Menghadapi Krisis Berkepanjangan

Menghadapi Krisis Berkepanjangan

KRISIS akibat pandemi Covid-19 telah lebih dari setahun dan nampaknya masih terus berkepanjangan. Dampak buruk krisis ini terasa di seluruh bidang kehidupan. Singkatnya, tingkat kesejahteraan hidup menurun tajam, tingkat kemiskinan bertambah, dan ikatan sosial itu menegang. Vaksin yang membawa harapan dan optimisme telah ditemukan, dan kini sedang diedarkan. Tetapi banyak pakar mengatakan, virus ini tak bisa sepenuhnya dilumpuhkan hanya dengan mengandalkan vaksin. Vaksin berfungsi memancing kekebalan tubuh, sementara ada orang yang tidak terpancing kekebalan tubuhnya oleh vaksin. Dengan kata lain, krisis akibat pandemi ini masih  berlangsung lama. Lantas, apakah ada cara bagi kita untuk menghadapi sebuah krisis jangka panjang ini?

Ketidakpastian

Dalam bahasa Mandarin terdapat dua suku kata untuk menggambarkan krisis, yakni: wei-ji. Wei artinya marabahaya, sedangkan ji artinya peluang. Maka, bagi warga Tionghoa, di balik marabahaya yang dibawa krisis, selalu ada peluang. 

Krisis selalu terjadi dalam hidup. Ia bahkan menjadi bagian dari proses hidup itu sendiri. Krisis dapat terjadi dalam skala kecil maupun skala besar. Seringkali krisis berlangsung secara sistemik, melewati proses yang panjang sebelum meledak secara tak terkendalikan. Ada pula krisis yang terjadi secara tiba-tiba, hanya dalam kerlipan mata. Covid-19 berlangsung dalam pola terakhir ini. Tak ada ahli kesehatan, bahkan virolog kelas dunia yang mampu meramalkan ledakan dan dampak destruktifnya sebagaimana yang tergambar sekarang. Hanya dalam waktu singkat dunia geger, dan kepanikan terjadi di mana-mana.

Krisis seperti yang terjadi akibat Covid-19 ini, menghentak semua orang dan memaksa mereka untuk menunda atau menghentikan sama sekali semua rencana dan kegiatan rutin. Segala sesuatu yang terlihat mapan sebelumnya, rontok seketika. Seluruh sistem kepercayaan (believe system) yang bertumpu, misalnya pada keluarga, kerabat, dan pertemanan pun goyah.  

Krisis akibat pandemi Covid-19 telah membawa bencana bagi sebagian besar orang. Dunia seakan runtuh.  Dukacita mewarnai kehidupan dengan perginya orang-orang terdekat, para pekerja kehilangan mata pencaharian, orang terpaksa mengisolasi diri di rumah selama berbulan-bulan, dan ketakutan melumpuhkan, sudah terlihat cahaya di ujung terowongan, ketidakpastian masih mewarnai kehidupan. Perekonomian macet karena manusia tidak bergerak. Wajar apabila muncul rasa takut dan kekhawatiran.  

Namun ketika kita mampu bersabar dan bertahan, perlahan-lahan akan nampak juga peluang berupa wawasan yang menawarkan berbagai kemungkinan baru.  Sebagai contoh,  krisis ini telah membawa perubahan dalam kehidupan rutin kita. Jika selama ini rumah hanya menjadi tempat persinggahan bagi kedua orangtua yang bekerja di luar rumah, krisis ini justru mendorong mereka untuk terpaksa betah di rumah. Dengan berada di rumah sepanjang waktu dan tak ada lagi waktu yang terbuang  untuk transportasi, misalnya, orang mulai memikirkan pengetahuan dan keterampilan tambahan apa yang bisa dipelajari. 

Penataan

Rumah yang selama ini berfungsi sebagai tempat bernaung dan melepaskan lelah setelah bekerja, tiba-tiba berubah fungsi menjadi tempat bekerja bagi orangtua dan belajar bagi anak-anak. Tak sedikit orang yang selama ini dengan tegas membatasi  pekerjaan kantor dengan urusan rumah. Kini, dengan tinggal di rumah orangtua terpaksa menjalankaan dua peran sekaligus: sebagai pegawai kantor dan sebagai guru bagi anak-anak.  Perubahan fungsi rumah dan peran ini dapat mengakibatkan disorientasi.  Oleh sebab itu, menurut hemat penulis, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mengurangi disorientasi akibat krisis pandemi ini.  

