Memahami Undang-Undang Cipta Kerja

Memahami Undang-Undang Cipta Kerja

OMNIBUS Law atau yang kita kenal sebagai Undang-Undang Cipta Kerja telah disahkan oleh DPR pada 5 Oktober. Namun sebagaimana halnya dengan sebuah kebijakan baru, reaksi pro dan kontra pasti terjadi. Masyarakat pun seakan terbelah. Yang menerima menjulukinya sebagai Undang-Undang Sapu jagat atau undang-undang masa depan. Yang menolak memplesetkannya sebagai Undang-Undang Cilaka. Bagaimana kita menyikapi pertentangan pendapat ini?  

Jalan Keluar

Perlu kita ingat, bahwa undang-undang ini lahir pada era industri 4.0, atas inisiatif Presiden Jokowi pada awal masa jabatannya yang kedua. Di Negara lain seperti AS, Australia, Irlandia bahkan Filipina, Omnibus Law bukan hal baru. Bahkan kita nyaris tak mendengar unjuk rasa yang berlangsung ricuh menyusul pengesahan Omnibus Law.   

Niat Presiden sebenarnya bertolak dari keprihatinan teradap sistem birokrasi yang sangat panjang, ruwet dan bertali-temali, sehingga menghambat investasi dan memberi puluang terjadinya berbagai pungli dan korupsi.

Menurut Presiden, dalam rangka menertibkan semua keruwetan akibat obesitas regulasi ini,  diperlukan sebuah undang-undang  yang menjamin percepatan pembangunan untuk menyongsong proyeksi bonus demografi yang diperkirakan terjadi pada 2030 dan Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terkuat nomor empat di dunia di 2050.

Iklim investasi harus kondusif. Yang diperlukan dunia usaha adalah ketentuan yang cepat, jelas, ringkas dan efisien. Selama ini para pengusaha mengeluhkan UU Ketenagakerjaan yang dinilai terlalu membebani. Atas alasan itu, beberapa investor asing malah hengkang dari Indonesia dan pindah ke negara tetangga seperti Vietnam. Padahal perusahaan seperti Pepsi Cola menyerap ribuan tenaga kerja lokal.

Bencana Covid-19 memperburuk keadaan. Daya beli masyarakat turun drastis. Pengangguran terbuka saat ini mencapai angka 7-8 juta orang.   Sementara jumlah pengangguran terselubung, artinya mereka yang hanya bekerja 1-2 jam perminggu mencapai angka 36 juta sehingga total angka pengangguran menjadi 45 juta. Belum lagi  pertambahan tenaga kerja baru, yakni mereka yang lulus sekolah menengah dan perguruan tinggi sekitar 2 juta orang per-tahun.

Bonus demografi artinya usia produktif penduduk akan melebihi usia non-produktif dengan asumsi 2:1. Diperkirakan ketika itu, jumlah angkatan kerja kita mencapai angka 60-70 juta orang. Maka, ketersediaan lapangan kerja menjadi hal mutlak.

Gejolak sosial dan risk country akan meningkat, manakala jumlah angkatan kerja yang sedemikian besar tak terserap lapangan kerja. Kita tentu tak menghendaki mimpi buruk ini terjadi. Kiranya, ini yang menjadi alasan utama mengapa Presiden Jokowi seolah tanpa tedeng aling-aling ingin mempertaruhkan pemerintahannya pada Undang-Undang Cipta Kerja ini.

Penolakan

Kelompok pekerja dan serikat buruh merasa dirugikan dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Dua fraksi di DPR yakni Demokrat dan PKS menolak undang-undang ini. Menurut kedua partai oposisi itu, Undang-Undang Cipta Kerja belum urgen. Semestinya pemerintah fokus terlebih dahulu  pada upaya penanganan pandemi Covid-19 yang jumlah korbannya terus bertambah. Lagi pula, menurut mereka, undang-undang ini jelas memihak dunia usaha dan para pemilik modal. Pemerintah seolah-olah menyiapkan karpet merah bagi para kapitalis, sementara di bawah karpet mewah itu para pekerja dan buruh digencet habis-habisan. Perlindungan terhadap kelompok ekonomi yang paling rentan secara ekonomi ini direnggut. 

