Mati Rasa Dunia Perpolitikan, Benarkah?

Mati Rasa Dunia Perpolitikan, Benarkah?

ISU kudeta di tubuh Partai Demokrat mencuat. Presiden, mantan presiden, menteri, mantan menteri dan sejumlah elit politik terlibat di dalamnya. Melihat karut-marut dunia perpolitikan itu, Abu Nawas cuma bergumam “Kok tidak malu ya. Apakah mereka sudah mati rasa?”

Gumaman itu terkesan sarkastis. Memunculkan aroma tak sedap. Dapat diduga, Abu Nawas kecewa terhadap situasi negara. Utamanya perilaku elit-elit politik. Dalam alur kewarasan nalarnya, mestinya, situasi apapun yang melanda kehidupan bernegara, didialogkan. Sejawat, para sesepuh, para pakar, semuanya didengar pendapatnya. Merekalah sosok begawan. Wening pikiré. Ombo wawasané. Pada merekalah obat penawar penyakit kebangsaan berada. Asupan gizi spiritual diperlukan demi terjaganya stabilitas temperatur batin.

Dalam perspektif filosofis dan konstitutif, Indonesia adalah negara hukum. Bukan negara kekuasaan. Bukan pula negara kekuatan. Begitulah kesepakatan bangsa yang telah terpateri dalam UUD 1945.

Benang merah dari penalaran di atas, bahwa kudeta partai politik, sebagai bentuk main kuasa ala penjajah, mesti ditabukan. Bukankah martabat semua partai politik sama?!. Tidak boleh ada diskriminasi maupun penindasan. Penjajahan maupun kudeta adalah perilaku zalim. Bertentangan dengan nilai-nilai keadaban, persatuan, dan keadilan. Sebaliknya, musyawarah-dialogis, adalah wujud nyata demokrasi. Hak semua warga negara, mesti dihargai eksistensi dan fungsinya. Interaksi saling hormat-menghormati antara semua komponen bangsa, mesti terjalin. Segalanya, demi kehidupan bernegara yang damai, maju, dan bermartabat.

Bila di antara komponen bangsa, lebih-lebih penguasa, ada yang lupa komitmen kebangsaan, kiranya patut diingatkan. Setelah ingat, mestinya, segera bergegas kembali ke ranah kebenaran. Jangan nekat. Jangan terus sesat. Jangan berkhianat. Ini persoalan mendasar. Persoalan akhlak. Persoalan rasa. Perlu pembenahan serius.

Penyelenggara negara maupun warga negara, dalam berpolitik tidak boleh mati rasa. Unsur rasa, merupakan salah satu unsur kemanusiaan penting. Keberadaan dan fungsinya amat signifikan. Hanya dengan rasa, negara hukum ini akan dapat melahirkan keadilan. Terbebaskan dari kezaliman.

Keadilan, bukan sekadar urusan kekuasaaan, kekuatan, dan rasio belaka. Keadilan sarat dengan unsur rasa. Ambil contoh: dalam lingkup keluarga, orang tua dipandang bijak dan mampu berbuat adil terhadap anak-anaknya, ketika apa yang diberikannya bukan sekadar materi, melainkan mencakup perhatian dan kasih-sayang. Kasih sayang itu bagian dari unsur rasa.

Dalam lingkup bernegara, unsur pemerintah, kiranya sepadan dengan kedudukan orang tua dalam keluarga. Dalam persoalan serumit apapun, unsur materi, kepedulian, dan kasih sayang mesti menjadi perhatian bersama. Jangan sok kuasa. Jangan diskriminasi. Jangan bang cindé bang siladan. Partai politik tertentu digendong dengan kain sutera, sementara partai politik lain digendong dengan kain kasar. Bahkan dizalimi.

Bila di antara partai politik ada yang dianaktirikan, hal demikian isyarat ada sesuatu masalah serius. Gejolak atau perlawanan pasti muncul. Semisal cacing, bila dinjak pasti bergeliat. Perlawanan demikian, tidak muncul tiba-tiba. Segalanya ada sebab-musababnya. Artinya, instropeksi pada pemerintah selaku pembina semua partai politik, menjadi penting. Sungguh malu, bila pemerintah diprotes berbagai pihak karena dipandang bersikap diskriminatif. Alangkah naif, bila kritik, saran, masukan hingga protes, direspons dengan pembungkaman, penangkapan, dan tindak kekerasan. Bila itu terjadi, sungguh hal demikian tanda-tanda nyata mati rasa.

