Korupsi dan Lingkaran Pembiayaan Politik

Korupsi dan Lingkaran Pembiayaan Politik

LAGI, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap 10 orang di Kabupaten Probolinggo pada Senin (30/8/2021). Dalam OTT kali ini, KPK telah mengamankan Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari dan suaminya Hasan Aminuddin. Puput Tantriana menjadi bupati menggantikan suaminya, Hasan Aminuddin, yang saat ini menjadi anggota DPR RI dari Partai Nasdem (periode 2014 – 2019 dan periode 2019 – 2024). Mereka berdua diduga kuat terlibat dalam praktik suap terkait jual beli jabatan di Pemerintah Kabupaten Probolinggo.

Ironisnya, meski saat ini sistem deteksi dini anti fraud dalam sistem pemerintahan daerah kian membaik. Ditambah gencarnya kampanye anti korupsi, tapi tetap saja praktik korupsi suap kian menggurita. Bahkan saban hari, berbagai modus operandi baru kian bermunculan. Terutama dengan cara menjual pengaruh kuasa sang kepala daerah.

Dengan kembali tertangkapnya kepala daerah yang terjerat praktik haram ini, kian membuktikan bahwa lingkaran pembiayaan politik makin terlembaga dengan baik. Artinya, lingkaran pembiayaan politik ini dapat disebut sebagai salah satu penyebab mengapa kepala daerah kerap mengejar pundi-pundi uang dari dana non budgeter.

Pembiayaan politik memang menjadi dilema bagi seorang politisi yang kemudian menjadi kepala daerah. Sebab, biaya politik menjadi hal utama yang harus dipenuhi ketika harus terjun menjadi seorang pekerja politik. Padahal, ketika sang calon tidak memiliki ketercukupan dana, tentulah harus melalukan skema pembiayaan politik dengan mekanisme perjanjian yang disepakati bersama.

Dalam konteks ini, lingkaran pembiayaan politik terbagi atas pra kontestasi maupun pasca kontestasi politik. Pra kontestasi biasanya didahului oleh kontrak dari sponsor-sponsor yang mendukung pencalonan kepala daerah yang ikut menjadi donatur.

Pembiayaan lain saat pra kontestasi juga dikenal dengan mahar politik. Meski mahar politik seringkali dikatakan hanya isu murahan, tapi tradisi ini selalu tetap banyak ditemukan dan acapkali ditutupi agar partai politik pengusung tidak terkena imbasnya di hadapan publik.

Masih di seputaran pra kontestasi, era kekinian juga dikenal adanya relawan politik atau jelmaan dari tim sukses kandidat politik. Sama halnya dengan donatur, simpul relawan politik, juga biasanya akan cenderung memiliki konsekuensi politik balas budi. Artinya, ketika seorang kandidat politik terpilih kelak, biasanya simpul relawan politik cenderung meminta jatah-jatah proyek yang bisa digunakan para simpul relawan politik untuk bertahan hidup.

Lingkaran pembiayaan politik kedua yakni pasca kontestasi. Ketika terpilih nanti, banyak kepala daerah yang berupaya mempertahankan diri agar tetap terpandang, merakyat, hingga disegani oleh rakyatnya. Tentulah sang kepala daerah akan berupaya memperluas jejaring dukungan dan memperbaiki pencitraan diri di hadapan rakyatnya.

Upaya memperluas jejaring dukungan, membuat seorang kepala daerah akan berupaya membangun pengaruh yang kuat dengan partai politik pendukung maupun pihak oposisi di wilayah setempat. Di sinilah kemudian politik transaksional kerap bermain. Sebab, tidak ada yang gratisan dalam dunia politik.

Tujuan utama memperkuat jejaring kekuasaan adalah untuk mempersempit ruang gerak para pengkritik maupun pihak-pihak yang vokal terhadap kepemimpinan sang kepala daerah. Perluasan jejaring kuasa inilah yang seringkali menimbulkan model kartel politik yang dampaknya bisa pada praktik korupsi berjamaah.

Lebih lanjut, era kekinian, sang kepala daerah juga ingin terus memperbaiki citranya agar tetap tampil menawan di depan rakyatnya. Para kepala daerah seperti ini akan memanfaatkan ranah digital untuk terus memoles dirinya. Di sinilah tim media sosial yang bermaterikan, para buzzer hingga influencer bekerja keras untuk bisa memperindah citra dirinya sebaik mungkin. Bahkan, suara-suara sumbang, bisa diredam oleh tim media sosial yang telah ditugasi layaknya tim cyber army.

Baik pra maupun pasca kontestasi, tentu sangat membutuhkan dana yang tidak sedikit. Bila harus merogoh kocek sendiri tentulah tidak mencukupi. Sehingga pada akhirnya sang kepala daerah berupaya mencari skema lain untuk bisa mendapatkan segepok dana untuk menutupi besarnya kebutuhan biaya politik. Dengan demikian, inilah yang membuat banyak kepala daerah menggunakan pembiayaan lewat donatur yang tentunya harus tetap dikembalikan sesuai tenggat waktu.

Praktik seperti inilah yang menjadi salah satu faktor penekan (pressure) yang kemudian membuat banyak kepala daerah harus terjerembab lagi dalam lingkaran korupsi politik. Praktik tersebut selaras dengan teori fraud pentagon (Horwart, 2012) yang menyatakan salah satu faktor penyebab mengapa seseorang melakukan tindakan korupsi adalah faktor tekanan (Pressure). Selain faktor lainnya seperti, kesempatan, rasionalisasi, kompetensi, dan arogansi.

Dengan demikian, inilah yang menyebabkan mengapa lingkaran pembiayaan politik sulit diputus. Bahkan lingkaran pembiayaan politik ini justru kian mengunci ketika sang kepala daerah berupaya mewarisi tampuk kekuasaan kepada kerabat terdekatnya.

Langkah paling rasional dalam memutus lingkaran ini adalah dengan terus mempertegas kampanye anti korupsi dan memperkuat sepak terjang lembaga anti rasuah seperti KPK. Dengan penguatan kampanye dan penindakan yang tidak tebang pilih, dapat menjadi peringatan dini bagi kepala daerah untuk berpikir terlebih dahulu, sebelum melakukan praktik korupsi suap di wilayahnya (*)

Bambang Arianto

Peneliti Institute for Digital Democracy (IDD)