Pertama, tidak membiarkan diri terpuruk dalam kegamangan. Krisis yang berkepanjangan ini berdampak pada kesehatan fisik dan mental. Untuk mencegahnya, sebaiknya kita tetap menjalankan kegiatan setiap hari. Dalam rangka itu, buatkan jadwal rencana kegiatan dalam seminggu. Struktur dan rencana akan memberi rasa aman bagi orangtua dan anak-anak. Lebih bagus lagi,rencana tersebut dapat dibuat bersama anak-anak, untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab dan rasa memiliki (sense of belonging).  Setelah itu, pajangkan rencana itu di tempat terbuka agar dapat dilihat oleh seluruh anggota keluarga yang tinggal di rumah itu. Bekerja di kantor pasti berbeda dengan bekerja di rumah. Di kantor kita dikelilingi rekan kerja, sedangkan di rumah kita dikelilingi oleh anak-anak. Anda tentu tak ingin melepaskan tanggung jawab terhadap kedua bidang yang itu. Namun pembatasan perlu dilakukan. Anak-anak perlu mengetahui kapan mereka memiliki akses terhadap orangtuanya, dan kapan orangtua harus memutuskan akses itu untuk berkonsentrasi pada pekerjaannya.

Kedua, rawatlah diri sendiri dengan makan, berolahraga, tidur secara teratur untuk mengurangi berbagai sumber stres. Lakukan hal-hal yang bisa mengembalikan kendali atas kehidupan. Sisihkan waktu untuk melakukan berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan perasaan (mood). Kegiatan tersebut dapat berupa musik, film, buku atau hobi yang sebelumnya terhenti. Bersikaplah proaktif  karena sikap ini memberi kita kekuatan untuk mengendalikan keadaan yang tidak pasti. Merawat diri sendiri, tidak semata untuk menjaga kesehatan tetapi kita tetap tenang  dan fokus. Anak-anak justru sangat membutuhkan perhatian orangtua pada saat seperti ini. Mereka sedang sedih dan stres karena ruang gerak  mereka dibatasi dan jauh dari teman-teman sekolah. 

Ketiga, pada masa krisis ini, wajar bila anak-anak mencari lebih banyak perhatian dan menuntut lebih dari orangtua. Bicarakan masalah Covid-19 secara jujur sambil memperhatikan usia. Anak-anak, sama halnya dengan orang dewasa, dapat merasa lega ketika bisa mengungkapkan dan membagikan ketakutan dan keprihatinan mereka. Jangan lupa, mereka juga  selalu mengamati perilaku dan emosi orang dewasa pada masa krisis ini dalam rangka mengelola perasaan mereka sendiri.

Keempat, anak-anak usia taman kanak-kanak dan sekolah dasar, kadang tertutup karena belum terampil mengungkapkan perasaan mereka. Sementara orangtua mungkin merasakan tambahan tekanan dan tanggung jawab untuk ikut mengelola kegiatan harian mereka, sesuatu yang selama ini kita serahkan kepada para guru di sekolah.  Meski tenggelam dalam rutinitas, jangan lupa menyisihkan waktu untuk bermain bersama anak-anak, karena hal itu membuat mereka merasa lebih aman pada masa krisis ini. Orangtua perlu juga membantu anak-anak untuk mengelola berbagai informasi yang membingungkan tentang Covid-19. Kedekatan anak dengan orangtua akan meningkatkan kemampuan dan keterampilan mereka dalam menghadapi berbagai tantangan masa depan.

Kelima, batasi diri dari berbagai informasi negatif dan tontotan berita yang berlebihan tentang perkembangan pandemi. Waspadai juga berita-berita bohong yang berseliweran di sekitar kita. Dapatkan informasi yang terverifikasi kebenarannya. Pahami prinsip yang berlaku dalam dunia jurnalistik, yakni: bad news is a good news. Berita buruk itu baik untuk dipublikasikan. Sebenarnya bukan salah media, tetapi kecenderungan pembaca memang begitu. Lebih senang membaca berita buruk daripada berita baik.

Kesimpulan

Krisis terjadi sebagai akibat fleksibilitas dalam kehidupan. Hidup akan sangat monoton tanpa krisis. Untuk mengatasi monotonitas kehidupan, bahkan ada orang yang dengan sengaja memulai krisis yang dikenal dengan istilah krisis pemberani (a bold crisis) misalnya mengganti profesi, atau memutuskan hubungan pertemanan yang terasa merugikan.

Jadi krisis itu subyektif. Ia akan selalu terjadi dalam kehidupan. Kita tak bisa mencegahnya. Yang terpenting adalah membangun kekuatan batin (inner fortress) untuk menghadapinya. Bukan mustahil, krisis merupakan proses pemurnian. Jika kita berhasil membangun kekuatan batin, maka krisis hanya mampu menghancurkan kulit kepompong kita. Ia justru mendorong kita untuk keluar dari zona nyaman pupa (comfort zone)  supaya kita mengalami metamorfosis dan muncul dalam bentuk baru, yakni kupu-kupu. **

John de Santo

Dosen ASMI Santa Maria Yogyakarta; Pengelola Rumah Belajar Bhinneka