Mencegah Panic Buying Masa Lebaran

Mencegah <i>Panic Buying</i> Masa Lebaran

MUSIM Ramadan apalagi mendekati lebaran yang sudah menjadi milik seluruh masyarakat, tak bisa dipungkiri kebutuhan pokok masyarakat meningkat. Di lapangan sejumlah komoditas atau kebutuhan pokok merangkak naik harganya, Sebagian langka bahkan sampai menghilang dari pasaran. Jika situasi sudah demikian, lagi-lagi masyarakat terutama yang berpenghasilan rendah sangat terdampak atas “kecelakaan pasar,” tersebut. Belakangan komoditas yang sudah menindih penghasilan masyarakat, sebut saja minyak goreng (migor).

Jauh sebelumnya, sudah banyak dilakukan operasi pasar agar tak terjadi kenaikan harga yang gila-gilaan maupun penimbunan barang. Pasar maupun harga migor tak terkendali, terus mendaki, mendaki dua kali tingginya bahkan lebih, dari harga sebelumnya. Anehnya lagi, pada saat pemerintah menetapkan HET (harga eceran tertinggi), migor seakan murca di pasaran.

Tetumpukan migor di supermarket/mal, di minimarket nampak   benar-benar kosong. Pemandangan yang sama terjadi di lapak pasar tradisional; komoditas migor ini absen di antara riuhnya barang dagangan bahkan hingga ke warung kelontong kecil di permukiman kita pun setali tiga uang. Migor curah yang semula dijauhi kini menjadi komoditas yang dinanti-nanti para pembeli di kota dan desa.

Bakdan

Tingginya harga dan kelangkaan migor masih menjadi-jadi bahkan hingga ditetapkannya tersangka Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag dalam dugaan gratifikasi atau suap pemberian izin penerbitan ekspor (PE) minyak goreng ternyata juga menjabat sebagai Komisaris (Persero) PTPN III. (Kompas, 21/4/2022).

Hukum ekonomi selalu memangsa, semakin langka barang semakin tiggi harganya, kian tinggi permintaan kian tinggi pula harganya. Begitu juga dengan migor dalam realita dan fiksinya, apalagi menjelang Idul Fitri selalu tumbuh bisnis ekonomi produktif meski dalam skala kecil.

Misalnya munculnya usaha kuliner dengan varian sajiannya maupun untuk berjaga-jaga menyiapkan menu “bakdan,” dengan aneka sajian yang belum bisa lepas sepenuhnya dari budi baik migor.

Musim seperti ini, migor menjadi komoditas strategis di tengah budaya masyarakat yang barangkali lidahnya akan merasa lezat manakala menyantap makanan yang digoreng. Memasuki masa-masa rawan yang membahagiakan demikian, tatkala datang komoditas migor dalam volume tertentu atau berapa pun, maka tak menutup pintu terjadinya praktik panic buying.

Panic buying merupakan tindakan membeli sejumlah besar produk atau komoditas tertentu, karena ketakutan tiba-tiba akan kekurangan atau terjadi kenaikan harga di waktu yang akan datang. Acap pemerintah berpesan masyarakat tidak perlu panic buying, karena stok barang dengan harga subsidi cukup aman untuk satu semester ke depan, tapi praktiknya masyarakat bergeming dan tetap ber-panic buying.

Praktik panic buying sebelumnya terjadi bahkan mungkin menjadi semacam tradisi regular tahunan ketika masuk bulan Ramadan dan menghadapi pesta lebaran. Kita layak apresiasi kepada beberapa mal atau toko yang memberlakukan pembatasan pembelian migor, gula dan sebagainya dalam jumlah tertentu.

Begitu juga kala digelar pasar murah sembako murah diberlakukan kebijakan yang tidak berbeda. Hal ini tentu saja selain nilai pemerataan juga terdapat poin mengasah kepekaan sosial yang tak hingga.

Karena secara umum sembako banyak berurusan dengan kaum perempuan alias ibu-ibu, tak ada salahnya jika di sini kita libatkan gerakan PKK, BKOW, Dharma Wanita, dan ormas perempuan lainnya dalam menanggulangi panic buying lewat pendekatan kultural. Gerakan PKK dan ormas wanita atau perempuan mengakar kuat sejak pusat bahkan ada yang hingga level desa. SDM ormas-ormas tersebut juga cukup potensial untuk membalik keadaan.

Pertama, mengajak masyarakat untuk bersikap calm (tenang), tidak usah kegedhen empyak kurang cagak. Artinya belanja sesuai kebutuhan bukan keinginan. Kedua, mengampanyekan gerakan berbagi, pilantropis, Samaritan, yang kuat menolong yang lemah, yang kaya membantu yang miskin.

Leader dan Dealer

Dalam relasi ini prinsip utamanya adalah migunani tumrap liyan. Bukan soal panjang umurnya, atau besar organisasinya tapi lebih pada seberapa bermanfaat keduanya itu bagi masyarakat.

Ketiga, secara sukarela maupun kolaborasi bersama pemerintah memainkan fungsi kontrol atas lalulintas harga dan barang dalam domain perdagangan dan industri, sehingga stabilitas harga teraih secara permanen. Keempat, pentingnya melakukan diversifikasi usaha ekonomi produktif dan komodifikasi produk.

Artinya, gerakan PKK dan ormas wanita atau perempuan berkemampuan untuk memberdayakan masyarakat relevan dengan potensi desanya, seperti pelatihan menjahit, pelatihan bisnis online, pelatihan dengan teknologi tepat guna.

Pelatihan teknologi ini dalam situasi kini rupanya relevan, misalnya kelangkaan migor, maka masyarakat dilatih bagaimana bisa memproduksi migor dengan bahan baku lain (selain sawit) meskipun skala usaha masih relatif kecil, dan sebagainya.

Dengan begitu ada terbit usaha baru dan menyerap tenaga kerja setempat. Lebih jauh, gerakan ormas perempuan ini bisa membantu pemerintah mengatasi kelangkaan dan mahalnya migor ataupun mengolah bahan baku lain untuk menghasilkan BBM kala krisis energi, dan lain-lain.

Terakhir, mengedukasi masyarakat untuk membudayakan kerja-kerja keroyokan dengan mengusung praktik gotong royong, sehingga tak ada yang berat manakala semua dipikul bersama. Jika sudah demikian, sekurangnya masyarakat tidak lagi terjebak pada praktik kelam atau tak menjadi aktor panic buying. Satu hal lagi, mengampanyekan menjadi warga yang tidak serakah dan tamak. Jika semua diborong, yang lain kumanan atau keduman apa? Harusnya sithik edhang.

Di sinilah gerakan PKK dan ormas perempuan bisa menjadi leader maupun dealer. Artinya sebagai pemimpin sekaligus menjual ide-ide segar, solusi yang bermaslahat bagi kesejahteraan rakyat. *

Marjono

Kasubag Materi Naskah Pimpinan Pemprov Jateng