Masyarakat Awam Perlu Payung Hukum Cek Fakta

Masyarakat Awam Perlu Payung Hukum Cek Fakta

KORANBERNAS.ID, YOGYAKARTA -- Hantaman badai informasi seiring canggihnya cara berkomunikasi masyarakat dunia, mau tidak mau mengharuskan setiap orang untuk lebih hati-hati menyerap informasi. Di tengah rendahnya literasi digital saat ini, banyak celah yang bisa dimanfaatkan oleh oknum penyebar hoaks di dunia internet.

Di Indonesia, informasi yang tidak benar atau hoaks ini begitu masif saat pemilihan kepala negara pada 2019 silam. Selain itu, pandemi Covid-19 dan program vaksinasi nasional juga menjadi lahan empuk bagi penyebar hoaks.

Paham dan mengerti dunia digital atau literasi digital penting untuk mengetahui kebenaran sebuah informasi. Pengecekan kebenaran sebelum dibagikan ulang, menjadi hal yang mendasar bagi jurnalis. Namun bagi orang awam, perlu payung hukum untuk melindungi mereka dalam melakukan pengecekan fakta.

"Pasalnya, bagi orang awam belum ada undang-undang atau perlindungan hukum bagi mereka dalam melakukan cek fakta. Ini berbeda dengan jurnalis yang sudah memiliki payung hukum," terang Eko Juniarto, Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), pada webinar Memperkuat Kegiatan Fact Checker di Indonesia, Senin (28/3/2022).

"Hal ini rentan bagi masyarakat umum untuk diserang secara hukum oleh oknum atau instansi tertentu yang tidak senang dengan upaya masyarakat umum untuk mengungkapkan kebenaran," lanjutnya.

Terlebih, Eko melanjutkan,UU ITE yang memungkinkan pihak berwajib untuk melakukan penangkapan langsung kepada masyarakat yang dilaporkan menggunakan pelanggaran pasal tersebut.

"Pasal pencemaran nama baik diperparah dengan adanya UU ITE. Hukumannya itu cukup tinggi, baik denda maupun ancaman penjaranya, sehingga itu memperbolehkan polisi untuk langsung menahan orang dan itu sering disalahgunakan," terangnya.

"Meskipun pada akhirnya terbukti tidak bersalah, tapi ini sudah merugikan masyarakat. Sementara saat ini masyarakat harus menjadikan agen cek fakta digital yang ikut memantau informasi keliru sekaligus menyebarkan informasi dan fakta yang benar," katanya.

Eko melanjutkan, para pemeriksa fakta juga diharapkan tidak lagi hanya melakukan debunk (menyanggah-red) saja, tetapi juga berpartisipasi dalam upaya predebunk terhadap informasi yang berpotensi akan munculnya miss informasi.

"Misal melakukan upaya kolaborasi membangun konten edukasi sehingga bisa memunculkan dampak yang bisa jauh dari hoaks. Upaya periksa fakta pun harus bekerja dengan tokoh masyarakat atau tokoh agama setempat agar dampak jangkauan konten verifikasi lebih luas," lanjutnya.

"Inilah tantangan eksternal seperti pemeriksa fakta yang sangat mungkin akan dimusuhi oleh pihak-pihak yang tidak suka. Perlu upaya bersama untuk memastikan supaya tidak ada kriminalitas maupun serangan terhadap pemeriksaan fakta," tutupnya.

Sementara itu, Esther Chan, jurnalis dan editor di APAC/ANZ menambahkan, cek fakta merupakan bidang yang sangat penting dalam jurnalisme. Karena ini terkait dengan kepentingan dan kebaikan masyarakat.

"Ada banyak sekali organisasi atau lembaga yang membawakan berita itu tidak hanya memperhatikan aspek bisnis saja, tetapi ada kepentingan untuk mengembangkan pengetahuan masyarakat," ujarnya.

"Mereka membuat kelompok cek fakta ini dengan salah satu misi untuk melindungi masyarakat dari informasi yang sangat merugikan," imbuhnya.

Esther mencontohkan, begitu banyak video-video palsu yang beredar saat Rusia dan Ukraina sedang dalam masa krisis. Di sini fungsi cek fakta harus lebih cepat melakukan debunking karena menyangkut banyak nyawa umat manusia.

"Karena tidak sedikit konten-konten digital tersebut telah keluar dari konteks sesungguhnya," lanjutnya.

"Tugas masyarakat pengecek fakta harus memverifikasi dan melakukan debunk sesegera mungkin. Walaupun kita tidak tahu jawaban akhirnya atau berita palsu itu dari mana, tapi kita bisa memberikan informasi bahwa ini adalah informasi yang tidak benar, agar orang memahami bahwa berita ini tidak relevan pada perang yang terjadi," tutupnya. (*)