Mengapa Dependensi Fiskal Pemerintah Daerah terhadap Pusat masih Tinggi?

Mengapa Dependensi Fiskal Pemerintah Daerah terhadap Pusat masih Tinggi?

Ketergantungan Daerah terhadap Pusat

SELAMA dua dekade lebih, desentralisasi fiskal telah berjalan, namun kemandirian fiskal daerah belum sepenuhnya berjalan dengan sepatutnya. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada pertemuan virtual Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah 2021 menyatakan, bahwa secara rata-rata ketergantungan daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota terhadap pusat masih tinggi, yaitu sebesar 80,1% terhadap Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Menurutnya, seiring dengan tingginya ketergantungan daerah terhadap pusat, pendapatan daerah baik provinsi dan kabupaten/kota hanya sebesar 12,87%. Adapun, hal ini dibuktikan dengan alokasi dana TKDD yang meningkat setiap tahun dan tren peningkatan ini terjadi sejak tahun 2001 (Rp 81,9 triliun) hingga semakin besar pada tahun 2015 (Rp 623,139 triliun) atau melonjak sebesar hampir 90% dengan diberlakukannya transfer dana desa.

Bertepatan dilimpahkannya dana desa oleh pemerintah pusat, tren peningkatan tertinggi TKDD terjadi pada tahun 2018 sebesar Rp 812,973 triliun. Kemudian, berdasarkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2022 untuk proyeksi TKDD sebesar Rp 770,413 triliun atau meningkat sebesar 0,018% (141,3 miliar) dari tahun 2021. Dengan demikian, kondisi ini mengindikasikan bahwa pemerintah daerah masih memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap transfer pusat.

Apa yang menjadi penyebab daerah bergantung dengan pendanaan dari pemerintah pusat? Di samping itu, mengapa pendapatan asli daerah (PAD) pemerintah daerah di Indonesia rendah? Menilik dari kondisi Negara Indonesia, rendahnya PAD pemerintah daerah di Indonesia disebabkan oleh konsekuensi atas rancangan kebijakan secara konstitusi. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan, yang berwujud Republik. Negara kesatuan merupakan negara yang berdaulat, di mana otoritas tertinggi dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Untuk mendukung Pasal 1 tersebut dalam Pasal 33 ayat 22 UUD 1945 menyatakan, bahwa seluruh cabang produksi yang vital bagi negara dan yang menguasai hajat hidup warga negara dikuasai oleh negara. Kondisi tersebut mengakibatkan sumber penerimaan yang signifikan seperti pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN) yang berada di wilayah daerah menjadi sumber penerimaan bagi pemerintah pusat. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah hanya diberikan otoritas untuk mengelola pendapatan-pendapatan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak. Pemerintah daerah hanya menguasai basis pendapatan yang berkarakter lokal dan mobilitas rendah dengan ciri khas besaran pendapatan relatif kurang signifikan terhadap kebutuhan masyarakat, seperti pajak hotel, pajak restoran, pajak reklame, dan pajak penerangan jalan. Dengan demikian, adanya konsekuensi atas rancangan kebijakan secara konstitusi membuat derajat sentralisasi dalam sektor perpajakan pusat menjadi tinggi.

Namun, pemerintah daerah tetap dituntut untuk dapat meningkatkan PAD secara kreatif dan inovatif yang diperoleh dari sumber-sumber wilayahnya sendiri, sesuai dengan aspirasi masyarakat dengan tidak menabrak aturan yang berlaku (break the rules). Hal ini selaras dengan pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, yang meminta setiap kepala daerah untuk memiliki jiwa entrepreneurship dalam menggali pendapatan melalui potensi daerah untuk mengoptimalkan PAD (Nugraheny, 2020). PAD yang optimal dapat mengurangi beban pembiayaan pembangunan yang bersumber dari transfer pusat. Hal ini dikarenakan PAD merupakan salah satu modal keberhasilan dalam menggapai tujuan pembangunan daerah dalam memenuhi belanja publik, di samping dana perimbangan (Firdausy, 2018). Dengan demikian, PAD yang optimal dapat menentukan kapasitas fiskal pemerintah daerah dalam menyelenggarakan tugas, pokok, dan fungsi untuk memberikan pelayanan dasar publik (public service) dan pembangunan daerah (development).