Negara hukum sebagai jagat ketertiban, senantiasa menggambarkan kehidupan bersama atau potret jaringan kompleks antarberbagai komunitas di dalamnya (Rahardjo, 2000). Semua pihak hanya bisa hidup nyaman bila mampu menerima kehadiran komunitas lain. Kemajemukan komunitas merupakan sunatullah, sekaligus basis ketertiban. Ketertiban hukum dan keadilan, hanya ada, bila semua pihak mau menerima kemajemukan dengan lila legawa. Demikian juga, ketertiban politik, ekonomi, sosial-budaya, dan lainnya, senantiasa berlayar dan beroperasi di lautan kemajemukan komunitas yang luas. Kadang tenang, kadang oleng ketika diterpa badai. Sang nakoda bertanggung jawab terhadap keselamatan seluruh penumpang.

Sejarah panjang kehidupan umat manusia, para penguasa, dan negara-negara terdahulu, menunjukkan bahwa kekuatan fisik, dorongan nafsu duniawi, kekuasaan formal, cenderung merebut hegemoni kehidupan. Tetapi perlu disadari, bahwa banyak bukti empiris, kegagalan, suul khatimah, senantiasa merupakan bagian tak terpisahkan. Tinggallah puing-puing kenangan penguasa-penguasa zalim, terpahat di dinding peradaban bangsa.

Aliran positivisme, bergandengan tangan dengan kapitalisme, tak henti-hentinya bersuara keras, bahwa:  “Hukum agama, hukum adat, tradisi, budaya, hanya boleh hidup sepanjang diakui dan diizinkan berlaku oleh penguasa negara”. Pernyataan demikian, sarat dengan kecongkakan. Padahal, senyatanya, berlakunya ungkapan demikian tidak serta-merta menumbuhkan kekuatan hukum absolut (legitimacy). Dipastikan ada dan terjadi, adu kekuatan (power relations), antara kekuatan komunitas nonformal versus kekuatan negara.

Selama ini, komunitas negara seakan selalu menjadi pemenangnya. Rakyat tertentu dihadapi sebagai lawan. “Negara tidak boleh kalah”, katanya. Dengan dukungan partai koalisi, oligarki, dan aparat keamanan, menjadikan konstruksi negara sedemikian kuat. Kedaulatan hukum dan politik bisa dikontruksi sedemikian rupa, sejak pembuatan, pelaksanaan, hingga penegakannya. Muncul pertanyaan, inikah negara hukum substantif yang diinginkan founding fathers? Akankah hukum di negeri ini dibiarkan tertatih-tatih mengikuti kekuasaan?

Fukuyama (1999) berusaha untuk menyelami perihal jagat ketertiban, yang dinilainya cenderung sarat penindasan. Dibukalah tabir ketertiban (order) maupun ketidaktertiban (disorder). Bertolak dari sumber hukum negara, nyatalah, sumber-sumber hukum itu bermacam-macam. Pada negara modern, paling dominan adalah berupa kekuasaan sentralistis. Dalam pada itu, sumber-sumber hukum lainnya, terpinggirkan.

Kenyataan tersebut dilukiskan dengan kalimat, “No one would deny the social order is often created hierarchically. But it is useful to see that order can emerge from a spectrum of sources that extended from hierarchical and centralized types of authority, to the completely decentralized and spontaneous interaction of individuals.”

Dominannya satu sumber hukum saja, yakni kekuasaan sentralistis, menunjukkan munculnya kecenderungan bahwa kebenaran, kejujuran, kepedulian terhadap sesama, dan sekaligus kehidupan berbangsa, berlangsung tanpa rasa, tanpa malu, tanpa empati dan tanpa simpati. Situasi demikian, berimplikasi luas. Misal, dalam hal keadilan. Seolah tiada tempat pencarian keadilan kecuali pengadilan negara. Padahal, setiap warga negara butuh keadilan. Akses terhadap keadilan (acces to justice) mestinya terbuka lebar. Kemajemukan komunitas, mestinya menjadi argumen kuat untuk penyediaan berbagai macam lembaga/ruang pengadilan (justice in many rooms).

Kembali ke persoalan kudeta Partai Demokrat. Bila rasa keadilan telah dinihilkan, serta  merta persoalan diadili di pengadilan negara, mudah diprediksi, siapa dimenangkan dan siapa terkalahkan. Tragedi mati rasa bisa berlanjut hingga ruang pengadilan, dan meruntuhkan hati nurani hakim. Akankah demikian? Entahlah. Kebaikan kehidupan bersama selalu menjadi dambaan. Wallahu’alam. ***

Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

Guru besar ilmu hukum UGM