Malioboro Menuju Warisan Budaya Dunia, Pertimbangkan Keadilan dan Kenyamanan Hidup

Malioboro Menuju Warisan Budaya Dunia, Pertimbangkan Keadilan dan Kenyamanan Hidup

KORANBERNAS ID, YOGYAKARTA -- Sumbu imajiner Keraton Yogyakarta yang penuh filosofi ini kini menuju warisan budaya dunia. Usulan sudah dilakukan ke Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui UNESCO sejak 2019. Sumbu imajiner atau bentang garis dari Laut Selatan, Panggung Krapyak, Keraton Yogyakarta, Malioboro, Tugu Yogyakarta hingga Gunung Merapi merupakan tata ruang Yogyakarta yang dirancang oleh pendiri Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I.

Selain itu, sumbu imajiner atau juga merupakan sumbu filosofi ini melambangkan konsep Manunggaling Kawula Gusti yang memiliki filosofi keselarasan, keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan jagat seisinya.

Banyak pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh Pemerinta Daerah Istimewa Yogyakarta dan masyarakat dalam menyongsong diakuinya sumbu imajiner sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda oleh UNESCO.

Usai mempercantik kawasan pedestrian dari Nol Kilometer dan Malioboro, revitalisasi kawasan Tugu Pal Putih, kini pembenahan kawasan yang bersinggungan dengan sumbu imajiner tersebut terus dilakukan.

Wacana merelokasi Pedagang Kaki Lima Malioboro pun secara bertahap dikaji. Pemerintah Provinsi DIY mempersiapkan beberapa tempat baru yang dapat digunakan sebagai pengganti menggelar dagangan pedagang kaki lima yang sebelumnya memenuhi emperan toko di sisi timur dan barat kawasan Malioboro. Kedua tempat tersebut adalah bekas Bioskop Indra dan Eks Dinas Pariwisata DIY.

“Malioboro bukan hanya milik pemilik toko atau PKL yang ada di kawasan tersebut, tetapi milik seluruh masyarakat Jogja atau bahkan masyarakat di luar Jogja yang juga merasa memiliki," terang Dian Lakshmi Pratiwi, Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Daerah Istimewa Yogyakarta saat dihubungi, Sabtu (3/12/2021).

“Maka keadilan dan kenyamanan hidup yang kemudian terjadi di kawasan Malioboro inilah yang kemudian menjadi pertimbangan-pertimbangan besar kami. Masyarakat luas juga memiliki hak yang sama untuk mengapresiasi kawasan Malioboro, jadi konsekuensi-konsekuensi yang nanti akan muncul itu memang juga akan kita siapkan mitigasinya dengan implementasi yang juga bertahap," tambahnya.

Malioboro sebagai bagian dari kawasan cagar budaya Keraton Yogyakarta itu sebenarnya sama dengan beberapa kawasan cagar budaya lain. Namun banyak stakeholders serta pemangku kepentingan yang kemudian punya kepentingan di sana. Sudah banyak upaya-upaya yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan untuk meningkatkan value kawasan Malioboro bahkan mulai dari Titik Nol.

Penataan ini memang masih ada pro dan kontra, lanjut Dian, tahapan-tahapan untuk menuju ke arah yang lebih tertata ini memang tidak dalam jangka waktu yang pendek. Karena berangkat dari nilai penting itu tidak semata-mata secara fisik akan mengubah tatanan yang ada, tetapi tatanan yang baru ini akan lebih mengutamakan pada satu kearifan lokal, keadilan dan kenyamanan hidup, kehidupan dan penghidupan semua pelaku usaha dan masyarakat luas yang biasanya mengapresiasi kawasan Malioboro.

Nah kalau masalah image kemudian memori kolektif, kemudian beserta konteks makna nilai kehidupan di Malioboro itu tidak akan dihilangkan, hanya akan secara bertahap dikuatkan kembali melalui penataan-penataan yang berbasis pada kearifan lokal. Yaitu kearifan warisan budayanya, baik tangible maupun intangible," lanjutnya.

Menurut dia, keadilan bersama antara pemilik toko dengan PKL dengan masyarakat pengguna dan pengapresiasi Malioboro akan terjadi kenyamanan bersama. “Kira-kira seperti itu, tapi kalau (akibatnya) ini ada perpindahan dan layanan, ini kan sebenarnya hanya tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk proses ke arah yang lebih baik," ujarnya. (adv)