Memaknai Guru Sejati dalam Serat Wulang Reh

Memaknai Guru Sejati dalam Serat Wulang Reh

SAAT ini masih banyak guru yang sekadar berprofesi sebagai guru dan meninggalkan substansi sebagai pengajar bangsa. Figur mulia seorang guru pun mulai luntur dirampas zaman. Ditambah lagi kondisi pelik di mana manusia kini lebih tertarik dengan hal-hal yang lebih konkrit dan menguntungkan, sehingga mereka menyibukkan diri dengan segala yang bersifat materi dan duniawi. Kemewahan dan pangkat masih menjadi ukuran kepentingan bagi masyarakat kita.

Sekolah pun pada akhirnya diandalkan sebagai tempat efektif untuk menaiki jenjang sosial. Ketika siswa sibuk mengejar kelulusan dan kebanggaan akademik, guru pun serta merta berlomba mengejar pangkat dan gaji. Tak ayal lagi, kita kini kehilangan sosok guru yang menjadi panutan.

Tereduksinya figur mulia seorang guru, membuat krisis etika dan moral kian menjadi-jadi.  Kasus demi kasus banyak kita lihat di media massa. Mulai dari kasus perundungan, kekerasan fisik, penyalahgunaan narkoba, perkelahian antarsekolah atau tawuran, maupun kekerasan seksual yang terjadi antarpeserta didik.

Mirisnya lagi, tindak pidana korupsi yang marak terjadi di negeri ini justru dilakukan dari kalangan terdidik (well educated). Bahkan, tak jarang para koruptor tersebut berprofesi sebagai guru atau dosen di pendidikan tinggi.

Guru Sejati dalam Serat Wulang Rèh

Ada khazanah yang sangat bagus buat bangsa ini tentang konsep guru sejati. Lima ratus tahun yang lalu, leluhur kita telah memberikan motivasi yang jelas dalam memilih guru. Serat Wulang Rèh yang merupakan sastra gubahan Sri Susuhunan Pakubuwono IV, memuat peringatan-peringatan dalam mencari seorang guru yang benar.  Karya sastra ini selesai ditulis pada 1735 tahun Jawa yang bertepatan dengan tahun 1808 M.

Serat Wulang Rèh ini muncul karena keadaan negara ketika itu sangat memprihatinkan dan banyak terjadi masalah-masalah politik terutama dalam kraton. Selain itu juga ada tradisi luar yang masuk dalam kraton serta perilaku manusia yang menyimpang dari tatanan nilai dan moral yang tidak sesuai dengan agama.

Serat ini sendiri tertulis dalam bentuk puisi 13 macam tembang (pupuh) macapat, yakni Dhandhanggula, Kinanthi, Gambuh, Pangkur, Maskumambang, Megatruh, Durma, Wirangrong, Pocung, Mijil, Asmaradana, Sinom, dan Girisa.

Adapun istilah ‘Wulang’ sama artinya dengan ‘pitutur’’, yang bermakna ajaran. Sedangkan ‘Rèh’ berasal dari bahasa Jawa kuna yang artinya jalan, aturan, atau lelaku untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, Wulang Rèh dimaksudkan sebagai ajaran hidup untuk mencapai kehidupan yang harmonis.

Sebagai kitab atau serat yang berisi ajaran moral kehidupan, karya ini memiliki pandangan yang begitu khas terkait sosok seorang guru yang harus diteladani. Sebagaimana yang dikatakannya dalam pupuh Dhandhanggula bait 4 berikut,

Nanging yèn sira ngguguru kaki,

amiliha manungsa kang nyata,

ingkang becik martabaté,

sarta kang wruh ing ukum,

kang ngibadah lan kang ngirangi,

sokur olèh wong tapa,

ingkang wus amungkul,

tan mikir pawèwèhing liyan, (*langkung 1 wanda)

iku pantes sira guronana kaki,

sartané kawruhana.

 

Artinya:

Jika kalian berguru,

pilihlah manusia yang benar,

yang baik martabatnya,

yang mengerti hukum,

yang pandai dan bermutu ibadahnya,

lebih baik lagi jika guru itu ahli tapa,

yaitu guru yang terasah,

tak pernah memikirkan pemberian orang lain,

itulah orang yang pantas dijadikan guru,

ketahuilah ajarannya.

Dari wejangan (nasihat) Sri Susuhunan Pakubuwana IV di atas dapat diambil pelajaran, bahwa dalam berguru hendaknya memilih “manungsa kang nyata” yaitu manusia yang benar, yaitu sempurna lahir batin atau dikenal sebagai tipe al-insan al-kamil.

Ada tujuh kriteria manungsa kang nyata atau manusia yang layak dijadikan guru ini, yaitu,

Pertama, baik martabatnya. Martabat menunjukkan pada suatu kedudukan yang terhormat, mulia, dan tinggi. Guru yang mampu menerapkan kepemimpinan moral dapat mengangkat martabatnya sebagai guru. Martabat guru yang terpelihara baik tentu akan memuliakan dan meninggikan peserta didik.

Kedua, mengerti hukum. Dalam khazanah Jawa, mengerti hukum tidak berarti memahami fikih agama yang berasal dari Timur Tengah saja. Tapi dia memahami aturan hidup bermasyarakat dan bernegara. Dia paham tentang etika hidup. Budi pekerti luhur yang berlaku di masyarakat maupun di negara.

