Manajemen Sanitasi Lingkungan untuk Melawan Leptospirosis

Manajemen Sanitasi Lingkungan untuk Melawan Leptospirosis

LEPTOSPIROSIS adalah penyakit akibat infeksi bakteri leptospira yang menular dari hewan ke manusia (zoonosis). Bakteri leptospira mampu hidup pada tanah yang panas dan lembab, serta dapat bertahan hidup kurang lebih 43 hari pada kondisi lingkungan yang sesuai. Reservoir (pembawa bakteri ke tubuh manusia) dari bakteri leptospira antara lain tikus, cecurut, landak dan binatang ternak seperti babi, domba, kambing, kerbau, sapi, kuda serta anjing.

Manusia mengalami infeksi bakteri leptospira apabila mengalami kontak langsung dengan air, tanah atau lumpur yang telah tercemar oleh bakteri melalui urin dari hewan reservoir. Kemudian penderita leptospirosis akan mengalami gejala–gejala penyakit seperti demam tinggi, menggigil, sakit kepala, muntah, diare, nyeri perut, bintik merah pada kulit, mata berwarna merah, nyeri otot betis, dan air kencing berwarna coklat.

Pada umumnya pekerjaan yang berhubungan dengan tanah dan air seperti petani, pekerja kebun, nelayan dan sebagainya lebih rentan terserang penyakit leptospirosis. Hal tersebut dapat terjadi karena sawah yang umumnya lebih sering tergenang oleh air memiliki kondisi cenderung lembab, sehingga kondisi tersebut cocok untuk pertumbuhan leptospira.

Dari data yang diperoleh, 50,9% wilayah Klaten adalah daerah persawahan dan sebagian besar penduduknya bekerja sebagai petani, mengalami peningkatan kasus penyakit leptospirosis dari tahun 2015–2018. Jumlah kasus leptospirosis pada tahun 2015 adalah 26 kasus, 2016 ada 39 kasus dengan 5 kematian, 2017 ada 45 kasus dan pada tahun 2018 ada 66 kasus dengan 9 kematian.

Penularan penyakit leptospirosis dapat dicegah apabila masyarakat memiliki pengetahuan dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Selain itu, timbulnya kasus leptospirosis berhubungan dengan kondisi lingkungan yang buruk, seperti lingkungan yang berair atau berlumpur. Ditambah lagi penyakit leptospirosis yang sebagain besar menyerang petani disebabkan karena pekerja di sawah tidak menggunakan APD (alat pelindung diri), sehingga bakteri akan mudah masuk ke dalam tubuh melalui luka, serta karena rendahnya kesadaran masyarakat untuk menjaga sanitasi diri sendiri dan lingkungan.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa faktor risiko dari penyakit leptospirosis di Klaten memiliki hubungan antara pekerjaan penduduk yang berhubungan dengan air, tanah atau lumpur, selain itu didukung dengan kondisi lingkungan yang tidak saniter dan kurangnya pengetahuan dari masyarakat sendiri. Dengan demikian diperlukan langkah–langkah untuk mengurangi peningkatan kasus leptospirosis di Klaten. Salah satu langkah tersebut dengan meningkatkan pengetahuan tentang manajemen sanitasi lingkungan.

Upaya peningkatan manajemen sanitasi lingkungan yang paling penting yaitu meningkatan pengetahuan masyarakat tentang PHBS. Bila penduduk mempunyai pengetahuan yang baik tentang suatu penyakit, maka kemungkinan besar mereka mampu mencegah terjadinya penyakit tersebut. Selain itu, kurangnya pengetahuan mengenai leptospirosis menyebabkan masyarakat tidak bisa melakukan tindakan pencegahan agar tidak terinfeksi oleh bakteri leptospirosis.

Peningkatan pengetahuan masyarakat tentang leptospirosis secara tidak langsung dapat mempengaruhi kondisi lingkungan, karena pengetahuan yang cukup menyebabkan adanya perilaku menjaga lingkungan agar tetap bersih, sehingga dapat mencegah leptospirosis. Perilaku yang dapat diterapkan untuk mencegah penularan penyakit leptospirosis yaitu menggunakan racun tikus, menutup akses tikus menuju rumah, menutup lubang-lubang jalan tikus, menggunakan perangkap tikus, tidak menumpuk sampah yang memungkinkan menjadi habitat bagi tikus, menutup makanan dan sumber air untuk meminimalisir terjadinya kontaminasi. Bekerja di sawah dengan menggunakan APD, membiasakan mencuci tangan dan kaki dengan sabun setelah beraktivitas di luar rumah, untuk menurunkan potensi terjadinya penularan bakteri leptospira. Sedangkan upaya yang dapat dilakukan untuk menerapkan PHBS yaitu dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat serta menyebar leaflet, poster dan baliho.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa penurunan kasus leptospirosis dapat dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang PHBS, agar tercipta peningkatan kualitas lingkungan pemukiman, kualitas rumah dan diri sendiri. **

Ester Oktaviana Iswuryani

Mahasiswa Fakultas Bioteknologi Universitas Kristen Duta Wacana