Membangun Industri Film Pedesaan

Membangun Industri Film Pedesaan

AMERIKA punya Academy Award dengan Piala Oscar, Indonesia memiliki Festival Film Bersama Piala Citra. Kemudian pada tingkat daerah kita kenal festival film, seperti di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Bali, Semarang, Solo, dan kota lainnya. Diakui atau tidak, film berlakon “desa,” atau “pedesaan,” masih berasa kurang kalau tak bisa disebut minim. Selain itu, tak sedikit masyarakat, terutama pemuda desa yang teralienasi atas ke-desa-an-nya. Kemiskinan yang masih menangguk pedesaan pun tak cukup bisa diselesaikan dengan dana desa, karena ia bukan dana sapu jagat. Maka kemudian, pikiran kita tertambat pada domain film-film desa.

Pada sesi ini penulis sebagai orang awam mengajak, mendorong dan menggerakkan kembali semangat kaum muda, yang di-backup pemerintah maupun pemdanya menjadi bagian upaya menggairahkan pembangunan desa, lewat proses kreatif produksi film bertema pedesaan. Pertunjukan film dalam hal ini bisa melalui gedung sinema, media sosial maupun dengan menggelar Festival Film Pedesaan (FFP). Tema dan dinamika pedesaan selalu dirindukan masyarakat yang bermukim jauh di pelosok desa. Data Kemendesa PDTT tahun 2021, kita punya 75.961 desa. Sungguh, potensi yang luar biasa yang bisa kita optimalkan.

Aneka film yang berbicara tentang desa hingga sekarang rasanya masih relevan di tengah terjalnya budaya ala perkotaan yang acap berbumbu glamour, tumpukan materi dan rerupa gaya borjuis. Itulah kemudian, tak kalah baik kita gelar FFP dengan gugusan warna lokal di ceruk pedesaan sebagai latar kisah. Kekhasan atau keunikan budaya menjadi latar, yang kemudian barangkali memunculkan nilai-nilai keutamaan (nasionalis, spiritualis, heroik bahkan romantik, dll). Namun, kala pandemi Covid-19 masih menghentak, situasi ini sangat memungkinkan pergelaran FFP dilakukan secara virtual.

Kita mungkin bisa belajar mengikuti jejak film tentang keindahan alam negeri ini. Ada film Susah Sinyal, 5 cm, Romeo+Rinjani, Laskar Pelangi, dan Trinity Traveler. Kemudian film yang bicara kehidupan kampung, seperti Turah, Ziarah, maupun Siti. Menyusul film berfrasa pendidikan, muncul film Sekola Rimba, Petualangan Menangkap Petir, Negeri Lima Menara, Sepatu Dahlan, dan Jembatan Pensil, serta 5 Elang. Tentu saja jika kita mau, tak sedikit potensi desa yang bisa kita ekplorasi dan formulasikan ke dalam layar lebar.

Lanskap pedesaan bisa diolah kembali ke dalam ekspresi yang baru. Pelangi pedesan dengan segenap kelokalannya, tidak dilihat semata dalam upacara, ritual, kisah atau legenda yang ada dalam satu framing, tapi justru ruh dalam semangat itulah yang menjadi sumber kreativitas anak muda kita untuk menghelat FFP.

Kita mahfum, Kemenparekraf telah memasukkan video, film dan fotografi sebagai bagian dari 15 subsektor kreatif bangsa. Tak cuma itu, FFP akan memberi daya hidup bagi industri kreatif, perfilman juga memberi hiburan di tengah penat masyarakat pedesaan. Sekurangnya, melalui event sederhana ini, bisa me-rebranding desa dengan segala keunikan dan potensi, mendorong imajinasi dan inovasi, mengajak berpikir out of the box dan memberi opsi tontonan yang mengedukasi masyarakat, khususnya anak-anak muda desa. Salah satu jalan yang bisa dilakukan oleh pegiat muda film hari ini ialah, memperluas sumber keliaran kreatif ke-film-annya.

FFP dalam tataran awal barangkali hanya akan dipandang event minimalis, sarat kesahajaan, tapi apapun labelnya, kita cukup optimis perhelatan itu mampu sebagai sumber belajar, industri kreatif yang digandrungi meskipun sepi acap membalutnya. Karena FFP belum menjadi kalender budaya regular seluruh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di negeri ini. Tak sedikit yang bisa dijual dari FFP, setidaknya menghadirkan masalah-masalah sosial di wilayah-wilayah pedesaan kita yang terasa di luar jangkauan, maupun ranah budaya yang kurang dikenal, agar kisah dan tema makin beragam, atau sedikitnya cukup memberi gambaran yang berbeda, yang menggenapi sosok lokal. Bisa isu-isu sosial, budaya, politik, lingkungan, dan sebagainya.