Permasalahan Optimalisasi PAD

Selama ini kabupaten/kota di Indonesia masih sulit untuk menggali potensi PAD yang dimilikinya, utamanya dalam hal mengoptimalisasikan pendapatan asli daerah (Halim, 2016). Berdasarkan kajian ilmiah yang dilakukan oleh Horota, dkk (2017), belum tergalinya potensi pendapatan daerah disebabkan oleh kurang pekanya pemerintah daerah dalam menemukan keunggulan budaya dan potensi PAD, kepatuhan dan kesadaran wajib pajak/retribusi yang relatif rendah, lemahnya regulasi dan administrasi pendapatan daerah, lemahnya aparatur daerah, kekhawatiran birokrasi akan kegagalan dalam menjalankan program peningkatan PAD, dan ketidakoptimisan hasil yang mungkin dicapai pada program peningkatan PAD. Di samping itu, banyak Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) menjadi salah satu masalah keuangan daerah, sehingga peran BUMD gagal menjadi sumber pendapatan daerah bahkan justru menjadi beban fiskal daerah (Mardiasmo, 2018). Suhartono (2011) dalam kajian ilmiahnya menyatakan, bahwa penyebab BUMD membebani fiskal daerah dan mengorbankan tujuannya dalam mencari laba atau keuntungan bagi pemerintah daerah, karena rendahnya kinerja perusahaan yang diakibatkan kurangnya sokongan permodalan bagi BUMD dan adanya kewajiban untuk menerapkan kebijakan pemerintah, yaitu pelayanan publik.

Di sisi lain, Yulianto (2021) dalam kajian ilmiahnya menemukan bahwa belum optimalnya PAD di pemerintah daerah disebabkan oleh proses teknokratik antara eksekutif dan legislatif pada perumusan anggaran pendapatan daerah yang bermasalah, sehingga menyebabkan potensi PAD secara rill tidak dapat tergali. Pertama, legislatif tidak membahas anggaran pendapatan yang diusulkan oleh eksekutif secara terperinci. Yulianto (2021) menemukan bahwa legislatif membahas anggaran pendapatan secara sekilas, karena adanya keterbatasan waktu pada proses anggaran. Dalam hal ini, legislatif memiliki kecenderungan untuk fokus membahas hal-hal yang menurut mereka strategis.

Berdasarkan teori rasionalitas, perilaku rasional adalah tindakan yang memberikan hasil terbaik, yang mampu dicapai dari sisi perspektif pencapaian tujuan dengan mengamati keterbatasan-keterbatasan yang ada. Pada proses penetapan anggaran pendapatan, tindakan rasionalisasi legislatif adalah dengan tidak membahas pendapatan daerah yang gurem atau dianggap tidak berpotensi untuk memenuhi pokok-pokok pikiran dewan. Konsekuensinya, ketika legislatif mengabaikan rumusan struktur PAD yang jumlahnya gurem, sebenarnya pendapatan tersebut memilki potensi yang signifikan dan bahkan dapat menjadi pendapatan unggulan daerah. Dengan demikian, pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk menghitung seluruh potensi pendapatan secara riil yang dimiliki.

