Mantan Kajari Ajak Warga DIY Mengingat Sejarah, Jepang Bangkit karena Guru

Mantan Kajari Ajak Warga DIY Mengingat Sejarah, Jepang Bangkit karena Guru

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA – Bom atom yang dijatuhkan Amerika Serikat (AS) di kota Hiroshima dan Nagasaki pada tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, membuat Jepang hancur lebur.

Bagi mantan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Yogyakarta, Kardi SH, peristiwa yang dikenang seluruh dunia itu tidak ada salahnya diingat kembali. Sejarah adalah guru yang terbaik. Belajar dari pengalaman sejarah, Jepang yang sempat jatuh ke titik nadir mampu bangkit kembali secara cepat hingga menjadi negara maju seperti sekarang, karena peran jasa dan guru. “Jepang bangkit karena peran guru,” ungkapnya saat berbincang dengan wartawan di Kotagede Yogyakarta, Senin (8/8/2022).

Merujuk catatan sejarah, begitu Jepang kalah pada Perang Dunia II melawan AS, Kaisar Hirohito menggerakkan guru-guru yang selamat dari peperangan. Bagi seorang pemimpin, guru ternyata memiliki kekuatan melebihi pasukan bersenjata.

Mewakili rekan-rekannya dari Forum Masyarakat Peduli Pendidikan, Menurut Kardi, sudah sepantasnya seorang guru memperoleh kedudukan yang sangat dihormati lagi mulia. Baginya, pahlawan tanpa tanda jasa itu layak memperoleh penghargaan. Di pundak guru, tempat bergantung masa depan bangsa dan negara Indonesia.

Bertepatan dengan momentum HUT ke-77 RI serta belajar dari kesuksesan Negeri Matahari Terbit bangkit menjadi salah satu negara maju di dunia, Kardi yang pernah menjadi Kajari Lahat Sumatera Selatan, Kajari Sukoharjo, Asisten Pengawasan Kejati DKI Jakarta, Plt Kajari Jakarta Timur dan Plt Kajari Jakarta Utara ini, mengajak warga dan seluruh elemen masyarakat di Kota Pelajar Yogyakarta merenungkan kembali makna dan arti penting keberadaan guru bagi bangsa dan negara.

Kardi merasa prihatin atas munculnya polemik jilbab pada salah satu sekolah di Kabupaten Bantul. Dari kacamata hukum, tugas seorang guru dinaungi oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional atau Sisdiknas.

Dia kemudian menyebutkan pasal-pasal UU tersebut, di dalam konsideran huruf b secara tegas disebutkan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

Begitu pula pada Pasal 1 ayat 1 UU Sisdiknas disebutkan,  Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Lebih jelas lagi, lanjut Kardi, pada pasal 3 UU Sisdiknas disebutkan, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwakepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Hal yang sama ditegaskan lagi di dalam Pasal 4 ayat 1, Pasal dan Pasal 37 UU Sisdiknas. “Artinya guru yang memerintahkan dan membimbing murid atau siswi cara untuk memakai pakaian muslimah bagi siswa yang mengaku muslimah itu adalah dalam rangka menerapkan UU Sisdiknas. Jadi, tidak ada ketentuan hukum yang dilanggar,” kata Kardi.

Saling bermaafan

Melalui pernyataan pers, Wakil Ketua DPRD DIY, Huda Tri Yudiana, menegaskan solusi polemik jilbab sebaiknya dimulai dengan saling bermaafan. “Saya berharap antara bapak ibu guru dengan siswi dan orang tua wali masing masing bisa saling bermaafan atas semua yang sudah terjadi,” ujarnya.

Menurut dia, tidak ada yang salah dari bermaafan dan saling menyambung silaturahim. Ini adalah budaya yang adiluhung dan dianjurkan semua agama.

Tidak ada salahnya bila seorang guru atau kepala sekolah minta maaf kepada muridnya atau orang tua. Dengan guru minta maaf berarti mengajarkan sifat ksatria pada muridnya.

Sebaliknya, sangat mulia jika seorang siswa atau orang tua meminta maaf pada gurunya. Sikap menghormat pada orang yang lebih tua, apalagi kepada gurunya adalah sikap yang baik, karena bagaimana pun guru mengajarkan ilmu yang bermanfaat.

“Tidak ada mantan guru bagi seorang siswa. Harapan saya dengan saling bermaafan akan mendinginkan suasana dan lebih mudah fokus pada solusi permasalahan. Apalagi warga Yogyakarta sangat menjunjung budaya luhur dan toleransi,” kata dia.

Dia khawatir, apabila mengorek kesalahan sampai sangat detail satu per satu apalagi dalam permasalahan yang cukup sensitif, hal itu bisa memancing polemik panjang dan melebar. Kalau perbedaan yang ditonjolkan tentu akan meruncingkan permasalahan. Jangan sampai itu terjadi.

“Saya juga khawatir jika polemik ini semakin runcing akan berakibat negatif bagi siswa, karena tentu ada tekanan batin karena masalahnya membesar. Bagi guru dan dunia pendidikan, saya juga khawatir akan menimbulkan ketakutan massal, karena jika ada kesalahan sedikit saja akan dipermasalahkan sedemikian besar,” jelasnya.

Solusi masalah ini perlu dipercayakan kepada Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY. “Saya berharap Disdikpora bisa segera menyelesaikan masalah ini dimulai dari memfasilitasi pertemuan, rekonsiliasi dan saling memaafkan ini. Sekaligus memberikan solusi terbaik, karena ini memang tupoksi Dinas Dikpora,” tandasnya. (*)