Lewat FFP, kita ingin menghadirkan pesan yang mendalam pada nilai edukasi dan pencerahan (sparkling). Mampu mentransformasi sosiokultur: dari yang konsumtif ke produktif, dari bergantung ke mandiri, dan dari individu ke kelompok (aku, kamu menjadi kita), sebagai media perdamaian di tengah keragaman dan kerentanan. Kita tak boleh terimbas wabah myopia, penyakit rabun jauh: kehilangan cara pandang untuk melihat keberagaman dan beragam persoalan bawaannya. Pendeknya, FFP juga mampu menjadi media belajar warga dalam mengintrodusir, merevolusi bahkan menginternalisasi sikap mental masyarakat, paling tidak kaum muda menuju sosok produktif dan menginspirasi bagi lingkungan bahkan dunia. Bisa saja film bertopik upaya penyelamatan pantai atau film yang berkisah sosok perempuan perkasa dari desa yang dapat menjadi referensi dalam mengangkat nasib dan masa depannya yang didera kemiskinan, atau tema lainnya. Di sini kita bisa beroleh pelajaran berharga dari nilai-nilai keutamaman sosial, seperti kerja keras, jujur, gotong royong melalui musyawarah atau rembugan bareng.

Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu, kalimat dahsyat Arai dalam Film “Sang Pemimpi.” Barangkali itu setitik debu lembut pemasok energi baru, darah baru bagi kalangan muda untuk mengelola FFP secara apik pada masa mendatang. Anak-anak muda, bukan saatnya lagi diam dan menunggu, tapi menjemput bola, menangkap peluang dan tantangan itu menjadi starting point agar dunia tak memandang sebelah mata tehadap desa.

Efek Domino

Alasan klise turut menyokong absen bahkan nihilnya FFP, seperti pergelaran fokus pedesaan belum banyak diminati, sepi profit dari segi urusan cuan. Stigma dari masyarakat atas produksi film pedesaan maupun festivalnya, tak sedikit dituding sebagai kelompok kurang kerjaan dan ad hoc, tak bisa menjadi gantungan hidup, segmen terbatas, karena pembuatan film masih mahal untuk ukuran pedesaan sehingga kadang belum menjangkau kebutuhan warga miskin.

Sejatinya, banyak nilai positif yang dihasilkan dari upaya menggenjot industri kreatif film maupun event FFP, paling tidak kita bisa dikenal dunia luar dengan setumpuk kelebihan dan minusnya. Duta desa, duta daerah, duta budaya, dll, harus lahir dari sini, yang akan menyuarakan dan memasarkan seluruh potensi alam, wisata, budaya (kearifan lokal) di level domestik dan internasional. Di sini butuh komodifikasi, role model dan konsistensi. Kaum muda lewat usaha film, bisa berkontribusi menyelesaikan PR bangsa, seperti kemiskinan, pendidikan, lingkungan, pengangguran, kesehatan, infrastruktur, Covid-19, dan sebagainya.

Untuk itulah, pemda bisa mengambil peran memfasiltasi daya hidup industri kreatif dengan memberikan kemudahan perizinan, fasilitasi Hak atas Kekayaan Intelektual (HKI), membangun gedung sinema baru yang murah dan nyaman. Dalam konteks ini kontribusi Dewan Kesenian Daerah (DKD) dinanti urun angan dan turun tangannya dalam mengelola kreasi dan ekspresi anak-anak muda agar mampu mengubah mental penumpang menjadi mental boss, dari mental buruh ke mental pengusaha lewat FFP. Ini, sekurangnya menjadi bagian cara kita memberi hormat kepada desa, ibu kandung kita.

Jadi, stakeholder setidaknya ikut cawe-cawe mengelola gairah anak muda ini sebagai pilantropis, spirit untuk terus dan selalu berbagi. Ilmu itu harus diturunkan dari otak di kepala ke tangan yang bergerak hingga kaki yang melangkah dan mulutnya bicara, seperti disarankan Rhenald Kasali sang owner rumah perubahan. Harus mampu berpikir dan melakukan sesuatu. Tumpuan besar kita ada kolaborasi pentahelix, sekurangnya Kemendesa PDTT, Lembaga Perfilman, Papdesi dan Pemda hingga Pemdes serta kaum milenial untuk turun gunung bersama-sama mengeksusi, sedikitnya gelaran FFP sebagai salah satu jalur merawat desa masa depan Indonesia.

Karena pada dasarnya negeri kita itu adalah republik kaum muda. Masih terbuka intervensi yang bisa dilakukan pemda untuk menopang daya hidup anak-anak muda pedesaan lewat FFP yang kita optimis akan mampu mendatangkan efek domino pada segi ekonomi, politik dan sosiokultur masyarakat. Sekali lagi, FFP akan menggenapkan kebahagaiaan dan kebanggaan apa yang pernah disuarakan Bung Hatta dalam “Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tapi akan bercahaya karena lilin di desa.”**

Marjono

ASN, Penulis Buku