Menabrak Aturan Hukum, Alasan Mayoritas DPD RI Menolak HIP

Menabrak Aturan Hukum, Alasan Mayoritas DPD RI Menolak HIP

KORANBERNAS.ID, KULONPROGO – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dari DIY, M Afnan Hadikusumo, menyatakan Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) akan menabrak aturan hukum jika RUU tersebut  menjadi undang-undang. Inilah salah satu alasan kenapa mayoritas anggota DPD RI menolak usulan RUU HIP tersebut.

“Dari aspek yuridis, banyak sekali aturan hukum yang bertabrakan satu dengan lainnya apabila RUU ini diundangkan,” ungkap Afnan pada acara Sosialisasi Pancasila, UUD 45, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika yang diselenggarakan MPR RI bekerja sama dengan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kulonprogo di Aula Kantor PD Muhammadiyah setempat, Sabtu (27/6/2020).

Cucu dari pahlawan nasional Ki Bagus Hadikusumo ini melihat, HIP juga belum memenuhi asas-asas penyusunan suatu undang-undang.

Dari aspek filosofis, Pancasila merupakan staats fundamental norm atau pokok-pokok kaidah fundamental negara yang diaktualisasikan dalam pasal-pasal dan ayat UUD tahun 1945 sehingga disebut berfungsi sebagai dasar negara.

Selain itu, lanjut dia, Pancasila juga memiliki fungsi sebagai pandangan hidup, sebagai dasar negara dan idiologi nasional. “Atas dasar itulah maka tidak diperlukan lagi perumusan nilai-nilai Pancasila dengan membentuk UU HIP,” tegasnya.

Sedangkan dari aspek sosiologis, penyusunan RUU HIP menimbulkan misleading dari rumusan norma hukum, antara HIP menjadi pedoman dan iptek menjadi landasan. Bahkan rumusan HIP juga tidak jelas, terutama dalam memberikan peran Presiden sebagai implementor pembinaan HIP.

“Jika Presiden ditempatkan sebagai sebuah lembaga dan bukan sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan, maka harus diperhitungkan persinggungan politik egosentrisme,” terangnya.

RUU ini pun tidak dapat diimplementasikan. Jika RUU ini diundangkan akan menemui kendala implementasinya. Kenapa?

Pertama, menurut Afnan, politik hukum menempatkan RUU ini menjadi UU payung atau UU pokok. Kedua, dalam RUU itu disebutkan penyelenggara negara saat menyusun, merencanakan dan menetapkan kebijakan pembangunan nasional harus merujuk UU HIP ini atau istilahnya UU payung.

“Sayangnya di dalam konstruksi hukum di Indonesia tidak dikenal UU payung atau UU satu lebih tinggi dari UU yang lainnya. Atas dasar itulah, maka dapat dikatakan UU HIP akan sulit untuk diimplementasikan,” tandasnya.

Ekonomi Pancasila

Berbicara mengenai sistem ekonomi Pancasila, Afnan menjelaskan, sistem itu pertama kali disebutkan pada salah satu artikel karangan Dr Emil Salim pada 1967. Pada 1979 Emil Salim menjelaskan ekonomi Pancasila dapat dipahami sebagai sistem ekonomi pasar dengan kendali pemerintah. Istilah ini juga memiliki beberapa nama lain seperti ekonomi pasar terkendali, sistem ekonomi campuran dan sistem ekonomi jalan ketiga.

Sebenarnya sistem ekonomi ini sudah ada sejak zaman Neo-Klasik yang dibangun menggunakan paham liberal dengan menjunjung nilai individualisme dan kebebasan pasar yang ditambah nilai-nilai Pancasila. “Ekonomi Pancasila sebenarnya dibentuk untuk mengubah perekonomian kolonial menjadi nasional,” kata Afnan.

Adapun implementasi ekonomi Pancasila berupa pengelolaan sistem keuangan yang baik dengan berlandaskan nilai agama atau Ketuhanan Yang Maha Esa.

Wujudnya bisa berupa pemberian gaji dan fasilitas karyawan sesuai dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, menghasilkan produk usaha terbaik, tidak bertentangan dengan nilai dan norma masyarakat sehingga dapat menjaga persatuan bangsa.

Kemudian, mengedepankan permusyawaratan dalam perusahaan untuk memutuskan segala masalah menyangkut serta adanya proses distribusi yang baik dan produk yang bisa dimanfaatkan banyak pihak sehingga berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hadir memberikan presentasi pada acara tersebut Drs Mawardi selaku Ketua Majelis Dikdasmen PD Muhammadiyah Kulonprogo, dipandu moderator Nanang Wahyudi. (sol)