Menalar Amarah Berujung Rusuh

Menalar Amarah Berujung Rusuh

RANGKAIAN berita tayangan media cetak dan elektronik tentang berbagai demonstrasi yang berujung rusuh di beberapa kota di Indonesia, menyusul pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja, mengesankan satu hal. Ada orang yang marah dan tak bisa mengendalikan kemarahannya. Ungkapan bahasa Inggris yang aslinya dari bahasa Melayu: ‘run amok’ dengan tepat menggambarkan situasi ini. Amarah yang berkobar-kobar membuat orang mengamuk membabi buta, mengumpat, merusak dan membakar apa saja yang ditemuinya. Bagaimana menjelaskan fenomena ini?

Perasaan Manusiawi

Ryan Martin seorang peneliti kemarahan (anger researcher) mengatakan, bahwa kemarahan adalah perasaan manusiawi yang sah (a legitimate human feeling). Kita semua mengalaminya, meskipun jenis dan takarannya berbeda. Menurut Martin, kemarahan itu reaksi kimiawi yang terjadi di dalam tubuh,  sebentuk mekanisme pertahanan diri (self-defense mechanism) yang memberi sinyal adanya ancaman bahaya. Akibat kemarahan itu, terjadilah reaksi-reaksi fisik pada tubuh semisal, wajah memerah, bibir kering dan gemetar, napas tersengal, jantung berdebar dan darah terasa mendidih.

Seperti halnya ketakutan, kemarahan memberitahu kita untuk menghadapi atau melarikan (fight or flee) dari sumber kemarahan. Kemarahan terkadang diikuti oleh teriakan, jeritan, umpatan, menyerang, memukul, atau bahkan membunuh.  Tetapi jika dirasakan ancaman itu terlampau kuat, maka pemilik kemarahan akan menjauhi sumber kemarahan itu.Penyebab kemarahan bisa karena orang terprovokasi akibat dihina, dibuli, atau disakiti. Tapi dapat diakibatkan oleh sebuah prakondisi seperti: rasa lapar, lelah, khawatir, dll.

Pertanyaannya, apakah pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh DPR pada tanggal 5 Oktober itu, cukup menjadi alasan bagi kaum buruh yang terdampak langsung atau para simpatisannya untuk mengamuk, merusak dan membakar fasilitas umum?

Sekali lagi amarah adalah fenomena manusiawi. Dalam negara demokratis, kemarahan dan kekecewaan itu memiliki salurannya. Masyarakat dibolehkan untuk mengungkapkan pendapatnya melalui berbagai media lisan dan tulisan, bahkan unjuk rasa pun dijamin oleh undang-undang. Di negara-negara seperti Inggris, tersedia area khusus yang dikenal sebagai High Park, tempat di mana orang dapat melakukan demonstrasi dan curah pendapat dengan tertib.

Bahkan di negara tetangga seperti Thailand, demonstrasi itu tak ubahnya dengan piknik gratis dan dipandang sebagai kegiatan kreatif dan menyenangkan. Karena dari unjuk rasa dapat diharapkan terletupnya gagasan baru untuk menyelesaikan persoalan bangsa. Namun, semuanya tetap dalam koridor hukum.

Apa yang kita saksikan pada demonstrasi tanggal 8 dan 13 Oktober yang lalu, sungguh sangat jauh dari citra kita sebagai bangsa yang ramah dan santun. Yogyakarta sebagai miniatur Indonesia dan kota yang menjunjung tinggi keluhuran budaya Jawa dan terkenal dengan  semboyan ‘Berhati Nyaman’ pun, tak luput dari amukan amarah. Sebuah restoran di Jl. Malioboro habis dilalap jago merah setelah dilempari bom molotov. Pemiliknya menderita kerugian sebesar Rp. 24 miliar. Seorang warga mengakui, kejadian itu merupakan preseden terburuk dalam gerakan sosial di Yogyakarta selama ini. Sri Sultan HB X, selaku raja dan Gubernur DIY menyerukan warga Yogyakarta untuk ‘melawan’. Sebuah seruan yang tak pernah beliau keluarkan selama ini.

