Krisis Kepercayaan Publik Menerpa

Krisis Kepercayaan Publik Menerpa

KEKECEWAAN rakyat terhadap kebijakan pemerintahan (dalam arti luas), yang dilakukan berulang kali, berujung pada krisis kepercayaan. Krisis kepercaayan ini memiliki implikasi buruk karena berangkat dari premis semua yang dilakukan oleh pemerintah salah, elitis, merugikan rakyat, dan politis, sampai dapat dibuktikan yang sebaliknya. Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah selalu dicurigai sebagai upaya untuk membohongi rakyat, sebaik apapun kebijakan itu menurut pemerintah, publik selalu melihatnya dari sisi negatif. Realitas ini muncul karena kepercayaan, hal yang menjadi pangkal dasar relasi rakyat dan penguasa, telah hilang.

Pemerintah jika kita konkretisasi menjadi cabang-cabang kekuasaan, yang akan menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini setidaknya adalah lembaga Presiden, DPR, KPK, dan MK. Keempat lembaga tersebut memiliki posisi kunci dalam cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Pertama, Presiden; pada periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi, mayoritas publik masih memiliki kepercayaan tinggi pada Presiden, baik dari aspek penegakan hukum, peningkatan ekonomi, maupun pembangunan sarana prasarana umum. Pada Pemilu 2019, Presiden Jokowi menang mutlak atas lawannya sekalipun “diserang” dengan isu agama. Memasuki babak baru tahun 2020, kepercayaan itu mulai memudar, puncaknya pada saat Presiden menyetujui UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan menunjuk beberapa pimpinan KPK yang sejak semula dinilai bermasalah oleh publik. Kebijakan ini dinilai sebagai rendahnya komitmen Presiden Jokowi dalam upaya pemberantasan korupsi. Implikasinya, Presiden mulai kehilangan kepercayaan dari pendukung ‘rasional’-nya. Penulis menggunakan istilah pendukung rasional, karena ada pula pendukung Presiden Jokowi yang bersikap tidak objektif, menganggap Presiden adalah individu Maha benar yang tidak mungkin melakukan kesalahan. Krisis kepercayaan itu semakin hari semakin buruk, terlebih setelah Presiden menyetujui UU Mahkamah Konstitusi dan Omnibus Law, yang keduanya tengah diuji di Mahkamah Konstitusi saat ini. Wong cilik, yang merupakan simpatisan setia PDIP, partai pengusung Presiden Jokowi, turut menolak dikeluarkannya UU ini.

Kedua, DPR; banyak pihak menyesalkan Amandemen UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan porsi kewenangan terlalu besar kepada DPR. Penguatan fungsi parlemen di negara berkembang berperan penting sebagai motor penggerak check and balances kekuasaan eksekutif. Hal ini karena didukung oleh mesin penggerak partai yang memadai. Sayangnya, di banyak negara berkembang replika atas sistem ini tidak berhasil. Penguatan fungsi parlemen justeru memunculkan banyak masalah baru yang jauh lebih merepotkan, selain karena masih rendahnya pendidikan politik juga tidak bekerjanya mesin partai, baik dalam mencetak kader-kader berkualitas maupun dalam memperjuangkan ideologi partai. Masuknya lebih dari 80% suara partai politik menjadi koalisi pemerintah, sudah cukup menjadi bukti nyata hilangnya peran dan fungsi parlemen. Realitas di atas menjadi sebab, mengapa DPR telah kehilangan kepercayaan publik, bahkan sejak lama.

Ketiga, Komisi Pemberantasan Korupsi; KPK menjadi motor penggerak reformasi dari aspek penegakan hukum. Salah satu borok akut orde baru adalah maraknya praktek KKN pada semua lini pemerintahan. Lahirlah KPK yang sejak berdirinya hingga tahun 2019 lalu, menjadi lembaga nomor wahid dalam hal kepercayaan publik. Seburuk apapun kepercayaan publik pada lembaga penegak hukum (MA, Kejaksaan, dan Kepolisian), namun harapan masih ada karena KPK tetap kokoh berdiri di garda terdepan pemberantasan korupsi. Sayangnya, sejak disahkannya UU Nomor 19 Tahun 2019, KPK telah ditempatkan pada posisi paling nadir dalam sejarah KPK. UU ini tidak saja menarik banyak kewenangan KPK, namun juga membentuk lembaga baru “di atas” KPK, yang cukup menyulitkan KPK menjalankan tugas-tugasnya. Situasi ini semakin diperburuk oleh citra pimpinan KPK yang dinilai memiliki rekam jejak buruk dalam pemberantasan korupsi. Beberapa pimpinan bahkan telah berulang kali melakukan pelanggaran etik. Maka tidak heran jika banyak pihak yang menyuarakan pembubaran KPK, bahkan beberapa waktu lalu, puluhan pegawai KPK mengundurkan diri karena merasa sudah tidak cocok dengan iklim dalam tubuh KPK.

Keempat, Mahkamah Konstitusi; dengan sederet julukan sebagai pelindung konstitusi dan pelindung hak asasi manusia, Mahkamah Konstitusi memiliki peranan sentral pasca berdirinya tahun 2003 lalu. Kewenangan MK membatalkan UU yang dinilai bertentangan dengan UUD adalah langkah progresif yang dilahirkan oleh reformasi. Memang tidak sedikit UU yang pembuatannya maupun substansinya bermasalah. Hingga tahun 2019 saja lebih dari 245 UU telah diuji oleh MK. Namun, pelanggaran etik yang dilakukan berulang kali oleh pimpinan MK beberapa waktu lalu, dan rendahnya kualitas putusan MK belakangan ini, berimbas pada turunnya kepercayaan publik terhadap MK. Beberapa waktu lalu sempat beredar istilah 5:4 atau 6:3, terkait dengan keberpihakan hakim MK terhadap perkara yang ditanganinya. Bahkan saat ini, banyak organisasi masyarakat sipil yang memposisikan MK sebagai bagian dari kekuasaan, yang sudah tidak relevan dijadikan sebagai instrumen memperjuangkan kepentingan rakyat. ***

Dr. Despan Heryansyah, SHI., SH., MH.

Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII Yogyakarta.