Menurut para oposan, Undang-Undang Cipta Kerja cacat substansi dan cacat prosedural.  Dikatakan cacat substansi karena undang-undang itu mengkhianati kepentingan para pekerja dan buruh, bahkan hak-hak dasar mereka yang diatur dalam pasal 11 Undang-Undang Ketenagakerjaan Tahun 2003 dihilangkan.

Dianggap cacat prosedural karena pembuatan undang-undang itu dinilai tertutup tidak melibatkan para stakeholder terutama serikat pekerja. Rencana pengesahan tanggal 8 Oktober tiba-tiba dimajukan ke tanggal 5 Oktober. Elly Rosita Silaban, Presiden KSBI, salah satu wakil serikat buruh yang diundang dalam pembicaraan tripartit, antara pemerintah, serikat buruh, dan pengusaha, mengungkapkan kekecewaannya, karena merasa hanya dimanfaatkan dan dibohongi. Apa yang dianggap sebagai gentlemen agreement diabaikan.

Ada sekitar 17 poin keberatan yang diajukan oleh 32 Federasi dan Konfederasi Buruh Indonesia.  Di antaranya soal dihapusnya Upah Minimum Regional (UMR)  dan upah dihitung berdasarkan satuan waktu. Perusahaan tidak lagi berkewajiban memberikan pesangon dan santunan kepada pekerja yang sakit, atau meninggal dunia. Pekerja yang dengan sukarela menarik diri tak lagi mendapatkan uang pisah. Perusahaan yang pailit tidak berkewajiban memberikan pesangon kepada pekerja yang di-PHK. Belum lagi masalah cuti, uang pesangon, dll.

Kesimpulan

Undang-Undang Cipta Kerja sudah disahkan, berbagai protes pun mereda. Sebagai warga negara yang baik, kita seyogianya percaya kepada niat baik pemerintah. Tak mungkin pemerintah sengaja menelantarkan rakyatnya, karena jika demikian, kekuatan rakyat yang kecewa akan mengental menjadi ancaman bagi negara.

Bagaimana pun perlu adanya langkah ekstrim untuk meningkatkan perekonomian kita yang sudah lama tersendera oleh permainan para birokrat nakal yang memanfaatkan wilayah abu-abu akibat ruwetnya udang-undang dan peraturan.

Daripada melakukan unjuk rasa di jalanan dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat tetapi merusak fasilitas rakyat, dan berisiko terjangkit virus Covid-19, lebih baik semua keberatan itu disalurkan secara konstitusional, misalnya dengan mengajukan yudisial review ke Mahkamah Konstitusi.

Sebagaimana kita ketahui, setelah disahkannya sebuah undang-undang, masih tersedia tiga asas untuk dipatuhi, yakni asas retroaktif yang artinya sebuah undang-udang yang telah disahkan dapat berlaku mundur. Asas non-retroaktif artinya sebuah undang-undang berlaku pada saat disahkan, dan asas prospektif yang artinya sebuah undang-undang yang sudah disahkan tidak serta merta berlaku, melainkan ditunda dulu.

Hemat penulis, para pengusaha juga pasti menyadari, bahwa pekerja dan buruh bukan sekadar faktor produksi, mereka juga manusia yakni, modal vital bagi jatuh bangunnya perusahaan. Jika mereka tidak mendapatkan upaya yang layak untuk mencukupi kebutuhan hidup, maka akan timbul masalah sosial yang dapat merugikan perusahaan itu sendiri.

Bagi para pekerja, Udang-Undang Cipta Kerja dapat menjadi pemicu untuk terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan diri. Jangan mau selamanya jadi budak korporasi. Bukankah pemerintah berjanji untuk membantu? Peluang berwirausaha masih terbuka luas di negeri ini. **  

John de Santo

Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta; Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka.