Memutus Mata Rantai Kartel Pangan

Memutus Mata Rantai Kartel Pangan

PANGAN tak hanya lezat di lidah, tapi juga enak buat bisnis. Masalah timbul karena kadang-kadang yang menikmati keuntungan hanya segelintir orang dengan membentuk kartel. Merujuk UU Nomor 5 Tahun 1999, kartel adalah persengkokolan beberapa perusahaan mempengaruhi harga dengan mengatur produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa, atau disebut pula oligopoli. Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) dalam laporannya yang berjudul “Hard Core Cartels” turut mendefinisikan kartel sebagai aktivitas ‘anti-kompetisi’ dalam sebuah perekonomian yang pada umumnya dilakukan dengan memanipulasi sisi pasokan. Oleh karena itu, kartel pada praktiknya berupaya menimbun dan menahan pasokan demi memperoleh keuntungan di atas tingkat keuntungan wajar.

Pemerintah telah melarang adanya praktik kartel melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Meski demikian, praktik kartel masih banyak terjadi di Indonesia, bahkan setelah UU tersebut disahkan.

Kartel pangan ditengarai sudah sejak lama ada di Indonesia. Apalagi sektor pangan memang sangat menggiurkan. Sebab, pelaku usaha bisa meraup untung besar tanpa perlu kerja keras. Ini terutama terjadi pada komoditas-komoditas pangan penting yang kue ekonominya amat besar: beras, jagung, kedelai, terigu, gula, daging, dan gula.

Adanya kartel pangan tentu dapat menyebabkan kerugian bagi ekonomi, terutama bagi konsumen dan petani. Berikut beberapa dampak negatif dari adanya praktik kartel pangan.

Pertama, kekuatan kartel dapat mengancam ketidakstabilan harga. Konsumen dirugikan karena para pedagang mengendalikan harga semaunya. Mereka menguasai dan dapat mengatur harga mulai dari tingkat petani, distributor sampai pengecer. Mau tidak mau, konsumen harus membeli barang (sejenis) yang telah diatur harganya, termasuk harga yang amat tinggi.

Hal ini seperti yang terjadi pada awal tahun 2022 lalu, saat terjadi anomali kenaikan harga minyak goreng yang tidak wajar. Kenaikan harga tersebut bukan hanya terjadi oleh satu perusahaan, namun masing-masing produsen minyak goreng serempak menaikkan harga. Dan permasalahan minyak goreng ini bukan hanya terjadi di satu wilayah, melainkan merata seluruh Indonesia.

Sebelum ada fenomena kenaikan harga, banderol minyak goreng berkisar di angka Rp 14 ribu/liter untuk kemasan premium. Namun menjelang akhir tahun 2021 hingga Februari 2022, produsen minyak goreng kompak menaikkan harga, bahkan di atas  Rp 21 ribu/liter. Padahal produsen-produsen minyak goreng yang besar terintegrasi secara vertikal dengan hulunya yaitu perkebunan kelapa sawit. Artinya pelaku usaha terbesar dalam industri minyak goreng juga merupakan pelaku usaha terintegrasi dari perkebunan kelapa sawit, pengolahan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) hingga produsen minyak goreng.

Berdasarkan data concentration ratio (CR) yang dihimpun Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dikutip dari bisnis.tempo.co (28/1/2022), terlihat bahwa sekitar 46,5 persen pangsa pasar minyak goreng dikuasai oleh empat perusahaan besar yang juga memiliki usaha perkebunan, pengolahan CPO, hingga beberapa produk turunan CPO seperti biodiesel, margarin dan minyak goreng. Dengan integrasi tersebut, seharusnya harga produk akhir bisa lebih ditekan. Bukan justru malah harga naik.

Jika kenaikan harga minyak goreng dihubungkan dengan adanya kenaikan harga CPO di pasar internasional seharusnya tidak memengaruhi secara signifikan karena RI adalah pemasok sawit dunia. Di sisi lain, harga pokok produksi (HPP) juga tak berubah.

Oleh karena itu, ada indikasi para produsen minyak goreng menggunakan ‘aji mumpung’ memanfaatkan kenaikan harga internasional sebagai alasan untuk menaikkan harga minyak goreng di dalam negeri.

Dugaan kartel minyak goreng (migor) terus menguat setelah pemerintah melepas harga minyak goreng ke mekanisme pasar maka langsung terlihat barangnya di pasaran. Padahal, sebelumnya sangat sulit ditemukan. Stok barang langka dan memicu antrean.

Contoh indikasi kartel pangan lainnya adalah terkait masalah komoditas daging. Lonjakan harga daging saat menjelang Hari Raya Idul Fitri bukan sekadar siklus tahunan yang sampai saat ini belum bisa diselesaikan oleh pemerintah. Namun karena memang ada permainan dari para mafia impor. Adanya mafia impor daging adalah akibat dominasi importir tertentu yang memiliki kuota impor dan hanya digunakan sejumlah pengusaha impor yang terbatas. Hal ini sudah terjadi sejak lama, dikarenakan keterbatasan importir yang bisa menyebabkan adanya indikasi kartel. Akibatnya, meski pemerintah telah membuka keran impor daging sapi untuk menambah pasokan dalam negeri, ternyata harga daging sapi dalam negeri tidak mengalami penurunan secara nyata.

Kedua, kartel memunculkan persaingan tidak sehat, sehingga bisa mematikan pelaku usaha kecil. Adanya kesepakatan kolusif antarperusahaan untuk membatasi persaingan ataupun menciptakan situasi tidak adanya persaingan, berpotensi menghancurkan industri dan perdagangan domestik. Ujungnya sudah ketebak, bahwa yang miskin akan semakin miskin dan yang kaya akan semakin kaya. Hal inilah yang tentunya akan menghambat pertumbuhan perkenomian Indonesia.

Seperti halnya kenaikan harga kedelai di pasaran beberapa waktu lalu, diduga kuat merupakan akibat aksi kartel kedelai yang bersifat oligopolistik. Komoditi yang akrab dengan menu keseharian Indonesia ini terus bergejolak mengalami kenaikan harga. Kisruh kenaikan harga kedelai ini sempat membuat industri tempe dan tahu melakukan aksi mogok berjamaah. Kaum petani kedelai tak bisa menikmati kenaikan harga komoditas itu lantaran masih bercokolnya para pengusaha yang membentuk kartel sehingga bisa leluasa memainkan harga.

Ketiga, adanya inefisiensi alokasi dan inefisiensi dalam produksi. Kartel akan mengakibatkan inefesiensi alokasi sumber daya yang dicerminkan oleh timbulnya bobot yang hilang (deadweight loss) akibat pembatasan produksi. Kartel juga dapat menyebabkan inefisiensi dalam produksi ketika mereka melindungi pabrik yang tak efisien sehingga menaikkan rata-rata produksi barang /jasa dalam suatu industri.

Keempat, kartel menghambat perusahaan baru yang potensial untuk bisa masuk ke pasar.  Akibatnya, selain berdampak pada kenaikan harga, kartel bisa menurunkan variasi, kualitas, hingga kuantitas dari suatu jenis produk. Hal ini membuat konsumen ‘dipaksa’ untuk membeli produk yang ada di pasar tanpa ada ragam pilihan.

Kelima, kekuatan kartel dapat mendorong laju angka inflasi yang tinggi. Praktik kartel membuat ekonomi nasional menjadi tidak efisien. Harga-harga kebutuhan kerap melambung tinggi dan dampaknya mendorong laju inflasi. Inflasi yang tidak terkendali juga akan mendorong ekspektasi negatif para investor di pasar bursa saham.

Digitalisasi untuk Memutus Rantai

Digitalisasi dalam penyaluran komoditas pangan merupakan salah satu solusi untuk mengatasi permasalahan kartel pangan yang sedang marak terjadi di Indonesia. Konsep digitalisasi komoditas pangan diyakini bisa menjaga stabilisasi pasokan dan harga komoditas pangan dan pertanian. Komoditas pangan yang dimaksud tentunya yang dikonsumsi masyarakat secara luas atau memiliki bobot kontribusi inflasi yang tinggi.

Komisi Pengawas Persaingan usaha (KPPU) sebagai lembaga yang berperan untuk menyelidiki dan menindak adanya praktek kartel pangan tentu akan lebih mudah mengawasi lewat sistem digitalisasi. Berikut poin-poin keunggulan sistem digital.

Pertama, bersifat transparan. Permainan ‘kotor’ harga oleh kartel bisa dilakukan karena tak ada transparansi sekaligus akurasi soal data pangan, baik cadangan di dalam negeri maupun data impor. Data impor kerap ditutup-tutupi atau berbeda antara di lapangan dan di atas kertas. Untuk menghentikan benih oligarki tumbuh subur perlu dilakukan transparansi pada proses-proses yang berhubungan dengan stok pangan dan harga.

Kedua, sebagai media kontrol. Ketidakjelasan dan kurang terintegrasinya informasi harga akan juga berpengaruh pada kestabilan harga pangan dan akan menyebabkan disparitas harga yang besar. Oleh karena itu, inovasi digital dapat menjadi media kontrol informasi pangan, baik mengenai harga dan ketersediaan stok beragam pangan yang dibutuhkan masyarakat. Sistem digital ini dapat dijadikan dasar bagi berbagai pihak, baik dari pemerintah untuk mengambil kebijakan dan langkah strategis pengendalian harga, pelaku ekonomi, pengusaha, UMKM, para pedagang kecil dan juga masyarakat.

Ketiga, meningkatkan efisiensi perekonomian. Digitalisasi dapat meningkatkan akses informasi harga dan stok pangan yang terpadu kepada pelaku ekonomi untuk menjaga ekspektasi masyarakat yang diperlukan untuk mendukung dalam upaya pencapaian sasaran inflasi dan peningkatan efisiensi perekonomian. Masyarakat pun dapat menghimpun seluruh informasi mengenai pangan tanpa perlu terjun langsung ke pasar.

Keempat, transformasi digital dapat menghindari pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok yang merugikan masyarakat. Konsumen akan mendapatkan harga yang relatif murah dengan pilihan produk dari berbagai konsumen. Di sisi lain, produsen akan terus mengembangkan inovasi untuk menghasilkan barang yang harganya kompetitif dengan barang pesaing. Praktek kartel akan menutup peluang adanya perusahaan-perusahaan baru yang akan mengembangkan inovasi produk atau barang baru yang menciptakan harga yang lebih murah.

Dengan memutus rantai kartel, tentunya petani bisa menjual dengan harga lebih tinggi dan konsumen membelinya dengan harga lebih rendah. Hal ini tentunya mempengaruhi iklim usaha yang sehat dan sebagai bentuk keberpihakan pemerintah pada rakyat. *

Dewi Ayu Larasati, SS, M.Hum.

Alumni Pascasarjana Universitas Sumatra Utara, Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya