Membangun Silaturahmi, Paseduluran dan Bonum Commune di Masyarakat

Membangun Silaturahmi, Paseduluran dan Bonum Commune di Masyarakat

PADA hari Selasa, 10 November 2020, Gereja Paroki Santo Aloysius Gonzaga, Mlati menerima tamu istimewa. Yakni, KH Masrur Ahmad MZ, pengasuh Pondok Pesantren Salafiah Al Qodir, Tanjung, Wukirsari, Cangkringan, yang datang bersama kedua santrinya, Zaqi dan Fahmi.

Selain sebagai pengasuh ponpes, KH. Masrur Ahmad MZ juga sebagai Ketua Forum Salaman (Silaturahmi Alim Ulama dan Tokoh Lintas Iman) Merapi.

Pertemuan silaturahmi KH Masrur Ahmad MZ ini diadakan di Aula atas Paroki Santo Aloysius Gonzaga, Mlati, yang dihadiri oleh Romo Laurentius Tata Priyana Pr sebagai Pastor Paroki, Romo Yulius Sukardi Pr sebagai Pastor Vikaris Parokial, bersama dengan Dewan Pastoral Harian Paroki dan Tim Pelayanan Hubungan antar Agama dan Kepercayaan.

Menurut KH Masrur Ahmad MZ, semua manusia diangkat oleh Allah sebagai khalifah fil ardh, sehingga memikul kewajiban dan memiliki hak mendapatkan pelayanan kebaikan bersama (bonum commune) yang mendahulukan amar ma’ruf daripada nahi munkar.

Dalam menyampaikan pelayanan kebaikan bersama tersebut harus dilakukan secara lemah lembut dan memberi suri tauladan (utswatun hasanah), at Takhalli (mengosongkan dari sifat yang jelek), at Tahalli (mengisi dengan sifat yang baik), at Tajalli (mendapat ilham untuk melihat kebenaran), akomodatif terhadap pembaharuan tanpa meninggalkan tradisi, bersikap jalan tengah (tawâsut), adil atau tidak berat sebelah (tawâzun), dan toleransi (tasâmuh).

Menurut KH Masrur Ahmad MZ, setiap manusia harus mengusahakan kebaikan bersama (bonum commune) tanpa melihat sekat-sekat agama dan politik yang seringkali membuat berbagai perbedaan dalam masyarakat.

Senada dengan pemikiran Kyai Masrur, Romo Tata Priyana juga menyampaikan bahwa kebaikan bersama harus dilakukan oleh setiap manusia yang sejalan dengan Dokumen Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama yang telah ditanda tangani oleh Paus Fransiskus dan Ahmed Al-Thayeb, Imam Besar sekaligus Rektor Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Dokumen tersebut juga ditanda tangani oleh Perdana Menteri Uni Emirat Arab, Mohammed bin Rashid Al-Maktoum, pada hari Senin, 4 Februari 2019, di Monumen Pendiri Uni Emirat Arab di Abu Dhabi.

Bonum Commune adalah kata dalam bahasa Latin yang dapat diterjemahkan secara literal sebagai “kebaikan atau kesejahteraan umum”.

Kompendium Ajaran Sosial Gereja (ASG) No. 164 menyatakan, berdasarkan artinya yang utama dan luas diterima, kesejahteraan umum merujuk pada “keseluruhan kondisi hidup kemasyarakatan yang memungkinkan, baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri”.

Pengertian ini berkembang dalam sejarah Gereja yang berakar dalam tradisi teologi politik Agustinus dari Hippo dan Thomas Aquinas yang dijelaskan sebagai berikut:

Bonum Commune dalam gagasan Agustinus

Agustinus dari Hippo mengungkapkan gagasannya tentang bonum commune atau the common good yang tertuang dalam bukunya De Civitate Dei. Buku ini merupakan sebuah jawaban apologetik bagi mereka yang menyalahkan Kristianitas sebagai penyebab kekacauan di kekaisaran Roma pada tahun 410.

Agustinus berpendapat bahwa selain perbedaan dalam kebudayaan, bangsa, dan bahasa, perbedaan mendasar dalam diri manusia adalah 2 (dua) kelompok yang ia sebut sebagai Kota Allah (City of God) dan Kota Duniawi (Earthly City). Menurut Agustinus umat manusia digerakkan oleh apa yang disebutnya “cinta”.

Maka kedua kota ini dibentuk oleh 2 (dua) jenis cinta yang berbeda, yakni:
â–  Cinta pada diri sendiri (yang bahkan dapat mengingkari Allah)
â–  Cinta pada Allah (yang mengingkari diri sendiri)

Kota Allah ini adalah dunia spiritual yang warga negaranya berusaha mewujudkan nilai-nilai keutamaan Kristiani. Hanya umat Kristiani saja, karena rahmat Allah dapat sukacita menjadi warga Kota Allah ini.

Sementara mereka yang lain, yang bukan Kristiani, adalah warga Kota Dunia yang penuh konflik politik.

Meski demikian, Agustinus juga menyatakan bahwa para anggota dari kedua kota itu juga ada dalam Gereja yang kelihatan. Pembedaan antara kedua kota itu adalah lebih bersifat eskatologis daripada politis.

Para anggota kedua kota itu bercampur baur dalam apa yang disebut Agustinus sebagai saeculum, bidang realitas temporal dimana unsur-unsur politik itu berada.