Kedua, adanya konflik keagenan di pemerintah daerah, antara prinsipal (legislatif) dan agen (eksekutif) yang menyebabkan terjadinya fenomena asimetri informasi pada proses perumusan anggaran (Halim & Abdullah, 2006; Yulianto, 2021). Yulianto (2021) mengungkapkan bahwa dalam proses penetapan anggaran PAD, eksekutif memiliki keunggulan informasi dibandingkan legislatif, sehingga eksekutif cenderung memberikan informasi yang mudah untuk direalisasikan di lapangan kepada legislatif. Adanya kelengahan legislatif dalam membahas anggaran yang tidak menyeluruh dan terperinci membuat eksekutif berperilaku oportunistik, yang ditunjukkan dengan modus mendistorsi informasi legislatif pada proses penyusunan anggaran pendapatan. Ketiga, proses perumusan penganggaran pendapatan daerah ditemukan adanya indikasi fenomena incremental budgeting, karena eksekutif menggunakan realisasi tahun lalu sebagai dasar penetapan target pendapatan. Kondisi ini disebabkan oleh adanya pengabaian legislatif pada pendapatan daerah yang gurem dan adanya ketimpangan informasi antara legislatif dan eksekutif pada proses penetapan anggaran pendapatan. Hal inilah yang menyebabkan belum optimalnya PAD pemerintah daerah, karena proses penganggaran pendapatan daerah yang dirumuskan oleh pemerintah daerah terlalu kecil dari potensi pendapatan yang sesungguhnya.

Meminimalisir Ketergantungan Daerah

Jika mengobservasi kondisi pemerintah daerah saat ini, untuk memecahkan permasalahan terkait ketergantungan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat, maka pemerintah dapat melakukan beberapa solusi, di antaranya:

Pertama, adanya konsekuensi atas rancangan kebijakan secara konstitusi membuat tingginya derajat sentralisasi dalam hal perpajakan. Dalam hal ini, pemerintah pusat dapat memberikan hak yang luas pada pemungutan pendapatan pajak bagi daerah. Perlu adanya formula strategis pada bidang pendapatan daerah, melalui pengembangan pajak dan retribusi daerah yang sikron dan harmonis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Kedua, pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk menguatkan kapasitas fiskal daerah. Pemerintah daerah dituntut untuk melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi atas sumber-sumber pendapatan daerah. Ekstensifikasi pendapatan daerah dilakukan melalui peningkatan sumber potensi pendapatan yang baru dan memperbaharui database maupun menjaring Wajib Pajak (WP)/Wajib Retribusi baru. Pemerintah daerah dapat memberi kemudahan pendaftaran bagi masyarakat melalui support system yang baik, salah satunya dengan mendaftarkan wajib pajak/retribusi melalui sistem online (dalam jaringan). Di sisi lain, pemerintah perlu melakukan pendekatan persuasif melalui sosialisasi terkait pengetahuan, pengelolaan, dan realisasi pajak kepada masyarakat, iklan layanan masyarakat, seminar, dan menunjuk duta pajak di setiap daerah.

Di sisi lain, pemerintah daerah perlu mengintensifkan sumber-sumber penerimaan sesuai dengan potensi rill yang dimiliki daerah. Pemerintah daerah harus memvalidasi setiap perolehan pendapatan melalui sektor pajak dan retribusi daerah. Validasi potensi pendapatan secara riil dilakukan dengan memutakhirkan basis data wajib pajak di lapangan. Pemerintah daerah juga perlu mengelola piutang pajak dan retribusi daerah untuk mengoptimalkan pendapatan daerah, dengan cara memverifikasi piutang pajak/retribusi terhadap sumber objek pendapatannya. Selanjutnya, pemerintah daerah dapat menilai kualitas piutang berdasarkan jatuh tempo piutang, kondisi debitur, dan upaya penagihan di lapangan. Apabila terdapat piutang pajak/retribusi daerah telah menunggak bertahun-tahun dan kadaluarsa, maka pemerintah daerah dapat melakukan penghapusan sesuai ketetapan peraturan daerah.

