik yang cukup besar, konflik disharmoni akibat kemiskinan, konflik keagamaan dan peribadatan, bahkan konflik konfontatif akibat kebijakan pemerintah kurang tepat.

Pemerintah telah berupaya mengambil langkah untuk mengantisipasi ancaman yang ditimbulkan dari pandemi Covid-19. Salah satunya melalui stimulus, baik fiskal dan moneter yang dituangkan melalui Perpu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara. Kebijakan ini seperti refocusing program dan realokasi anggaran untuk menangani dampak yang ditimbulkan karena pandemi Covid-19.

Beberapa daerah telah melakukan langkah responsif dan cepat, seperti D. I. Yogyakarta dan Jawa Tengah dengan menggelontorkan BLT (Bantuan Langsung Tunai). Pemerintah Pusat juga telah mengeluarkan kebijakan tentang diskon tarif listrik, menaikkan insentif kartu prakerja, menanggung selisih bunga rumah bersubsidi, menambah dana kartu sembako, hingga keringanan pembayaran kredit.

Potensi Konflik dan Kegelisahan

Banyaknya bantuan bagi masyarakat terdampak Covid-19, secara langsung mampu meringankan beban ekonomi. Hanya saja, di balik pemberian bantuan ini, juga berpotensi menimbulkan konflik. Dahrendorf (1959) berasumsi bahwa setiap masyarakat akan mengikuti proses perubahan melalui pertikaian. Maksudnya adalah kondisi suatu masyarakat terbentuk karena adanya konflik yang di mana memunculkan berbagai respons masyarakat. Masyarakat ini nantinya memberikan kontribusi adanya disintegrasi dan perubahan sosial.

Berkaitan dengan penyaluran bansos (bantuan sosial), rentan menimbulkan konflik horizontal di kalangan masyarakat. Secara horizontal, muncul stigma dan gejolak di kalangan masyarakat. Gejolak ini bisa terjadi apabila bansos yang diberikan tidak tepat sasaran. Tidak menutup kemungkinan, terjadi kecemburuan dan disharmoni antara maysarakat yang berpotensi menimbulkan konflik sosial berkepanjangan. Gejolak bisa berubah secara vertikal, apabila konflik tidak ditangani secara baik. Hal ini karena sebagian masyarakat menuding pemerintah tidak adil dan tidak tepat pada pemberian bantuan tersebut.

Pemerintah Indonesia sejatinya telah mengupayakan agar pemberian bansos bisa tersalurkan secepat mungkin. Hanya saja, seringkali proses pendistribusian bansos ini dinilai lambat. Imbasnya, mengarah pada meningkatnya rasa frustasi dan ketidaktenangan sosial, terlebih di kalangan masyarakat tergolong miskin. Masalah semakin rumit apabila proses ditribusi bansos cenderung tebang pilih.

Pada titik ini, bisa jadi terdapat aktor yang menggunakan kegelisahan dan tindakan antagonistik untuk mencari keuntungan seperti pandangan konflik instrumentalis oleh Bertrand (2008). Sehubungan dengan isu tersebut, S. Indro Tjahyono (pengamat politik) mengatakan “…Di Indonesia bahkan tercium gelagat adanya gerakan politik untuk memanfaatkan serangan virus Covid-19 sebagai momentum melakukan pergantian kekuasaan. Mendorong pelengseran Jokowi…” (Alee, 2020). Di balik pemberian bansos, nyatanya terdapat permainan aktor pada kegelisihan masyarakat yang menggunakan “identitas” etnik. Sehingga, memicu konflik horizontal, seperti yang terjadi di Bangka Belitung.

Solusi dan Penanganan

Berbagai macam problematika ini, sangat diperlukan langkah-langkah yang baik, cerdas, benar, dan bijaksana dari seluruh pihak. Konflik bukan tanggung jawab pemerinah semata-mata. Melainkan, tanggung jawab seluruh pihak yang memiliki tanggung jawab moral. Salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah validitas data penerima bansos. Masalah data penerima seringkali menjadi perhatian dalam penyaluran bansos. Masalah ini mungkin bisa diselesaikan dengan pembicaraan tingkat RW atau kepala desa, agar seluruh warga yang membutuhkan bisa menerima bantuan.

Pemerintah juga bisa melakukan sinkronisasi data penerima bansos antara pusat dan daerah. Hal ini karena penerima bantuan kerap dinamis. Sehingga, persoalan perubahan data sangat memungkinkan terjadi. Misalnya saja, domisili dan perubahan profesi. Oleh karena itu, sinkronisasi skema pemberian bansos diperlukan agar bisa mencegah penerima bansos menerima bantuan lebih dari sekali. Dengan berbagai cara ini, penerima bansos bisa lebih tepat sasaran. **

 

Dewangga Putra Mikola

Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik, FIS, Universitas Negeri Yogyakarta