Paham bonum commune dalam pemikiran Agustinus terletak pada 2 (dua) tesis dasar, yakni:

Pertama, berangkat dari etika kebaikan (eudamonia) yang telah dikembangkan sebelumnya oleh para filsuf Yunani. Agustinus menyakini bahwa kebaikan individual tidak akan mungkin terwujud tanpa kebaikan bersama yang datang dari keluarga, negara, dan kerajaan.

Kedua, karena tiap individu adalah bagian dari negara atau kerajaan, maka seseorang perlu menganggap dengan jujur apa yang baik dirinya sesuai dengan kebaikan bagi orang banyak.

Bonum Commune dalam gagasan Thomas Aquinas

Gagasan Thomas Aquinas tentang bonum commune dipengaruhi oleh aliran Aristotelian. Menurut Aristoteles, ”kebaikan” (bonum) adalah apa yang diinginkan oleh segala makhluk. Dengan dasar inilah Thomas menegaskan bahwa “kebaikan” adalah kodrat semua ciptaan. Kodrat semua makhluk hidup adalah kebaikan yang dicari dengan kebaikan dan cinta kasih, serta bertujuan untuk sampai dan bersatu dengan Allah, sang Kebaikan Tertinggi.

Bonum commune hanya dapat terwujud bila tiap individu yang membentuk satu masyarakat, satu tubuh itu berinteraksi dan bekerja sama satu sama lain dalam kebaikan.

Ada 2 (dua) sumbangan besar Aquinas dalam pemikirannya tentang bonum commune, yakni:

Pertama, dengan pendasaran bonum commune sebagai hukum kodrat, Thomas Aquinas memberi dasar Filosofis-Teologis yang kuat untuk kepentingan sosiologis, yaitu: keterlibatan warga negara dalam membangun negaranya

Kedua, cita-cita persatuan dengan Allah sebagai Sumber Kebaikan dan sebagai tujuan negara memungkinkan pendasaran moral bagi laku para warga negara.

Bonum Commune dalam Konsili Vatikan II

Gereja juga menegaskan dirinya dalam hubungannya dengan negara.
Dalam masyarakat majemuk, perlu dipahami secara tepat dan jelas hubungan antara gereja dan negara. Berdasarkan tugas maupun wewenangnya, gereja sama sekali tidak dapat dicampur adukkan dengan negara, dan tidak terikat pada sistem politik manapun. Sekaligus gereja itu menjadi tanda dalam perlindungan transendensi pribadi manusia.

Negara dan Gereja bersifat otonom dan tidak saling tergantung dalam bidangnya masing-masing (LG 76).

Gereja hendak menegaskan dirinya sebagai institusi spiritual dan bukan sebagai institusi kekuasaan duniawi.

Pada prinsipnya, Gereja Katolik melarang para pejabat hierarki gereja untuk terlibat dalam politik praktis (bdk. KHK 1983 kan. 287 § 2). Jelasnya, mereka tidak boleh mencalonkan dan dicalonkan sebagai anggota Legislatif atau jabatan publik seperti Bupati, Gubernur, atau Presiden dan Wakil Presiden. Namun, gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan serta tanggung jawab politik para warga negara.

Menurut Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa ini, Gaudium et Spes 74, “Negara ada demi kesejahteraan umum, menemukan dasar keberadaannya sepenuhnya serta maknanya dalam kesejahteraan itu, dan mendasarkan hak kemandiriannya yang otentik padanya”.

Hal ini mau menyatakan bahwa kesejahteraan umum (bonum commune) adalah hakekat dan tujuan negara.

Gereja juga melihat dirinya harus terlibat dalam mewujudkan bonum commune dalam masyarakat. Maka, gereja memandang perlu untuk menjalin kerjasama dengan negara dalam mewujudkan kesejahteraan umum dalam masyarakat. Gereja dan negara dapat secara lebih efektif menunaikan pelayanan ini “demi kesejahteraan umum jika semakin baik keduanya menjalin kerja sama yang sehat”.

Peran gereja ini dijalankan oleh kaum awam. Gereja justru mendorong kaum awam Kristiani untuk terlibat secara aktif dalam kehidupan sosial, terutama dalam bidang-bidang keluarga, kebudayaan, kerja, ekonomi dan politik sesuai dengan kemampuannya. Justru dalam bidang inilah yang menjadi ciri khas kaum awam, yang terlibat dalam urusan keduniawian.

Disitulah mereka dipanggil oleh Allah untuk menunaikan tugas mereka dengan dijiwai semangat Injil, ibarat ragi membawa sumbangan mereka demi pengudusan dunia (LG 31).

Pertemuan safari silaturahmi KH Masrur Ahmad MZ ini bukan safari politik, meskipun dalam waktu dekat ini akan ada Pilkada di Kabupaten Sleman.

Kyai Masrur juga menyampaikan jika masih ada gagasan besar yang belum terwujud yakni dibentuknya KAMPUNG PASEDULURAN.

Semoga kehadiran Kyai Masrur di beberapa Gereja/Paroki di Kevikepan Yogyakarta (Timur dan Barat) dapat mewujudkan bonum commune dalam masyarakat. (*)

Penulis adalah Kabid Pewartaan Paroki Santo Aloysius Gonzaga, Mlati, Sleman.