Sekali lagi masyarakat pasti bertanya, ‘sebegitu hebatkah amarah kelompok buruh dan mahasiswa’ terhadap sahnya Undang-Undang Cipta Kerja, sehingga tanpa sadar mereka merusak fasilitas rakyat yang kepentingannya sedang mereka perjuangkan? Inilah sebuah ironi yang dengan kasar muncul di depan mata.

Ironi ini semakin jelas diperlihatkan oleh parodi tentang sejumlah pendemo yang terdiri dari ana-anak dan pelajar SMP/SMU mengaku, bahwa secara spontan mereka tergerak oleh pesan berantai untuk ikut berdemo, tanpa mengetahui alasannya. Seorang gadis yang mengenakan masker, tergagap tak bisa menjawab pertanyaan wartawan tentang bagian mana dari Undang-Undang Cipta Kerja yang tak disetujuinya. Seorang pria separuh baya dengan berapi-api menjelaskan betapa ‘Undang-Undang Meliguslaw’ (maksudnya Omnibus law) merugikan kaum buruh.

Parodi ini cukup menjelaskan kepada kita, mengenai adanya oknum yang sengaja memancing di air keruh. Undang-Undang Cipta Kerja hanyalah pemicu yang ingin dimanfaatkan untuk menciptakan kekisruhan sosial dan berakhir dengan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Setingan diperlukan agar orang-orang yang haus kekuasaan itu dapat tampil sebagai penyelamat.

Namun jangan salah. Penulis tidak mengatakan, bahwa Undang-Undang Cipta Kerja ini merupakan sebuah jalan pintas atau obat cespleng yang mampu menyembuhkan segala jenis penyakit ekonomi dan sosial. Bukankah sekitar 200 akademisi berlatar belakang hukum, pernah  bersama-sama menolak omnibus law? Bahkan ada di antara mereka yang terang-terangan mengatakan, bahwa Undang-Undang Cipta Kerja hanya memperkeruh suasana yang sudah keruh akibat Covid-19. Keberatan dan protes tentu boleh. Namun bukankah melakukan demo yang berujung ricuh justru lebih berpotensi menciptakan kekisruhan dan kepanikan?

Bukankah masih tersedia banyak cara untuk mengajukan keberatan terhadap udang-undang yang sudah disahkan itu? Misalnya menempuh  yudicial review di tingkat Mahkan Konstitusi. Bukankah dalam sejarah, MK pernah menolak dan membatalkan undang-undang yang telah disahkan?

Mengendalikan Amarah

Sebagaimana yang sudah kita ketahui, kemarahan itu adalah sebuah perasaan manusiawi yang sah. Jika dikelola dan disalurkan dengan baik, ia dapat menjadi kekuatan yang mengubah (changing power).  

Dr. Charles Stenley dalam artikelnya, The Danger of Anger (2018) mengelompokkan kemarahan menjadi tiga jenis, yakni: rage (amuk), resentment (dendam), dan indignation (amarah). Rage atau amuk adalah jenis kemarahaan yang tiba-tiba meledak secara tak terkendali. Daya ledaknya seperti bom yang menciptakan gelombang kejut yang destruktif. Jenis kemarahan ini   terekspresikan melalui demonstrasi yang berakhir rusuh belum lama ini. Itulah jenis kemarahan yang dijuluki perang terbuka (open warfare).

Jenis kemarahan kedua adalah resentment (dendam). Jika rage dijuluki perang terbuka, maka dendam adalah perang gerilya. Inilah jenis kemarahan yang secara diam-diam meracuni orangnya. Setiap kali akan membuncah, kemarahan ini ditekan ke alam bawah sadar. Pemiliknya melakukan agresi pasif dengan membungkamnya. Namun perasaan amarah tak selamanya bisa didiamkan. Dendam akan mewujud dalam gejala psikosomatis seperti: stres, depresi, migrain, hipertensi, jantung koroner, dll. Jika dinalar, mereka yang mengotaki demonstrasi berakhir rusuh itu, kemungkinan besar mengalami jenis kemarahan ini. Kemarahan yang tidak membuat mereka tampil habis-habisan, tapi mendorong mereka untuk menempuh cara lempar batu sembunyi tangan. Orang dengan jenis kemarahan ini, ibaratnya menenggak racun sambil mengharapkan musuhnya mati.