Dalam mengintensifkan sumber-sumber pendapatan, pemerintah daerah dapat mengenakan kebijakan cash register bagi para wajib pajak, dengan menghubungkan sumber pendapatan wajib pajak dengan pemerintah daerah melalui support system yang baik. Hal ini untuk meminimalisir potensi penerimaan daerah yang tidak masuk karena adanya ketidakjujuran wajib pajak dalam melaporkan besaran pajaknya. Misalnya, pemerintah daerah dapat memasang alat tapping box pada sumber penerimaan dari pajak daerah, yaitu pajak hotel dan pajak restoran. Kondisi ini dapat mempermudah pemerintah daerah dalam mengetahui dan memantau jumlah pendapatan pajak dari tingkat okupansi hotel dan jumlah pelanggan restoran. Di samping itu, pemerintah daerah perlu memelihara kepatuhan dan kepercayaan wajib pajak dengan cara memberikan apresiasi atau penghargaan bagi wajib pajak yang patuh dan taat dalam membayar pajak.

Ketiga, adanya BUMD yang gagal menjadi profit center daerah namun justru menjadi cost center yang membebani fiskal pemerintah daerah. Dalam hal ini, perlu adanya pengawasan dan dukungan politik dari pihak legislatif (DPRD) maupun eksekutif (dinas pengelola pendapatan) dalam merancang peraturan daerah dengan memberi kewenangan bagi BUMD untuk dapat memperoleh penambahan modal dari luar. Kemudian, bagi BUMD yang terus merugi dan membebani keuangan daerah bertahun-tahun, maka pemerintah daerah dapat mengatur bahwa BUMD tersebut dapat dilakukan restrukturisasi, penggabungan, ataupun dibubarkan. Di samping itu, BUMD perlu diukur penilaian kinerjanya berupa kepuasan pelanggan yang memperoleh barang publik. Oleh karena itu, harapannya BUMD tidak hanya sebagai sumber pendapatan daerah, tetapi juga sebagai sarana untuk memberikan barang publik yang strategis bagi konstituen.

Keempat, proses teknokratik pada perumusan anggaran pendapatan antara eksekutif dan legislatif yang bermasalah. Pihak eksekutif maupun legislatif harus mencurahkan waktu proporsional dan cukup untuk membahas anggaran pendapatan. Dengan waktu yang cukup untuk berdiskusi, legislatif dapat membahas setiap anggaran pendapatan yang diajukan oleh eksekutif secara detail dan menyeluruh. Pembahasan anggaran pendapatan yang detail dan rinci dapat mencegah terjadinya inefisiensi dan ketidakefektifan dalam pengelolaan anggaran pendapatan. Di samping itu, adanya asimetri informasi dalam penganggaran antara eksekutif dan legislatif membuat legislatif harus berinisiatif menuntut semua informasi, termasuk potensi pendapatan yang dapat digali oleh eksekutif. Oleh karena itu, eksekutif  harus berkomitmen untuk mengajukan anggaran pendapatan sesuai potensi yang dapat digali.

Terakhir, berdasarkan asas money follows function, bahwa pelimpahan kewenangan dari pusat kepada daerah akan diiringi dengan pembagian kewenangan dalam hal penerimaan maupun pendanaan. Dalam hal ini, penulis berharap bahwa pemerintah daerah mampu melaksanakan segala urusannya sendiri berkaitan dengan mengelola sumber-sumber pendapatan dan pembiayaannya yang telah diserahkan. Sumber-sumber pembiayaan yang dilimpahkan akan dimanifestasikan melalui struktur PAD yang kuat dan digali dengan mencerminkan kondisi secara riil. Untuk itu, pemerintah daerah membutuhkan sistem industri yang mantap dengan didukung wajib pajak maupun retribusi yang taat. Dengan demikian, dana transer pusat seyogyanya hanya bersifat pendukung dalam pelaksanaan pelayanan publik dan pembangunan daerah. Besar harapan supaya mekanisme tersebut dapat terwujud sehingga cita-cita kemandirian daerah dapat terealisasikan. ***

Krist Setyo Yulianto, SE, M.Acc.

Alumni Magister Akuntansi Publik UGM Yogyakarta.