Ketiga, beribadat secara taat. Sesuai dengan nasihat Sri Susuhunan Pakubuwana IV, hendaknya orang berguru kepada orang yang taat menjalankan ibadah. Ibadah di sini merupakan suatu tindakan. Tindakan apa saja yang menunjang kesadaran untuk selalu ingat pada-Nya, itulah ibadah.

Keempat, wirangi atau wara. Syarat menjadi guru harus wirangi, yaitu orang yang memiliki kesalehan dan selalu berusaha untuk menjauhkan diri dari dosa, maksiat dan perbuat syubhat. Dalam istilah Kejawen disebut pula wira’i atau wirangi, yang memiliki arti sangat berhati-hati dalam segala hal, terutama makanan dan minuman. Laku hidup wara’ memang penting bagi perkembangan mental keislaman, apalagi bagi tasawuf. Dalam tasawuf wara’ merupakan langkah kedua sesudah taubat, dan di samping merupakan pembinaan mentalitas (akhlak) juga merupakan tangga awal untuk membersihkan hati dari ikatan keduniaan.

Kelima, lebih baik mendapat orang yang suka bertapa. Inti dari pengertian orang yang suka bertapa ini, dalam bahasa atau istilah lain disebut olah rasa (orang yang suka mengolah rasa hatinya). Orang yang suka bertapa akan suka memaafkan orang lain, sabar menghadapi sesama. Ia dapat menaklukkan hawa nafsu dengan rasa cinta-kasih.

Keenam, yang sudah amungkul. Orang yang sudah amungkul (berasal dari kata dalam bahasa Jawa wungkul; kempel), yaitu orang yang telah bulat dalam keyakinannya kepada Tuhan.

Ketujuh, ikhlas tanpa pamrih. Orang yang sudah amungkul (total dalam peribadatan dan mengingat Tuhan) tentu ia tak berharap terhadap pemberian orang lain kepada dirinya. Seyogianya, dalam mengajarkan ilmu, guru tidak berharap pamrih apalagi berharap anak didik bisa berbalas jasa kepada guru.

Sayangnya, jelas Sri Susuhunan Pakubuwana IV, memang sulit menemukan guru sejati seperti itu, di zaman yang serba materialsitis seperti sekarang. Terlalu banyak guru-guru palsu, yang hanya bertujuan untuk mengeruk keuntungan dari kita. Banyak orang mengaku berilmu padahal dirinya tak pantas dengan pengakuan itu. Banyak pula orang yang merasa gembira apabila disebut dirinya sebagai orang yang berilmu.

Sebaliknya, jika ada orang yang benar-benar berilmu, dan memahami hukum, itu malah dibilang salah. Hal ini sebagaimana diungkapkan dalam tembang dhandhanggula bait 7 berikut:

Angèl temen iya jaman samangkin,

ingkang pantes kena ginuronan,

Akèh wong njaja ngèlmuné, lan arang ingkang manut,

Yèn wong ngèlmu ingkang netepi, ing panggawèning sarak,

Dèn arani luput, nanging ta asesenengan,

Nora kena dèn wor kakarepanéki, papancèné periyangga,

 

Artinya:

Memang sulit zaman sekarang,

mencari guru sejati,

Banyak orang menjual ilmunya, dan jarang yang tepat,

Apabila ada yang benar-benar berilmu, dan memahami hukum,

Itu malah dibilang salah, namun itulah kodrat,

Kodrat manusia tidak bisa dijadikan satu, memang harus berbeda.

Akibat guru sibuk mengejar popularitas dan urusan-urusan duniawi lainnya, kini para guru lah yang sibuk untuk mendatangi murid. Hal ini justru sangat kontradiktif dengan zaman dahulu, di mana tradisi murid ngupaya guru ‘murid mencari guru’ sudah beralih menjadi kiai guru naruthuk ngupaya murid ‘kiai guru bersusah payah mencari murid’. Berikut baitnya,

Ingkang lumrah ing mangsa puniki,

mapan guru ingkan golèk sabat,

Tuhu kuwalik karepé, kang wus lumrah karuhun,

Jaman kuna mapan si murid, ingkang padha ngupaya,

Kudu angguguru, ing mengko iki ta nora,

Kyai guru naruthuk ngupaya murid, dadia kanthinira.

 

Artinya:

Yang terjadi zaman sekarang, guru mencari-cari pengikut,

Hal itu sudah terbalik kejadiannya, dengan zaman dahulu,

Zaman dulu para murid, yang selalu berupaya,

Berusaha menemukan guru, sekarang tidak lagi,

Kyai dan guru berlomba memperbanyak murid.

Sudah saatnya guru mengubah paradigma jika ingin atau benar-benar berkehendak menjadi guru sejati. Dengan memahami ajaran Serat Wulang Reh tersebut, jelas bahwa tugas seorang guru bukan hanya sekadar menyampaikan ilmu pengetahuan akan tetapi juga turut memantau semua aspek perkembangan anak didik secara jasmani maupun rohani. Sang guru sejati tentu akan mengantarkan muridnya ke hakikat kebenaran. **

Dewi Ayu Larasati, SS, M. Hum

Staf Pengajar di Universitas Sumatera Utara, Medan