Jenis kemarahan ketiga disebut indignation (marah). Inilah jenis kemarahan yang dilontarkan orangtua terhadap anak-anaknya. Bukan atas dasar kebencian, melainkan karena cinta yang tulus. Kemarahan ini terjadi karena orangtua ingin mengubah perilaku anak-anaknya yang dianggap salah. Ayah atau ibu yang bertanggung jawab, pasti memarahi anaknya yang hanya menghabiskan waktu untuk bermain gadget dan tidak mau belajar. Orangtua menyadari, masa depan yang gemilang, tidak bisa diraih anak dengan sikap santai dan bermalas-malasan.

Dari gambaran di atas, kita dapat menyimpulkan, bahwa kemarahan itu ada baiknya. Pemerintah tentu tak bisa dan tak mampu membungkam kemarahan warga. Tapi warga juga harus bijak dalam mengungkapkan kemarahananya, agar kemarahan itu dapat berhasil guna.   

Tonton saja link video yang menayangkan bagaimana seorang demonstran menghujat aparat dengan kata-kata ‘anjing-anjing kapitalis,’ menyesali ucapannya setelah ditahan. Atau seorang anggota organisasi yang dibentuk untuk mengeritik pemerintah, justru menghasut massa dengan ucapan ‘batu bisa mengenai seorang. Bom molotov sepuluh dan bensin bisa berceceran. Buat skenario seperti 98, penjarahan toko-toko China dan rumahnya. Preman diikutsertakan untuk menjarah.’ Jejak elektronik memang kejam. Setelah ponsel diretas pihak kepolisian, pemiliknya tak berkutik. Yang tertinggal hanya kerak penyesalan.    

Kesimpulan

Jadi marah itu boleh-boleh saja. Jika dikelola dan disalurkan dengan baik, kemarahan dapat menjadi sumber motivasi untuk mengubah keadaan. Sepanjang sejarah peradaban, umat manusia pernah marah terhadap sistem perbudakan, segregasi rasial, dan ketidakadilan. Rakyat India marah akibat penjajahan, tetapi kemarahan itu dirumuskan dalam perjuangan tanpa kekerasan yang berhasil membebaskan India dari belenggu penjajahan Inggris. Tanpa kemarahan yang diperlihatkan leluhur kita, mutahil penjajah Belanda bersedia pergi dari negara kepulauan ini.

Pada tataran pribadi, kemarahan juga dapat mengandung unsur positif. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui alasan dan cara yang elegan untuk menyalurkannya. Kemarahan dan kekecewaan terhadap prestasi akademis, dapat mendorong seorang murid untuk lebih kreatif dalam belajar. Para atlit tinju menyemburkan kata-kata penuh amarah dan provokasi (trash talk) untuk menyemangati diri dan membesarkan nyali sebelum pertandingan. Itulah contoh kemarahan yang fungsional. Sedangkan si pemarah akan dijauhi teman-temannya.

Bagaimanapun semua yang terlibat dalam demonstrasi dan upaya pengamanan  adalah anak-anak bangsa. Mereka bentrok karena ingin membela pendapat kubu masing-masing. Bagi para aktor yang bermain di balik berbagai kerusuhan itu, sebaiknya bersabar jika ingin berkuasa. Nilai dan cita-cita yang kalian perjuangkan ditunda dulu perwujudannya. Mekanisme demokrasi kita menyiapkan Pemilu di 2024 nanti. Menangkan pemilu itu secara elegan! Baru sesudahnya jalankan cita-cita dan nilai yang selama ini ingin anda wujudkan. Seluruh rakyat Indonesia sudah lama menantikan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan. **

John de Santo

Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta; Pengasuh Rumah Belajar Bhinneka.